"Aakkhh!" Sandiaga Gunadharma limbung dan segera berpegangan dengan kursi ruang meeting.
"Om Sandi! Om ... Om nggakpapa 'kan?!" seru Cantika Paramitha sigap menangkap tubuh sekretaris kepercayaannya yang nyaris terjerembap ke lantai.
Pandangan pria berusia lebih dari setengah abad itu mulai tak fokus dan pendengarannya pun berdenging sekalipun dia dapat mendengar ucapan panik bosnya. Mereka baru saja selesai meeting dengan klien. Tiba-tiba tubuhnya hilang kekuatan dan segalanya gelap.
"Tolong ... tolong, Om Sandi pingsan!" teriak Cantika yang segera dikerumuni oleh para bawahannya. Dia pun dengan sigap menyuruh asisten sekretarisnya memanggilkan ambulans.
Setelah ambulans datang mengangkut pasien emergency tersebut, Cantika mengikuti mobil ambulans menuju ke rumah sakit ditemani oleh Merry, asisten Sandiaga. Dia sendiri yang mengemudikan mobil Porsche silver kesayangannya yang berharga selangit itu.
"Mer, coba keluarganya Om Sandi dihubungi. Kamu kenal 'kan?" ujar Cantika sambil fokus ke lalu lintas di hadapannya.
Namun, Merry tak langsung menjawab pertanyaan big bossnya tersebut. Setahunya Pak Sandiaga Gunadharma itu seorang duda cerai mati, putera tunggalnya bersekolah di Inggris. Jadi otomatis tidak ada yang bisa dia hubungi segera.
"Maaf, Bu Tika. Sepertinya kalau mau menghubungi keluarganya bakalan percuma," sahut Merry memilin-milin tangan di pangkuannya sembari melirik ke Cantika.
"Lho kok bakalan percuma sih, memangnya kenapa? Kalau biaya perawatan rumah sakit sih ditanggung asuransi dari kantor. Paling nggak ada yang bisa nemenin beliau sampai sembuh nanti," balas Cantika bingung dengan jawaban bawahannya.
"Tiiiiinn!"
Mendadak dia menekan klakson dan mendesis kesal karena seorang pengemudi sepeda motor tiba-tiba memotong jalurnya hingga nyaris berserempetan. "Gila, orang ... cari mati dia!" rutuknya.
Merry pun terkesiap kaget. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya karena Cantika mengemudi dengan sangat berani. "Sabar, Bu! Nggak usah buru-buru ngejar ambulans, Pak Sandi dibawa ke Rumah Sakit Permata Indah Medika. Kalau nggak tahu alamatnya bisa buka googlemaps aja," saran wanita berusia awal 20an tahun tersebut.
"Ckk ... bukan salahku kali, Mer!" kelit Cantika membela diri. Dia pun memelankan laju mobilnya agar asisten sekretarisnya tidak kena serangan jantung dadakan.
Setelah situasinya kembali tenang, Merry pun menjawab pertanyaan Cantika tadi, "Putera tunggal Pak Sandiaga itu bersekolah di Oxford University, Bu. Sepertinya kalau mau dihubungi kemungkinan besok atau entah kapan baru bisa kembali ke Jakarta!"
"Wah, jauh bener sekolahnya! Kerabat lainnya selain puteranya apa nggak ada sih, Mer?" sahut Cantika tak ingin menyerah.
"Nggak ada, Bu. Bukan keluarga besar sepertinya. Di biodata karyawan nggak ada keterangan selain Mas Arsenio itu deh!" Merry ingin rasanya menambahkan, 'jangan ngeyel deh, Bu!'
Memang big bossnya itu terkenal keras kepala, makanya sampai usia 36 tahun pun masih saja menolak untuk dijodohkan oleh orang tuanya. Alhasil, Cantika Paramitha terkenal di perusahaan milik keluarga Wiryawan sebagai perawan tua.
Sesampainya di rumah sakit, mereka berdua menunggu hasil pemeriksaan dari dokter spesialis internis terkait kondisi Sandiaga.
"Keluarga dari pasien Bapak Sandiaga Gunadharma!" panggil sang dokter spesialis internis.
Cantika pun tergopoh-gopoh menghampiri dokter botak berkaca mata tebal itu dan menjawab, "Saya, Dok. Gimana kondisi Om Sandi?"
"Mbak, ini pasien didiagnosa gagal ginjal kronis. Sudah lama sepertinya gejalanya diabaikan oleh beliau. Pada akhirnya ketahuan juga ketika sudah parah. Dari pihak rumah sakit akan menyarankan untuk perawatan opname dengan serangkaian terapi. Pak Sandiaga harus bed rest sementara waktu ditambah cuci darah rutin. Tolong diisi formulir data pasien dan diurus administrasinya ya. Apa ada pertanyaan lainnya?" tutur Dokter Alfian Chandra.
Tak ada yang bisa diandalkan oleh Sandiaga selain dirinya saat ini, terpaksa Cantika mengambil semua tanggung jawab tersebut. "Baik, Dok. Saya mengerti, akan segera saya urus formulir data pasien dan administrasinya. Terima kasih!" jawab Cantika dengan tenang.
Selepas kepergian dokter, Cantika pun mengajak Merry untuk mengisi data pasien karena asistennya lebih tahu dibanding dirinya.
Saat Merry mengisi formulir, dia pun bertanya, "Bu, yang jagain Pak Sandi siapa? Maaf, saya ada keluarga yang nggak bisa ditinggal di rumah."
Cantika menaikkan satu alisnya menatap Merry. "Lho memangnya kamu udah nikah, Mer?" selidiknya heran.
Wanita muda itu menghela napas mendengar pertanyaan Cantika. 'Iya kali betah ngejomblo seumur hidup kayak Bu Tika?! Helloow!' batinnya. Namun, yang terucap dari mulutnya berbeda, "iya, saya punya suami dan anak usia 2 dan 4 tahun di rumah."
"HAHH? Rame amat. Hihihi," seru Cantika lalu cekikikan karena menurutnya itu di luar logikanya. Dia malas ribet dan lebih suka dengan hidupnya yang simple, tinggal sendirian di apartment. Akhirnya dia memperbolehkan Merry untuk pulang duluan naik taksi online sendirian.
Setelah dipindahkan ke ruang ICU, Cantika pun diperbolehkan menjenguk Sandiaga. Pria berumur yang biasanya masih terlihat awet muda dan energik itu nampak kuyu. Rupanya segala beban pekerjaan yang diembannya dari Cantika menguras tenaga dan pikirannya.
"Om Sandi ... maaf ya kalau selama ini aku bikin Om kecapekan kerja. Susah cari sekretaris yang bisa diandalin kayak Om!" Cantika mendesah lelah, dia mulai berpikir alternatif untuk mencari pengganti pria yang sedang tergolek lemah di ranjang ruang ICU tersebut.
Perlahan kelopak mata yang berkerut-kerut ujungnya itu pun membuka dan menatap ke Cantika. Dia berkata lirih sekalipun masih kedengaran oleh wanita berpenampilan kusut tersebut, "Tika, maafin Om ya. Malah jadi ngerepotin kamu begini. Apa kamu bawa ponsel punyaku?"
Cantika pun menyingkap pakaian sterilnya lalu mencari di tas selempangnya benda yang dimaksud Sandiaga. "Ada di aku, Om. Gimana? Apa ada sanak saudara yang ingin dihubungi? Bisa pakai HP atau aku bantu ketik pesannya?" cerocos wanita berwajah oval itu penuh perhatian.
Senyum lemah menghiasi wajah keriput Sandiaga, dia pun menjawab, "Siniin HP-nya. Biar kutelepon si Arsen biar pulang ke Jakarta!"
Nama Arsen itu dikenali oleh Cantika sebagai Arsenio, putera tunggal sekretarisnya. Dia pun segera menyerahkan HP canggih berharga 8 digit itu ke tangan Sandiaga.
Sejenak pria beruban berpotongan rambut klasik belah pinggir itu menunggu nada sambung dari panggilan teleponnya dijawab.
"Halo, Papa. Lho ... lagi dimana nih? Kok pake baju rumah sakit sih?!" Suara seorang pria yang agak berat dan husky itu terdengar dari loud speaker ponsel Sandiaga.
"Halo, Sen. Papa di RS ini, sakit lumayan berat. Kamu pulang gih ke Jakarta, ada yang harus kamu kerjain di sini. Papa minta tolong, oke?" jawab Sandiaga dengan nada tegas sedikit memaksa.
Pemuda di ujung telepon itu pun terdiam sejenak sebelum berkata, "Oke. Besok Arsen mungkin sudah sampai Jakarta. Papa baik-baik di sana ya. Ehh ... iya, siapa yang jagain Papa?"
"Bagus kamu nanya, Sen. Yang jelas bukan Mbok Darmi yang jagain Papa!" Sandiaga tertawa renyah melirik Cantika yang ikut cekikikan. Dia lalu melanjutkan, "yang jagain Papa spesial. Cakep, perhatian pokoknya. Udah buruan kamu cari tiket pesawat, Papa tutup ya teleponnya!"
Arsenio menaikkan sebelah alisnya mendengar sosok yang disebutkan oleh papanya. "Papa nggak cari mama baru buat Arsen 'kan?" tanyanya curiga.
Kali ini Cantika tertawa sampai menyembur mendengar tuduhan putera sekretarisnya.
"Mau tahu aja deh kamu! Pulang dulu, oke?" balas Sandiaga tak menyebutkan siapa sosok yang menemaninya di ICU saat ini.
Akhirnya Arsenio setuju lalu menutup teleponnya. Sedangkan, papanya berbicara kepada Cantika, "Sudah, kamu pulang aja sekarang. Om bisa sendiri di sini, banyak perawat yang jagain. Besok kalau Arsen sudah datang, mau Om kenalin ke kamu. Nggak usah cari pengganti sekretaris dulu, sementara biar putera Om yang bantu kamu di kantor, Tika!"
"Boleh. Tika ikut aja saran Om Sandi, pasti itu yang terbaik," balas Cantika menghela napas lega. Dia pun berpamitan dengan pasien ICU tersebut lalu pulang ke apartmentnya sendirian. Sungguh satu hari tak terduga dalam hidupnya yang biasanya tenang dan nyaman.
Sambil mengemudikan mobil mewahnya, Cantika teringat suara putera sekretarisnya yang membuat bulu romanya sontak meremang.
Dua puluh tahun kemudian. "Jessica, tolong taruh buket bunga dalam vas ini di meja depan panggung ya!" pinta Baby Alexandra kepada keponakannya yang telah berusia 19 tahun.Puteri bungsu Cantika dan Arsenio itu baru saja lulus SMA dua hari yang lalu. Sedangkan, hari ini adalah hari jadi pernikahan mama papanya yang ke-25. Dia bersama keluarga Gunadharma dan Gozhali menjadi panitia acara meriah yang diadakan di resort Pulau Mutiara Permai."Sudah, Tante Baby. Apa ada lagi yang belum kelar persiapan pestanya?" tanya Jessica sambil celingukan mencari saudara-saudaranya. Putera Baby; Justin dan Aaron juga ikut ke pulau pribadi itu. Mereka justru asik bermain selancar dengan ombak sedang cenderung tinggi bersama ketiga putera bibi mereka; Kenneth, Daniel, dan Zeus."OMG, cowok-cowok ini ya! Memang minta dijewer, para tamu sudah pada berdatangan kok masih ngelaut aja mereka!" omel Jessica dengan gemas menatap ke arah lautan. Tenda besar dengan tirai kain putih dan pink yang dibuat di tep
Setelah Zeus genap berusia dua setengah tahun, Arsenio memeriksakan kehamilan mommy tiga putera itu yang telah menginjak usia kehamilan 18 minggu. Pasangan suami istri itu begitu bersemangat untuk mengetahui jenis kelamin janin di rahim Cantika."Kuharap kali ini perempuan, kita sudah punya tiga anak laki-laki, Darling. Kau memiliki empat jagoan untuk mengawalmu; aku, Ken, Danny, dan Zeus!" ujar Arsenio yang mengemudikan sendiri mobil Lexus LS500 menuju ke rumah sakit.Cantika yang duduk di sebelah bangku pengemudi menghela napas pasrah. Dia pun bertanya, "Bagaimana kalau ternyata jagoan keempat? Bukankah bagus seperti film drakor Boys Before Flower, empat serangkai cowok-cowok kece, Daddy Arsen?""Ohh ... tidak! Aku pengin anak cewek untuk kumanjakan di rumah, Cantika!" protes Arsenio menolak keras. Dia memarkir mobil di lantai basement Rumah Sakit Siloam.Internasional lalu membantu Cantika turun dari mobil lalu naik lift ke poli obsgyn.Ternyata antrean mereka masih kurang dua pasie
Tepat seperti janji Leon kepada Arsenio, istana untuk keluarga kecil dan ratu hatinya itu selesai dalam tempo tiga bulan semenjak mereka pulang berbulan madu ke Eropa. Sebuah pesta meriah digelar untuk acara syukuran ditempatinya rumah baru tersebut.Sekitar pukul 18.00 WIB, para tamu kolega Cantika dan Arsenio mulai berdatangan hingga halaman di depan serta samping kanan kiri kediaman Cantika Gunadharma itu dipenuhi kendaraan mewah berbagai merk.Cantika malam itu mengenakan gaun berkerah Sabrina berbahan satin warna merah mawar yang berekor panjang. Di sampingnya, Arsenio berdiri dalam balutan tuxedo warna hitam yang membuatnya nampak gagah serta tampan. Mereka berdua menyambut tamu dengan wajah berhiaskan senyum bangga."Selamat untuk rumah baru kalian yang sangat megah, Cantika, Arsen! Om turut berbahagia dengan kesuksesan bisnis kalian yang nampaknya berkembang pesat!" ujar Pak Revano Gozhali yang hadir dalam pesta meriah itu bersama keluarganya termasuk Baby Alexandra, adik tiri
Negara spagetti menjadi tujuan terakhir perjalanan bulan madu Arsenio dan Cantika. Keindahan negara Italia yang terletak di jantung Laut Mediterania itu memang memukau dengan banyak bangunan peninggalan sejarah seperti colloseum dan kuil Pantheon. Selain itu Italia juga terkenal dengan sepak bola sama seperti kebanyakan negara besar di Benua Eropa. "Pantai Amalfi yang disarankan oleh nenek untuk dikunjungi berada di Positano. Aku sudah memesan kamar di Hotel Marina Riviera, lokasinya strategis tak jauh dari pantai, sekitar 200 meter saja dan ada outdoor swimming pool. Sangat nyaman dan indah, kamu pasti suka sekali, Darling!" ujar Arsenio saat mereka naik taksi dari Stasiun Milan Central untuk tinggal sehari di kota Milan sebelum berpindah ke kota Positano."Aku ikut saja apa yang kamu pikir itu bagus, Arsen. Kamu sangat bisa diandalkan, Hubby!" jawab Cantika lalu mengecup bibir Arsenio di bangku belakang taksi sekalipun Suster Nina duduk di sebelahnya bersama Daniel.Rombongan itu s
Dari Amsterdam, rombongan asal Indonesia itu bertolak ke Spanyol dengan kereta Eurostar yang melintasi antar negara di benua Eropa. Negeri Matador itu memang sangat menarik sebagai salah satu tujuan wisata. Kereta api itu berhenti di Estacion de Atocha, Madrid. Arsenio seperti biasa mengajak rombongannya untuk menaruh barang di hotel serta beristirahat sejenak sebelum berkeliling kota. Rencananya dia akan singgah tiga hari di Spanyol untuk berkeliling kota Madrid dan Barcelona sebelum pindah ke negara tetangga yaitu Italia yang tak boleh terlewatkan untuk dikunjungi selama melancong ke Benua Eropa."Tidurlah sebentar bersamaku, Darling. Hari masih cukup pagi, satu atau dua jam lagi barulah kita berangkat ke museum," bujuk Arsenio sambil merengkuh tubuh Cantika hingga tenggelam di pelukannya di bawah selimut.AC kamar memang membuat Cantika mengantuk, dia menguap lalu bertanya," Kita mau ke mana saja hari ini, Sen?""Sebenarnya ada banyak museum di Madrid, tapi aku memilih satu saja y
Setelah singgah di London selama empat hari, Arsenio dan keluarga kecilnya berpamitan dengan Nyonya Bernadete Sloan. Mereka ingin meneruskan tour ke Amsterdam terlebih dahulu dengan kereta cepat Eurostar. Kereta api itu berhenti di Stasiun Amsterdam Centraal yang bangunannya indah karena merupakan peninggalan bersejarah abad ke-18 akhir dengan gaya bangunan Gothic, Renaissans revival. Arsenio membawa koper mereka semua dengan sebuah troli karena ketiga perempuan yang bersamanya masing-masing menggendong anak-anaknya. Dia nampak seperti seorang pria yang memiliki tiga istri di mata orang-orang awam yang berpapasan dengan rombongan itu. Sebuah taksi dari Stasiun Amsterdam Centraal mengantarkan mereka ke Hotel Royal Amsterdam yang terletak di pusat keramaian kota. Arsenio telah membuat rencana untuk menikmati obyek wisata menarik di sana."Aku ingin melihat taman bunga Tulip, Sen. Belanda terkenal karena bunga Tulip, kincir angin, dan bendungannya bukan?" ujar Cantika sambil mengamati