LOGIN“Bukan buat main-main. Hanya keperluan kontrak sebagai model. Kamu juga harus menjalani pemotretan, sama seperti model-modelku yang lain.” Selina menoleh ke arah Raven. Kerutan di dahi pria itu perlahan menghilang setelah mendengar penjelasan tersebut. Bahkan tak tersisa sedikit pun raut curiga di wajahnya. “Nggak usah fisiknya, fotonya aja nggak apa-apa,” imbuh Selina lagi. Raven hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, nanti aku kirim fotonya ke kamu,” ujar pria itu sambil memainkan rambut Selina dengan tangan yang ditindih oleh kepala wanita itu. Senyum Raven berubah menyeringai. Ia kembali melingkarkan tangannya di pinggang Selina. “Tapi kalau begitu aku juga punya satu syarat lagi,” bisiknya, dan entah sejak kapan tatapan pria itu berubah menjadi sayu. “Syarat...” Selina bergumam seraya menundukkan kepala, melihat pergerakan tangan Raven yang makin tidak biasa. “Syarat apa?” Senyum di bibir Raven semakin mengembang sempurna. “Menghabiskan malam ini... dengan olahraga malam.
Raven menggeser tubuhnya mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Lengannya melingkar santai di pinggang Selina, menarik tubuh wanita itu sedikit lebih dekat ke dadanya. Kekehan tawa pelan keluar dari bibirnya, terdengar malas namun sarat sindiran.“Kamu benar-benar nggak bisa sabar, ya?”Selina mengerutkan kening. Tatapannya tertuju pada wajah Raven, bingung sekaligus kesal.“Maksudmu apa?”Raven memiringkan kepala. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.“Baru saja selesai bercinta, kamu sudah ingin bertanya soal suamimu. Benar-benar memanfaatkan kesepakatan kita dengan sempurna.”Selina mendengkus. Ia melepaskan diri dari pelukan Raven, lalu bangkit setengah duduk. Kedua lengannya menyilang di depan dada, seolah memasang jarak.“Bukannya memang begitu perjanjiannya? Kamu yang bilang punya banyak solusi untuk masalahku. Kamu mau bantu asal aku jadi pacarmu, benar?”Wanita itu menatap Raven tanpa gentar. Sorot matanya tegas, nyaris menantang.“Sekarang aku sudah menep
Selina kembali mendorong dada Raven semakin jauh. "Pakai pengaman dulu," peringat wanita itu meski napasnya putus-putus. Rasanya oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. Peringatan itu justru membuat Raven tersenyum samar. Ia membuat jarak dengan tubuh Selina membuka laci nakas di samping ranjang, lalu mengambil sebuah kotak berwarna biru bertuliskan Invisible di sisi kemasannya. Raven menatap nakal. Lalu melempar benda itu padanya. Selina yang tak mengerti menegakkan tubuhnya. Keningnya berkerut ke arah Raven. “Bantu pasang," kata pria itu dan rona merah kembali menghiasi wajah Selina. Namun, Selina tidak mengatakan apa pun. Ia hanya meraih kotak itu, membuka kemasannya dengan hati-hati. Raven merubah posisi tubuhnya menjadi berlutut di depan wanita itu. "Pasang yang betul," bisik Raven membiarkan wanita itu memegang miliknya dan memasang lapisan lateks tipis di sana. Ketika Selina hendak kembali berbaring di ranjang, Raven mencegah tangannya. Pria itu segera menarik tubu
Selina membeku. Kata-kata Raven barusan seperti suhu dingin menghentikan seluruh gerakan tubuhnya. Beberapa detik berlalu tanpa suara. Bahkan riak air pun seolah ikut menahan napas. Raven tidak terlihat menuntut. Ia hanya diam pada posisinya, menatap Selina dengan sabar… tetapi jelas menanti penjelasan yang sejelas-jelasnya dari wanita itu. Selina akhirnya melepaskan napas panjang. Ia menegakkan tubuhnya, mencoba mengumpulkan kosa kata yang pas sebelum menghadapi tatapan tajam pria itu. Dengan sedikit usaha, ia memasang ekspresi datar meski dadanya terasa sesak oleh detak jantung yang kacau. “Memangnya kamu berharap apa?” Selina memiringkan kepalanya sedikit, berusaha tetap santai, menyembunyikan gejolak di hatinya. “Kamu maunya aku hamil?” Raven tidak tertawa. Wajahnya juga tidak berubah sedikitpun. Tatapannya justru semakin fokus, seolah ia sudah memikirkan hal itu jauh sebelum Selina mengucapkannya. “Waktu itu kamu lagi subur banget,” ujarnya pelan. Nada suaranya bukan men
"Jangan kepedean! Itu ... bukan karena aku terangsang sama kamu!" Selina segera menendang kain segitiga tipis itu menjauh dari hadapannya dengan satu kaki. "Oh ya? Terus? Celanamu itu basah karena apa, hm? Jangan-jangan kamu sudah membayangkan adegan panas kita?" Raven menatapnya penuh selidik. Sepasang mata Selina seketika melotot. "I—itu mungkin karena aku habis menstruasi. Biasanya keluar lendir seperti itu." Jawaban Selina justru membuat Raven tertawa. "Benarkah? Bukan karena kamu nggak sabar dengan sentuhanku, hm?" Selina terdiam. Entah kenapa ia tak menemukan satupun jawaban. "Kenapa, hm? Kita bukan pertama kali pernah melakukannya, nggak usah gugup kaya perawan nggak punya pengalaman." Raven mengusap pipi Selina yang merah seperti kepiting rebus. "Aku... Cuma nggak terbiasa kaya gini," jawab Selina kemudian. Entah mengapa walau bukan pertama kali melakukannya Selina merasa sangat canggung. Beberapa kali membuang pandangan berusaha untuk bersikap tenang di depan R
Pegangan Selina di pundak Raven semakin mengencang tanpa ia sadari. Hanya dengan mendengar kata mandi, ia sudah bisa menebak ke mana arah pikiran pria itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan hanya karena tebakannya… tetapi juga karena ada hal lain yang membuatnya gelisah. “Tapi… aku nggak bawa baju ganti, Raven.” Selina menggigit bibirnya pelan ketika Raven mulai menaiki tangga menuju lantai dua. Suaranya terdengar ragu, menanyakan hal itu. Raven hanya terkekeh. Ia terus melangkah dengan mantap, lalu beberapa detik kemudian menurunkan Selina di sebuah kamar luas. Warna hitam mendominasi interiornya, senada dengan tampilan fasad bangunan yang mereka lihat dari luar. Selina mengedarkan pandangan dengan bingung, tubuhnya masih sedikit kaku setelah diletakkan di lantai. Ia lalu meletakkan tas kerjanya di atas meja kerja Raven. "Aku pesan baju dulu aja." Selina hampir menarik zipper tas kerjanya. Raven melangkah mendekat dan segera menangkup kedua pipinya, membuat Selina menata







