Share

Kok Jadi Salah Tingkah?

"BRUKKK!" 

Tubuh ramping Cantika nyaris terkapar di lantai koridor rumah sakit bila tidak segera ditarik ke dekapan sosok bertubuh atletis yang menubruknya keras. 

"Maaf, Nona. Apa kamu nggakpapa?" ucap cemas pemuda tampan dengan cambang tipis itu sembari memeriksa tubuh Cantika.

"Ehh ... ohh ... nggakpapa kok. Makasih sudah dipegangin, jadi nggak kena gegar otak barusan!" jawab Cantika meringis antara kesal dan lega sekaligus. 

Pemuda itu pun melepas senyum kalemnya sebelum berlalu dari hadapan Cantika ke arah yang berlawanan. Beberapa langkah mereka saling menjauh lalu menoleh ke belakang bersamaan hingga berakhir salah tingkah dan berjalan cepat melanjutkan perjalanan masing-masing.

"Siapa sih cowok tadi? Bodinya kayak buldozer, keras gitu nubruknya!" gumam Cantika sambil melangkah cepat di atas high heels merah menyalanya menuju ke ruang perawatan tempat sekretarisnya dirawat. 

Sandiaga Gunadharma sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan pasien reguler. Sesampainya di depan pintu kamar tersebut Cantika mengetoknya 3 kali sebelum membukanya. 

"Halo, Om Sandi. Gimana kabarnya? Sudah segeran badannya ya?" sapa Cantika sembari menghampiri samping ranjang pasien.

"Hai, Tika. Iya, sudah mendingan dibanding kemarin, pusingnya berangsur hilang dan juga nggak begitu lemes. Oya, putera Om, Arsenio sudah sampai di Jakarta. Nanti kalau dia ke mari, kukenalin ke kamu!" balas Sandiaga sambil setengah berbaring memandangi Cantika yang duduk di sisi kiri ranjangnya. Dia lalu bertanya, "Cantika, kamu nggak kecapekan 'kan gara-gara Om sakit?"

Sebenarnya memang absennya sekretaris kepercayaannya membuat dirinya pontang-panting di kantor. Banyak pekerjaan yang biasanya dikerjakan Sandiaga, jadi harus dikerjakan oleh asisten sekretaris. Hanya saja berbeda hasilnya dan Cantika harus menambah stok kesabarannya banyak-banyak, semuanya harus dikomando satu per satu olehnya berbeda dengan bersama Sandiaga yang seolah autopilot.

"Ya gitu deh, Om. Si Merry rada telmi, semua harus kukasi tahu begini begitu sampai kelar," jawab Cantika menyederhanakan hectic yang telah dia lalui hari ini.

Baru saja mereka berbincang-bincang santai mengenai pekerjaan kantor, sosok pemuda bertubuh tinggi semampai dengan gugusan otot yang seolah tak mampu disembunyikan oleh sweater kelabunya membuka pintu kamar perawatan Sandiaga lalu melangkah masuk.

"Lho?" seru Cantika dan pemuda itu bersamaan.

Sandiaga pun mengangkat sebelah alisnya seraya berkata, "Kalian sudah ketemu sebelumnya? Ini Arsenio, anaknya Om!" Dia lalu berdehem. "Sen, itu bos Papa, calon bosmu juga. Namanya Cantika Paramitha."

Pemuda itu ber-oh lalu mengulurkan tangannya. "Arsenio Bernard Gunadharma, panggil aja Arsen, Bu!" ujarnya sambil mengulas senyum tipis yang membuat wajah berahang kokohnya semakin ganteng saja.

Dipanggil 'Bu' oleh pemuda di hadapannya membuat Cantika sedikit tercubit hatinya. 'Apa aku sudah keliatan setua itu? Kayak ibuk-ibuk?' batinnya gemas. Dia pun tertawa pelan. "Cantika Paramitha Wiryawan, panggil saja sesuka kamu, Arsen!" balasnya.

Mendadak Arsenio salah tingkah sendiri. Sebetulnya dia memanggil 'bu' lebih karena itu panggilan resmi standar untuk atasan perempuan yang dia tahu di Indonesia. Ataukah dia harus memanggil Cantika dengan Madam atau Miss yang lebih muda begitu kesannya?

"Tika masih single, belum nikah apa lagi punya anak, Sen. Mendingan panggil Miss aja deh biar sopan nggak sekadar panggil pake nama karena dia bakal jadi bos kamu nanti. Kata dokter, Papa harus bed rest beberapa bulan. Kasihan kalau Tika harus kerepotan cari sekretaris dan didik dari nol. Kalau kamu nggak paham kerjaan di kantor, tinggal telepon atau kirim chat buat nanya ke Papa, oke?" tutur Sandiaga mengarahkan puteranya tentang hibahan pekerjaan darinya.

Setelah mendengar pesan dari papanya, Arsen pun mengangguk paham. Dia lalu mengatakan hal lainnya, "Kata dokter spesialis internis, Papa bisa mulai cuci darah besok siang. Tadi Arsen udah tanyain."

"Oke, nggak usah ditemenin. Perawat yang ngurusin Papa sudah banyak di sini. Kamu mulai kerja besok pagi, jangan telat. Mendingan kamu pulang buat istirahat aja, penerbangan dari London ke Jakarta pastinya bikin capek 'kan?" ujar Sandiaga sengaja mengusir puteranya pulang. 

"Fine. Ya udah, Arsen pulang dulu deh, Pa. Get well soon ya, jangan kelamaan sakitnya!" Arsenio terkekeh menepuk-nepuk paha papanya di bawah selimut.

Cantika pun disuruh pulang juga oleh Sandiaga karena dia tahu perempuan itu juga lelah bekerja seharian. Bahkan, wajah cantiknya berbayang gelap di bawah kedua mata lebar berbulu mata lentik itu.

Akhirnya Cantika mengikuti Arsenio yang juga ingin pulang. Dia pun teringat bahwa pemuda itu baru saja datang dari luar negeri dan bertanya, "Pulang ke rumah naik apa, Arsen?"

"Naik mobil papa sih, kenapa? Kamu apa bawa mobil juga atau mau aku anterin pulang?" balas Arsenio sambil merangkul bahu Cantika ke tepi lorong saat mereka berpapasan dengan brankar berisi pasien yang didorong cepat oleh paramedis.

Sedikit terkejut dengan perlakuan protektif pemuda yang baru dia kenal, Cantika sampai-sampai bengong menatap wajah Arsenio.

"Hello ... kamu ngelamun, Dear?" Pemuda itu melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Cantika.

"Ehh ... apa?" sahut Cantika yang tak biasanya tak fokus.

Arsenio menertawakan bos barunya itu. "Mungkin kamu kecapekan ya? Apa butuh aku setirin pulang ke rumah? Bawa mobil apa nggak?" ulangnya.

"Nggak ... nggak usah, aku nggak mau ngerepotin buat hal yang remeh. Apartmentku cuma sejam kurang jauhnya dari sini. Sampai ketemu besok pagi di kantor ya, Sen. Glad to know you, bye!" Cantika melambaikan tangannya lalu bergegas meninggalkan Arsenio di depan pintu lobi rumah sakit.

"Ciiiiitttt!"

"AWAS!" Arsen segera menyelamatkan Cantika dari tertabrak mobil dengan menariknya ke pelukannya.

Suara bunyi ban mobil yang menggasak jalan karena direm mendadak terdengar disusul klakson kencang. "Woiii jalan nggak lihat-lihat, cari mati kau!" seru pengemudi mobil sedan yang akan melintas di depan lobi rumah sakit dan nyaris menabrak Cantika melongokkan kepala dari jendela mobilnya.

"Bapaknya juga salah, sudah tahu ini jalur ramai melintas kok kenceng amat!" omel Arsenio tak mau kalah galak dengan sang pengemudi mobil yang serampangan itu.

"Sen, udah ... udah. Jangan ribut deh, aku malas jadi tontonan orang banyak. Temenin ke parkiran mobil depan aja ya?" lerai Cantika dengan bijak lalu menggamit lengan pemuda itu melangkah bersamanya ke deretan mobil pengunjung rumah sakit.

Sembari berjalan, Arsenio pun menasihati Cantika, "Kamu harus hati-hati. Fokus dong kalau mau ngapa-ngapain. Hmm ... jadi kuatir aku jadinya ngelepas kamu pulang sendirian!"

Cantika terkikik karena merasa justru dia dalam posisi seperti bocah kecil diomeli oleh pemuda yang usianya jauh di bawahnya itu. "Sen, kamu nggak berasa kayak bapak-bapak gitu kalau lagi ngomel?" tukasnya.

"Ckk ... wajarlah, kamu tuh clumpsy. Jalan aja tadi kita tabrakan di lorong rumah sakit, giliran mau pulang malah mau ditabrak mobil. Gimana nggak cemas? Coba mau ngeles apa lagi kamu?!" Arsen berkacak pinggang di depan mobil Porsche silver milik bos barunya.

Cantika pun mendesah lelah. "Nggak biasanya aku begini. Entahlah ... kali aku capek dan banyak pikiran—" 

Tangan Arsenio sontak terulur ke hadapannya. "Kunci! Kasih kuncinya ke aku, nggak usah protes. Aku anterin kamu pulang aja!" tegasnya tanpa mau ditolak.

Ketika pemuda itu bergeming menunggunya, Cantika pun mengalah juga. Dia mengambil kunci mobil dari dalam tas tangannya lalu menyerahkan ke Arsenio. "Apa nggak ribet kamu pulangnya?" ucap Cantika memikirkan cara pemuda itu pulang dari apartmentnya nanti.

"Naik ke mobil. Itu urusanku, yang penting kamu selamat sampai tujuan, oke?!" Arsenio membuka pintu mobil mewah itu dengan remote lalu membukakan pintu sisi penumpang depan untuk Cantika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status