Home / Romansa / Gairah Membara Paman Tunanganku / BAB 8- Menyerahkan Diri Untuk Menepati

Share

BAB 8- Menyerahkan Diri Untuk Menepati

last update Huling Na-update: 2025-10-08 20:14:59

Setelah melalui malam yang sulit, Serena akhirnya bisa bernapas lega kembali. Setelah Steave menepati janjinya untuk melanjutkan biaya pengobatan, pihak rumah sakit langsung memindahkan ibu Serena ke ruang intensif.

Ibunya tertidur tenang di ranjang rumah sakit. Napasnya kini stabil, alat bantu sudah dilepas, dan dokter mengatakan kondisinya mulai membaik. Serena duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan ibunya erat-erat.

“Ibu, maafkan Serena yang sudah gegabah. Terima kasih Ibu sudah bertahan,” ucapnya lirih, senyum lemah terukir di bibirnya. “Terima kasih, Tuhan…”

Hatinya terasa tenang, tapi bersamaan dengan itu, muncul sesak yang sulit dijelaskan. Setiap detik yang berlalu mengingatkannya pada kenyataan pahit, semua biaya rumah sakit, obat-obatan, hingga kamar VIP ini dibayar oleh Steave.

Dan sekarang, ia harus menepati syarat pria itu.

Serena menatap wajah ibunya sekali lagi sebelum berdiri. Ia mengusap air matanya, lalu keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Di depan rumah sakit, ia menunggu taksi dengan tatapan kosong. Rambutnya ditiup angin, mata lelahnya menatap jalanan yang ramai tanpa benar-benar melihat apa pun.

“Tidak ada yang gratis di dunia ini,” gumamnya pelan.

Saat taksi datang, Serena masuk dan menyandarkan kepala ke jendela. Jalanan yang berkelok dan suara mesin menjadi pengiring pikirannya yang penuh keraguan. Ia menatap pantulan wajahnya di kaca jendela mobil, mencoba mencari keberanian di mata sendiri.

Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya menegang.

Ethan.

Serena menarik napas dalam, lalu mengangkat panggilan itu.

“Halo,” suaranya terdengar datar.

“Serena, kamu di mana? Kamu beberapa hari ini tidak pulang ke rumah. Apa terjadi sesuatu? Katakan kamu di mana sekaran, aku akan ke sana,” ucap Ethan di seberang sana terdengar lembut, tapi entah kenapa membuat Serena semakin lelah.

“Tidak usah, Ethan. Semuanya baik-baik saja.”

“Kamu yakin? Aku khawatir, Ren. Aku…”

Serena memotong cepat, “Aku sibuk, Ethan. Aku harus mengerjakan sesuatu. Nanti aku kabari lagi.”

Sebelum Ethan sempat menambah kata, Serena sudah menekan tombol merah. Ia menatap layar ponselnya sebentar sebelum memejamkan mata. Rasa bersalah menghantam dadanya, tapi dirinya tidak punya waktu untuk perasaan lain sekarang.

Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca. Tempat yang sama seperti semalam.

Petugas keamanan langsung mempersilakan masuk setelah menyebutkan namanya. Lift yang menuju lantai paling atas terbuka, dan Serena masuk. Musik lembut terdengar di dalam lift, tapi bukannya menenangkan, malah membuat jantungnya berdetak semakin kencang.

Angka di layar lift naik perlahan.

21... 22... 23... Penthouse.

Pintu terbuka.

Paul, asisten Steave, sudah berdiri tegak di depan pintu apartemen.

“Selamat datang, Nona Serena,” ucapnya sopan sambil menunduk kecil.

Serena hanya mengangguk tanpa suara. Tangannya terasa dingin saat Paul membukakan pintu.

Apartemen itu sunyi seperti malam terakhir. Serena melangkah masuk, lalu matanya menangkap sosok pria yang berdiri di dekat jendela besar, menatap kota dari ketinggian.

Steave mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung sampai siku. Cahaya sore menyorot siluet tubuhnya yang tegap dan berwibawa. Ia tidak menoleh, hanya berbicara penuh tekanan.

“Akhirnya kamu datang.”

Suara itu terdengar dingin, seperti perintah tak terbantahkan. Serena menggigit bibir bawahnya, melangkah pelan ke arah pria itu.

“Tuan Steave...” panggilnya ragu.

Pria itu akhirnya berbalik, tatapannya tajam dan sulit ditebak. Ada ketenangan berbahaya di matanya, seperti singa yang sedang menunggu mangsanya datang dengan sukarela.

“Jadi kamu sudah siap menepati janji?” tanyanya datar.

Serena menelan ludah. “Aku... aku sudah pikirkan semuanya. Aku hanya ingin kamu tahu, aku melakukan ini bukan karena aku mau, tapi karena aku tidak punya pilihan lain.”

Steave berjalan perlahan mendekat, langkah kakinya terdengar jelas di lantai.

“Itu memang sudah konsekuensinya.”

Steave berhenti tepat di hadapannya. Ujung jarinya mengangkat dagu Serena dengan lembut tapi tegas, memaksa gadis itu menatap ke arahnya.

Serena terdiam. Suara napasnya terdengar lebih cepat. Aura dingin yang terpancar dari pria di depannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ia bisa mencium aroma cologne mahal di pakaian Steave.

“Kalau kamu ingin menepati janji,” lanjut Steave, “lakukan dengan cara yang benar. Seperti yang sudah kamu setujui.”

“Tuan Steave–”

“Tidak perlu menjelaskan.” Suaranya turun satu oktaf, lembut tapi mengintimidasi. “Aku sudah memberi apa yang kamu butuhkan. Sekarang giliranmu memberi apa yang aku inginkan.”

Serena memundurkan langkah, tapi Steave menahan pergelangan tangannya. Sentuhan itu membuatnya membeku. Pandangan mereka bertemu, dan dalam tatapan mata pria itu, Serena tak menemukan belas kasihan, hanya kekuasaan dan kendali mutlak.

Tangannya bergetar, tapi ia mencoba menegakkan bahu. “Baik. Aku akan menepati janjiku.”

Steave tersenyum tipis. “Bagus.”

Ia melepaskan pergelangan tangan Serena dan berjalan ke sofa besar di ruang tamu, duduk santai sambil menatap gadis itu. “Tutup pintunya.”

Serena menatap pria itu beberapa detik sebelum akhirnya menuruti perintah. Pintu pembatas tertutup dengan bunyi klik yang bergema di ruangan luas itu.

Serena berdiri kaku di tempat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Steave bangkit dari duduknya. “Tidak usah berpikir terlalu banyak. Aku akan memandumu.”

Serena terdiam. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, cepat dan keras.

Ketika pria itu berhenti tepat di hadapannya, bayangan mereka menyatu di bawah cahaya lampu. Tatapan Steave menelusuri wajahnya perlahan, seolah menimbang sesuatu.

Serena menggenggam ujung blazernya erat, mencoba tetap berdiri tegak.

Steave menatapnya lama, lalu membisikkan satu kalimat yang membuat tubuh Serena kaku seketika.

“Mulai sekarang, kamu milikku, Serena.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 28- Rencana Pernikahan

    Serena turun dari taksi tepat di depan rumah besar bergaya klasik milik keluarga Collins. .Ia membayar ongkos taksi, lalu mengucapkan terima kasih singkat.Begitu pintu besar terbuka. Seorang pelayan tua yang sudah mengenalnya sejak kecil menunduk sopan.“Selamat malam, Nona Serena.”“Selamat malam.”Pelayan itu tersenyum lembut, namun matanya terlihat cemas. Ia tahu hubungan Serena dengan keluarga ini tidak pernah baik lagi sejak kedatangan orang asing.Langkah Serena berhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang wajahnya selalu ia lihat dengan perasaan kesal. Claudia, ibu tirinya, serta Marissa, kakak tirinya yang cantik namun penuh kesombongan.Mereka berdua menatap Serena dengan senyum sinis yang lebih terasa seperti ejekan.“Lihat siapa yang akhirnya datang juga,” ujar Claudia tanpa menutupi nada dinginnya.Serena hanya menatap sebentar, lalu berjalan melewati mereka. “Ayah di mana?” tanyanya datar.“Di atas. Ayah sedang bicara hal penting dengan Ethan,” jawab Ma

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 27- Merendahkan Harga Diri Di depanmu

    Sore sebelum jam pulang kerja hampir selesai, Serena menutup laptopnya dan merapikan barang-barang yang telah digunakan.Hari ini ia memutuskan akan pulang ke rumah orang tuanya, ia harus selesaikan masalah pertunangan ini secepatnya. Dulu, ia menyetujui semua perkataan ayahnya karena dialah yang membiayai semua pengobatan ibunya. Sekarang? Mereka lepas tangan, tidak ingin bertanggung jawab, tapi meminta lebih dari Serena. Suntikan dana dari keluarga Ethan sudah sangat cukup mengembangkan kembali bisnis ayahnya yang sempat bermasalah, sekarang Serena tidak akan lagi menjadi pion mereka.Ia melihat satu demi satu rekan kerja mulai beranjak pulang. Hanya suara detak jam dan langkah sepatu di koridor yang sesekali terdengar.Saat Serena hendak berdiri, matanya menangkap sosok perempuan yang baru saja masuk ke lantai itu. Wanita itu tampak begitu mencolok di antara karyawan lain. Serena sempat terpaku, matanya mengikuti langkah wanita itu yang semakin mendekat. Wanita itu berhenti tepat

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 26- Pernikahan Yang Akan diepercepat

    Pagi ini, Serena tiba lebih awal di kantor, berharap bisa menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar pikirannya tidak lagi melayang pada malam itu.Ia memutar laptop, membuka dokumen laporan keuangan yang harus diserahkan hari ini. Pandangannya berusaha fokus, meskipun jemarinya sempat berhenti beberapa kali. Ada sebuah notifikasi masuk di ponsel membuatnya melirik cepat. Pesan dari rumah sakit.(Kondisi Ibu Anda stabil, tidak perlu khawatir. Kami akan kabari bila ada perkembangan baru)Serena mengembuskan napas lega. Beban kecil di pundaknya terasa terangkat. Ia menatap layar sejenak sebelum kembali mengetik. Semuanya harus selesai hari ini. Ia ingin terlihat normal, seolah tidak ada yang terjadi beberapa hari ini.Suara langkah terdengar mendekat. Rekannya, Maya, muncul di depan meja sambil membawa beberapa berkas.“Serena, ini tanda tangan dari tim proyek yang kemarin kau minta,” katanya.“Terima kasih, Maya.”Maya menatapnya sejenak, memperhatikan wajah Serena yang tampak pucat. “K

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 25- Kau Menginginkanku?

    “Steave, buka!” Steave membuka pintu dengan enggan. Ia bisa merasakan kemarahan Viviane hanya dari nada suaranyaWanita itu berdiri di hadapannya, tak ada sikap formal atau pun basa-basi seperti biasa yang dilakukannya. “Di mana dia?” tanya Viviane dingin, menatap sekeliling ruangan. “Kau menyembunyikan seorang perempuan di sini?” Wanita itu langsung masuk tanpa Steave mempersilahkan.Steave tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu di belakangnya dan berdiri diam beberapa langkah dari Viviane. Tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah.Viviane mulai berjalan ke arah ruang tamu, membuka satu per satu pintu dengan kasar. “Serius, Steave? Kau membawa perempuan lain ke rumah ini? Tinggal bersamamu?” Ia menatap sekeliling apartemen yang masih rapi, meski sangat bersih dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya orang lain di tempat ini, Viviane sangat yakin Steave telah merapikannya.“Viviane,” suara Steave akhirnya terdengar. “Jangan berteriak di sini.”Wanita itu berbalik cepat, matany

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 24- Hukuman Penuh Nafsu

    Steave baru saja membuka pintu apartemennya. Sepanjang perjalanan dari kediaman keluarga Whitmore, Steave merasa sedikit kejam pada Serena.Saat masuk, ruangan apartemen sangat sepi. Ia pikir Serena akan menunggunya di ruang tamu. “Serena?” panggilnya, tapi tak ada jawaban.Steave berjalan ke arah kamar. Pintu kamar terbuka sedikit, dan dari dalam terdengar suara gemericik air. Alisnya terangkat.Dia melangkah masuk, lalu memanggil lagi. “Serena, kau di dalam?”Tak ada jawaban juga. Hanya suara air yang mengalir terus dari kamar mandi.Ketika Steave mendorong pintu perlahan, pandangan matanya menangkap sosok Serena yang duduk di dalam bathtub, dengan air mengucur dari shower yang masih menyala di atas kepalanya.Bahunya berguncang karena air mata bercampur dengan air di wajahnya, menetes tanpa suara.Steave sempat terdiam beberapa detik. Entah kenapa pemandangan itu membuatnya merasa puas juga sekaligus iba. Ia mendekat, tapi Serena tidak menyadari kehadirannya sampai ia mematikan

  • Gairah Membara Paman Tunanganku   BAB 23 - Hanya Sebatas Ranjang

    Malam itu, Serena berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. Apa yang terjadi di kantor tadi sore bersama Steave, cukup membuat Serena semakin rendah.Ia menatap pantulan dirinya dengan campuran gugup dan bingung. Pertemuan dengan keluarga Whitmore. Terutama ibunya Ethan, orang yang paling mendukung pertunangan mereka.“Semoga aku tidak melakukan kesalahan nanti,” gumamnya menghela napas.Gaun yang ia kenakan berwarna biru lembut dengan potongan elegan. Bahan satin tipisnya mengikuti lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Tali bahu tipis dengan aksen renda putih menambah kesan manis, sedangkan potongan A-line pada bagian bawah membuat gerakannya tampak ringan dan anggun. Rambutnya diikat setengah ke belakang dengan jepit mutiara kecil yang ia beli sendiri dua minggu lalu. Ia tidak menggunakan banyak riasan, hanya meka up tipis, lipstik, dan sedikit maskara. Serena menatap sekali dirinya di kaca, lalu meraih tas tangan kecil. Ia tidak ingin membuat Ethan semakin curiga saat tahu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status