Home / Romansa / Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin / Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

Share

Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

last update Last Updated: 2025-10-03 15:07:59

“itu …” Marissa tampak kebingungan merangkai kata-kata. Sementara Dusan seolah tidak ingin menjawab pertanyaan sang menantu. 

Selina segera berdehem menetralkan suasana. Bibirnya melengkung manis sebelum menjawab. “Oh, maaf. Selina sedikit bingung … dan baru tahu kalau Gio punya Adik.”

Giovanni yang ada di samping Selina terkekeh. “Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu kalau sebenarnya aku punya adik. Dia lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kamu nggak pernah ketemu.”

“Ah, begitu rupanya,” Selina terkekeh kecil, matanya berbinar seperti menemukan potongan puzzle tentang keluarga suaminya.

Giovanni lantas mengusap kepala Selina dengan lembut. Dusan yang sedang memegang gelas tiba-tiba menaruhnya ke meja sedikit lebih keras dari biasanya. Bunyi ketukan itu singkat, tetapi cukup membuat Selina sempat melirik ke arahnya.

“Nanti kalau dia pulang aku pasti kenalkan kamu padanya,” lanjut Giovanni, seolah tak menyadari apa yang dilakukan sang papa. Sementara Selina hanya mengangguk saja sebagai balasan. 

Beberapa saat kemudian Giovanni menatap jam tangannya. “Aku harus berangkat sekarang, ada meeting pagi ini.” Ia lalu menyalami Dusan dan Marissa sebelum tergesa pergi.

Selina lantas bangkit berdiri mengantar sang suami sampai ke halaman rumah.

“Maaf ya, Sayang, aku harus kerja dulu beberapa hari ini, setelah semua beres aku akan ambil cuti supaya kita bisa honeymoon,” ujar Giovanni ketika berdiri tepat di samping mobil pribadinya. 

Lesung pipit Selina menyembul di kedua pipinya. “Iya, aku mengerti. Lagipula kita masih bisa berduaan di rumah.”

Pria berkulit putih itu lantas meraih kepala sang istri dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahinya. “Aku berangkat dulu,” pamitnya sebelum masuk ke dalam mobilnya.

Selina melambaikan tangan hingga mobil melewati gerbang keluarga Mathias. Honeymoon atau tidak, baginya tak penting. 

Karena pemeran utama di hatinya bukan Giovanni, melainkan pria lain di dalam rumah itu. Dusan Mathias.

Ketika kembali menuju ruang makan, matanya menangkap pantulan Marissa di cermin kecil. Wanita itu tengah merapikan rambut sambil tersenyum tipis pada suaminya. Selina memperlambat langkah, ingin melihat apa yang akan terjadi setelah ini.

Dalam sekejap, ia melihat Dusan meraih pinggang Marissa, menariknya ke dalam dekap. Ciuman cepat dan panas membuat Marissa terkejut lalu terengah, wajahnya merona.

“Pa… kok tiba-tiba begini?” suara Marissa terdengar malu-malu.

“Papa rindu,” ucap Dusan pelan. Namun bagi Selina, sorot mata itu terlalu jujur untuk ditujukan pada Marissa. Ia bisa merasakan jelas rindu itu memantul padanya, pada menantu yang semalam menuangkan teh dan sengaja meninggalkan jejak kecil dalam ingatan mertuanya.

Marissa hanya tersenyum, lalu menepiskan pelukan Dusan dengan halus. “Pa, jangan sekarang. Mama ada janji sama dokter salon pagi ini.”

“Cuma salon, lain hari tidak bisa?” tawar Dusan cepat.

“Tidak bisa, Pa. Mama ada treatment khusus, nggak boleh bolong. Lagipula, kalau wajah Mama awet muda, Papa juga yang senang, kan?” Marissa tersenyum penuh arti, tangannya menangkup lembut wajah Dusan.

Selina yang melihat adegan itu hanya tersenyum tipis. Menurutnya, Marissa terlalu sibuk memikirkan parasnya, sampai lupa memberi perhatian pada suaminya.

Tak lama, Marissa meraih tas tangan dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan. 

“Selina, Mama pergi dulu, ya,” ujarnya ketika berpapasan dengan Selina di ruang tengah. Selina hanya membalas ramah sebelum kembali melangkah menuju meja makan.

Kini, di ruang makan hanya ada Dusan, duduk tenang dengan tatapan tertuju pada ponselnya. Sementara Selina mulai mengemasi piring-piring kotor.

Seharusnya itu kesempatan baginya untuk kembali menggoda Dusan, tapi ia memilih diam, berperan sebagai menantu yang patuh. Selina ingin tahu sejauh mana trik kecil yang ia mainkan akan bekerja.

“Kamu pergi kerja hari ini?” suara Dusan tiba-tiba memecah kesunyian, menghentikan gerakan tangan Selina.

“Karena suamiku kerja, terpaksa aku juga harus kerja supaya tidak bosan di rumah. Kenapa, Pa?” tanya Selina, lalu melanjutkan pekerjaannya menumpuk piring kotor.

Dusan bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk meja perlahan. “Papa mau ke galeri kamu.”

Selina mengangkat alis, senyum kecil melengkung di bibirnya. “Eh? Papa mau beli perhiasan?” 

Dusan tidak mengiyakan, tetapi tatapannya tidak bergeser sedikit pun. “Bisa temani Papa hari ini?”

Selina meletakkan piring terakhirnya, ia lalu menoleh ke arah Dusan dan menatapnya beberapa detik. 

“Tentu saja bisa,” jawab Selina ringan, jemarinya kini merayap ke arah jari Dusan dan mengusap cincin emas yang melingkar di jari manis pria itu. “Kebetulan, Selina juga punya hadiah buat Papa.”

***

Queen Anastasia.

Jam di dinding baru menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Butik Selina menjadi satu-satunya yang sudah terbuka, meski belum ada satu pun karyawan yang datang.

“Wellcome to my Gallery,” ujar Selina sambil menyalakan lampu-lampu gantung kristal. 

Cahaya putih keemasan langsung membanjiri ruangan, memantul pada lantai marmer hitam dan etalase kaca berisi perhiasan yang berkilau bagai bintang.

Gedung Queen Anastasia memang berdiri mencolok di salah satu kawasan industri elit kota, dikelilingi gedung-gedung kaca menjulang dan deretan kantor perusahaan ternama. 

Alih-alih tampak seperti toko perhiasan biasa, bangunan itu lebih menyerupai galeri pribadi. Fasad modern dengan dinding kaca tinggi, dihiasi ornamen logam berwarna emas matte. Bahkan sofa kulit hitam di ruang tunggu pun tampak seperti furnitur rancangan khusus.

Semua orang di ibu kota Sylan pun tahu, hanya orang-orang dengan selera tinggi dan kekuatan finansial yang pantas membeli barang buatan Selina.

Dusan berdiri beberapa langkah di belakangnya, matanya berkeliling meneliti interior butik yang mewah sekaligus sunyi. “Hm, Sepi sekali,” komentarnya datar, namun ada nada tersirat pada suaranya.

Selina menoleh, sudut bibirnya melengkung. Ia melangkah mendekat, ujung stilettonya beradu pelan dengan lantai marmer. 

Selina berhenti tepat di depan dada sang papa mertua. “Bukankah itu bagus?” katanya mendongak sedikit ke arahnya. “Kita tidak perlu menjelaskan pada siapapun… kenapa Papa ada di sini pagi-pagi sekali.”

Sebelah alis Dusan terangkat naik. Dia mengambil sehelai rambut Selina tetapi Selina memiringkan kepalanya membuat tangan Dusan hanya menggantung di udara. 

Pria itu hanya tersenyum tipis dan menurunkan tangannya. Gagal bermain dengan rambut, Dusan mendekatkan wajahnya di telinga Selina. “Tinggal katakan saja, Papa datang mengambil hadiah.”

Mendengar itu Selina tertawa pelan. “Ah, ya. Selina hampir lupa dengan hadiah itu.” Dengan gerakan anggun Selina memutar badannya, “lewat sebelah sini, Pa. Kita ke ruang kerja Selina dulu.”

Sesampainya di depan pintu, Selina berhenti sejenak. Jemarinya yang lentik menyentuh gagang pintu. 

“Di ruangan ini… tidak semua orang boleh berkunjung,” bisiknya lirih.

Pintu berderit pelan saat dibuka, menyingkap ruangan pribadi yang remang, dipenuhi aroma khas wangi tubuh Selina. Ia melangkah masuk lebih dulu, hak sepatu tingginya berdetak pelan di lantai. 

Setelah beberapa langkah, ia menoleh kembali. Pandangannya bertaut pada Dusan, yang masih berdiri di ambang pintu dengan raut wajah datar.

“Kenapa? Papa tidak berani masuk?” tanyanya, kedua tangan terlipat di dada, seakan menantang.

Dusan menyipitkan mata. “Pria dan wanita berada dalam satu ruangan… bukankah itu tidak baik?”

Selina terkekeh kecil. “Siapa bilang tidak baik? Selina menantu, Papa mertuaku. Orang pasti hanya mengira… Papa sedang berkunjung ke butik anaknya.”

Senyum tipis muncul di bibir Dusan. “Kalau begitu… Papa tidak akan ragu lagi.”

Seketika, Dusan melangkah masuk, menutup pintu dengan suara klik yang terdengar jelas. 

Dalam gerakan cepat, tangannya meraih pinggang Selina dan mendorong tubuh itu hingga terpojok di dinding dingin.

Udara di ruangan seolah menipis. Selina menatap mata mertuanya dari jarak begitu dekat, bibirnya terkatup rapat tapi sorot matanya sama sekali tidak menunjukkan penolakan. 

Sementara itu tubuh Dusan semakin maju, bayangan mereka melebur di dinding remang.

“Papa… mau ngapain?” Suara Selina agak meninggi, sepasang matanya melebar ketika jarak di antara wajah mereka hanya tinggal sehelai napas.

Senyum tipis muncul di bibir Dusan, matanya berkilat penuh maksud. Jemari kekarnya terulur, menyentuh leher Selina. 

“Menurutmu… apa yang paling Papa inginkan sekarang?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 73 | Aku Memang Gila

    Dinner. Restoran kecil di bawah apartemen itu sebenarnya tidak istimewa, tetapi menu standar mereka cukup layak untuk menjamu tiga anggota keluarga Mathias beserta satu orang sekretaris. Sejak makan malam dimulai, hanya Giovanni dan sekretarisnya yang berusaha mencairkan suasana lewat obrolan ringan mengenai agenda mereka ke depan. Sementara itu, Raven dan Selina sama-sama bungkam. Sesekali tatapan mereka bersinggungan—dan setiap kali itu terjadi, Selina selalu menjadi pihak yang terlebih dahulu memalingkan wajah. Namun ada hal lain yang membuat Selina jauh lebih tidak nyaman. Sebuah rasa lembap dan hangat tiba-tiba mengalir di bagian bawah tubuhnya, disertai nyeri yang membuat wanita itu gelisah di kursinya. Dilanda kekhawatiran akan kemungkinan terburuk, Selina menoleh pelan pada suaminya. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya lirih. Begitu Giovanni mengangguk, Selina segera bangkit, meraih tas kecilnya, lalu meninggalkan meja makan itu. Di dalam kamar mandi

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 72 | Malam Bersalju Waktu Itu

    One night stand itu terjadi jauh sebelum pernikahan, saat Selina masih merantau di negara Norvast. Pada malam bersalju di penghujung tahun itu, ia memutuskan merayakan hari terakhirnya di sana—tanpa pernah membayangkan bahwa keputusan impulsif tersebut akan menjeratnya di kemudian hari. Dan bertemu kembali dengan pria yang telah merenggut kegadisannya, dalam situasi seperti ini, adalah hal yang tak pernah Selina inginkan. Meski begitu, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Raven. Malam itu bukan semata keinginan pria tersebut, dirinya pun ikut memilih melangkah terlalu jauh. “Ternyata namamu Selina.” Suara bariton Raven menggunting lamunan wanita berambut gelombang itu. Sedangkan Giovanni yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengangkat alis. “Sebelum ini kalian sudah pernah ketemu?” tanya penuh rasa ingin tahu. Selina cepat-cepat mengembalikan pandangan pada suaminya. “Sayang. Kami—” “Pernah.” Raven memotong cepat ucapan Selina membuat wanita itu melayangkan tatapan tajam k

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 71 | Adik Iparku Ternyata....

    Jarak mereka terbentang beberapa meter. Namun, Suara berat dan dominan itu begitu berhasil memantik sesuatu dalam diri Selina hingga membuat tubuhnya kaku. Telinganya kembali berdengung terngiang bagaimana nada yang sama memanggil 'Sweetheart' di malam itu. "Atau... Merindukan sentuhanku?" lanjut pria itu. Selina berusaha untuk tetap fokus di tengah gelombang ingatan yang terus memutar potongan peristiwa antara dirinya dengan pria ini. Ia memejamkan mata kala kilasan hentakan tubuh pria itu memasuki dirinya di malam panas satu tahun lalu. Sial! "Maaf, aku salah kamar!" Selina meraih kembali kopernya tapi tubuhnya kembali terpaku saat pria itu bicara. "Klise." Pria itu kenbali bicara tetapi ekspresinya menatap lurus ke arah Selina. "Pura-pura salah kamar untuk menarik sebuah perhatian." Selina segera menatap pria itu dengan sorot mata elangnya. "Pertama, kamu salah orang. Kedua, aku merasa kita nggak pernah ketemu!" "Perlukah aku mengingatkan bagaimana kamu mendesah

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 70 | Long Time No See

    Selina memindah posisi ponsel ke telinga satunya, bahunya sedikit terangkat menahan posisi. “Bu… Pak Giovanni sejak semalam sudah tidak enak badan,” ucap Clara, terdengar seperti sedang menurunkan volume suaranya agar tak kedengaran orang lain. “Pagi ini beliau tetap memaksa bekerja, dan sekarang kondisinya makin parah. Saya sudah ingin memanggil dokter, tapi beliau tidak berkenan. Jadi saya… saya cuma bisa menghubungi Ibu. Bisa… Ibu datang ke sini?” Selina diam beberapa detik. Pandangannya menyipit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin mendengar lebih jelas. "Astaga... kenapa bisa sakit?" "Pak Giovanni terlambat makan, kemarin juga sempat kehujanan di lokasi proyek." Clara kembali berucap pelan. Sedangkan Selina memijat pelipisnya sendiri. "Tapi saya sudah beri obat, Bu, hanya Pak Gio tidak mau istirahat." "Ya sudah, saya ke sana, tapi saya harus ketemu beberapa klien dulu hari ini, jadi kemungkinan tiba agak sore," Selina akhirnya menjawab demikian. Tidak mungkin ia

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 69 | Urgent?

    Selina tersenyum kecil melihat pesan Marissa. Bertemu dengannya? Oh! Jangan harap! Selina tidak sebodoh itu. Bukan karena tidak berani... tapi karena belum waktunya. Selina lantas mengetikkan jawaban. [Sayangnya aku tidak punya waktu. Suamimu setiap hari minta jatah padaku.] Setelah itu Selina membawa ponsel dan cangkirnya ke dalam kamar. Dengan bersandar di kepala ranjang Selina menanti balasan Marissa. Dan, tidak butuh waktu lama Marissa langsung mengirim pesan balasan. [Dasar jalang!] makinya dalam pesan itu. Namun, detik berikutnya sebuah pesan susulan kembali masuk. [Kamu tidak tahu sedang bicara dengan siapa?] Selina hampir tertawa membaca pesan itu. Wajah Marissa yang merah padam sangat tergambar jelas di benaknya. [Tahu. Marissa Octavia, si mantan model internasional yang sangat terkenal pada zamannya.] [Tapi sayangnya suamimu bilang tubuhku lebih legit dari pada tubuh keriputmu yang sudah bau tanah itu! Hahaha!] Setelah mengirim dua pesan be

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 68 | Bertengkar Lagi

    Alih-alih turun untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu mertuanya, Selina justru masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri terlebih dulu.Beberapa menit kemudian barulah ia muncul. Dengan piyama yang sudah rapi menempel di tubuhnya, Selina menuruni tangga sambil membawa gelas kosong. Langkahnya tenang seperti biasanya, sedikit berayun santai.Ketika tiba di dapur, langkah Selina terhenti. Wajah pucat Marissa menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Bibir ibu mertuanya itu bergetar, bola matanya merah dan berair. Sementara Bi Mirna sedang memungut pecahan kaca di bawah meja."Mama?" Seolah terkejut, Selina buru-buru mendekat ke arahnya. "Ada apa, Ma?"Seramah mungkin Selina bertanya, wajahnya dibuat terkejut. Namun, Marissa tidak menjawab."Selina teleponkan Papa gimana, Ma?" Selina hendak melangkah menjauh, tetapi tangan dingin Marissa menyentuh lengannya, membuat Selina segera menoleh pada sang ibu mertua."Mama nggak apa-apa," kata Marissa dengan suara ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status