Beranda / Romansa / Gairah Menantang di Rumah Mertua / Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

Share

Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

Penulis: Allensia Maren
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 15:08:05

Jemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.

“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.

Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.

Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.

“Papa… jangan begini.”

Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”

Mata Selina terbuka perlahan, menatap wajah Dusan dari jarak yang begitu dekat. Napasnya masih tersengal karena serangan ciuman di lehernya.

“Papa mungkin salah paham?” katanya di sela-sela permainan Dusan, “Selina cuma menatap Papa, kenapa Papa jadi seperti ini?”

Dusan terdiam sepersekian detik, tatapannya tajam, dan jemarinya yang tadi menahan pinggang Selina kini meremasnya lebih erat. “Oh, Papa rasa… salah paham ini terlalu menarik untuk dilewatkan.”

Wajah Dusan semakin mendekat, kedua tangan pria itu juga mengunci tangan Selina di dinding membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. 

“Tapi, Pa… Selina memang nggak punya maksud apa-apa,” kata Selina sembari berusaha melepaskan  cekalan Dusan meski usaha itu sia-sia.

Namun, seolah tidak peduli, Dusan menunduk, dahinya menempel pada kening Selina, rahangnya menegang, antara menahan diri atau justru hampir kehilangan kendali.

"Papa suka ekspresimu yang polos seperti ini."

Hampir saja ujung bibir Dusan hampir menyentuh Selina ketika ia akhirnya tak kuasa menahan diri lagi. Namun tepat sebelum jarak itu lenyap, Selina memalingkan wajahnya.

Seketika sepasang mata Dusan menyipit tak terima. Ia mendesis, "Selina, jangan menguji kesabaranku." 

Selina terlihat menelan ludah susah payah. “Pa—papa nggak mau lihat dulu hadiah dari Selina?” 

Tatapan Dusan tak bergeser sedikit pun. Ia hanya memiringkan kepala. Ketika melihat ekspresi Selina, lalu menarik tubuhnya mundur dengan gerakan tenang sebelum merapikan jasnya. “Ambilkan,” katanya singkat. 

Hela napas lega meluncur dari bibir Selina ketika . “Silakan Papa duduk dulu di sofa,” katanya sebelum berjalan menuju sebuah ruangan kecil di belakang meja kerjanya.

Dusan mengikuti arah tatapannya sejenak, kemudian membiarkan tubuh jangkungnya jatuh mantap di atas sofa cokelat muda yang mendominasi ruangan itu.

Tak lama kemudian Selina muncul kembali membawa sebuah kotak berwarna hitam. Begitu berdiri di hadapannya, Dusan langsung menarik Selina hingga terduduk di pangkuannya.

Selina terperangah sejenak, tubuhnya refleks ingin bangkit, tetapi genggaman kokoh di pinggangnya membuatnya tak bisa bergerak. Rona merah merayapi wajahnya saat ia menyadari ada sesuatu yang keras dan panas menekan dari bawah tubuhnya.

“Papa, ini ….” 

Dusan segera melingkarkan kedua tangannya di tubuh Selina, membuatnya tak berkutik di pangkuan. “Jadi… apa yang kamu bawa ini?”

Selina tidak menjawab. Dengan tenang ia mengangkat kotak hitam itu, lalu membukanya di hadapan Dusan. Sebuah cincin berkilau dengan batu oniks hitam tampak terpasang rapi di dalamnya.

“Cincin ini sebenarnya baru akan diluncurkan bulan depan bersama koleksi black series lainnya,” ujar Selina lembut. “Tapi… Selina belum menemukan model yang bisa benar-benar menjiwai karakter cincin ini.”

Wanita itu kemudian mengambil cincin dari dalam kotak, lalu beralih meraih tangan Dusan. 

Perlahan, Selina menyelipkan cincin itu ke jari manis pria tersebut. Senyumnya manis, matanya tak lepas dari wajah Dusan. “Dan setelah Selina pikir ulang… cincin ini hanya akan tampak sempurna jika tersemat di tangan Papa. Sangat cocok dengan wibawa pemimpin Keluarga Mathias.”

Dusan sempat melirik cincin yang melingkar di jari manisnya. “Memang cincin yang bagus,” gumamnya singkat. 

Selina segera menaruh kotak hitam di pangkuannya ke meja. Lalu dengan gerakan ringan, kedua lengannya melingkar di leher Dusan. Bibirnya melengkung nakal. “Papa suka?”

Sebuah anggukan menyusul, mantap namun hemat kata. “Suka.”

Beberapa detik kemudian, Dusan merogoh saku jasnya. Dari sana, ia keluarkan cek panjang, lalu tanpa banyak pikir merobeknya dari bendel. Kertas bernilai itu disodorkan padanya. “Tulis saja sesuka kamu.”

Selina menerima kertas itu, tetapi alih-alih mengisinya, jemarinya mulai melipat cek tersebut dengan tenang. Lipatan demi lipatan berubah menjadi bentuk pesawat kertas.

“Selina tidak butuh uang,” katanya lembut saat menyelesaikan lipatan terakhirnya. 

“Lalu apa yang kamu inginkan? Mobil, rumah, saham?” tawar Dusan. Tangan besarnya lalu terulur, meraih dagu Selina dan menarik wajah itu lebih dekat.

Akan tetapi Selina menggeleng cepat. “Selina cuma mau bermain.”

Mendengar itu Dusan mengangkat sebelah alisnya. “Main?” tanyanya tak mengerti.

Selina menunjukkan pesawat kertas yang dibuatnya ke hadapan Dusan. “Papa tahu bagaimana cara menerbangkan pesawat kertas ini?”

Dusan menggeleng pelan, matanya tetap terkunci pada Selina. “Bagaimana?”

Perlahan Selina mendekat, Bibirnya menempel di dekat telinga Dusan, berbisik manja. “Tentu saja… ditiup.”

Selina meniup lembut telinga Dusan, membuat pria itu kaku sepersekian detik, lalu melemparkan pesawat kertas ke lantai dengan gerakan jenaka.

Tanpa memberi Selina kesempatan lagi untuk bicara, Dusan tiba-tiba menunduk, menangkap bibirnya dengan ciuman yang dalam.

Alih-alih menolak, Selina hanya membulatkan mata sebentar, lalu menutupnya rapat. Jemarinya terangkat, ragu-ragu menyentuh tengkuk Dusan, seperti seorang gadis yang tak tahu cara membalas, tapi akhirnya menyerah mengikuti alurnya.

Suara getar tiba-tiba memecah momen panas mereka. Ponsel di saku jas Dusan berdering. Awalnya pria itu mengabaikannya, tetapi pada panggilan kedua, terpaksa ia melepaskan bibir Selina.

Katika Dusan mengambil ponselnya nama Sekretarisnya terpampang di layar. Pria itu mendengus kesal. 

Sementara Selina, napasnya masih terengah akibat ulah Dusan. “Papa tidak mau angkat?” tanyanya.

Dusan terlihat ingin mengabaikan panggilan itu, tapi pada akhirnya ia menggeser ponsel itu ke telinga. Suaranya berubah formal, dingin, seolah ciuman tadi tak pernah terjadi.

Entah apa yang dikatakan sekretaris di seberang sana, Dusan hanya menjawab. “Sebentar lagi saya sampai.”

Sementara itu, Selina bangkit dari pangkuannya. Dengan tenang, ia naik ke atas meja, lalu menyilangkan kedua kakinya dengan gerakan pelan. Gerakan sederhana yang tak disadarinya justru membuat Dusan kehilangan fokus.

Tatapan Dusan langsung terhenti. Melihat apa yang dilakukan menantunya, ia menelan ludah berkali-kali, sementara suara sekretaris di seberang sana terus berceloteh.

Tak sanggup lagi bertahan di dekatnya, Dusan akhirnya bangkit, melangkah menjauh, lalu berdiri di sudut ruangan menghadap dinding kaca yang menampilkan deretan gedung menjulang.

Ketika Dusan mematikan sambungan telepon, pria itu kembali ke sofa. Tanpa basa-basi, pria itu segera mengungkung tubuh sang menantu lagi, tetapi Selina menahannya dan melirik ke arah arloji yang melingkar di tangan kiri Dusan. 

“Papa …." cegahnya membuat Dusan menatap kecewa. 

"Sudah menyalakan api, sekarang tidak mau bertanggung jawab?" protes Dusan seraya meraih dagu Selina.

Selina menelan ludahnya. "Um …, Sudah hampir setengah delapan, bukankah Papa harus pergi ke kantor? Pegawai di butik Selina juga sebentar lagi akan datang. Bagaimana kalau mereka salah paham melihat kita dengan posisi seperti ini?" 

Dusan menatapnya tajam, ingin meraih Selina lagi, tapi sebuah ketukan dari luar ruangan kembali memecah suasana membuat Dusan memejamkan matanya. Dengan terpaksa pria itu menarik diri dari tubuh menantunya.

Selina lantas bangkit dari meja, detik berikutnya menyerahkan kotak beludru berwarna hitam itu kepada Dusan. "Jangan lupa bawa kotaknya, Pa.”

Dusan hanya membuang pandangannya setelah menerima kotak tersebut, seolah berusaha meredam bara yang masih membakar dadanya.

Sambil menahan senyum, Selina melangkah menuju pintu. Saat papan kayu putih itu terbuka, sosok seorang perempuan berdiri terpaku di ambang pintu .

“Bu… Bu Selina… Pak Dusan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 8 | Tidak Tahan Lagi

    Dusan mengusap lembut bibir Selina yang masih memerah karena ciumannya. Helaan napas mereka saling mengejar, panas dan tak beraturan, seolah ruangan itu hanya menyisakan udara untuk mereka berdua.Jemari pria itu menyusuri wajah Selina, berhenti sejenak di tengkuknya, lalu turun perlahan ke leher, meninggalkan sensasi hangat yang membuat tubuh Selina kembali meremang.“Maksud Papa, jangan biarkan dia tahu apa yang sudah kita lakukan,” bisiknya, suara rendahnya bagai mantra yang mengunci Selina pada dekapannya.Bibir mereka kembali berpaut, kali ini lebih dalam dan menuntut. Selina merasa dirinya terseret ke dalam pusaran yang membuatnya lupa bernapas. Ia hanya bisa pasrah ketika Dusan menuruni jalur lembut di sepanjang lehernya, menabur jejak panas hingga ke bahu.

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

    Selina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci. Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?” Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan. Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Pa

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 6 | Panaskan Jantungku

    Pikiran Selina masih menebak-nebak maksud pesan terakhir Dusan di restoran tadi. Bahkan ketika sampai di rumah, bayangan kalimat itu belum juga lepas dari benaknya.Hingga sebuah getar notifikasi membuyarkan lamunannya. Ketika mengangkat ponsel, sebuah pesan dari Giovanni terpampang di layar.[Sayang, maaf aku harus lembur hari ini. Aku akan pulang ke apartemen supaya lebih dekat. Jangan tunggu aku makan malam.]Selina menghela napas panjang. Baru dua hari cincin perkawinan itu melingkar di jarinya, tetapi sosok Giovanni sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Namun, bukankah pernikahan ini memang sekadar tiket untuk masuk ke keluarga Mathias? Ya, tetapi bagaimanapun sisi dirinya yang lain tak bisa memungkiri jika ia membutuhkan sepasang bahu yang menemaninya setiap malam.Selina lantas membawa laptop ke tepi kolam renang, mencoba menyibukkan diri dengan merancang desain baru untuk perhiasan galerinya. Tepat saat Selina melepas earphone-nya, ia mendengar suara dari ruang makan.“Pa,

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 5 | Pijat Gratis?

    Pegawai itu tergagap dan salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, seolah takut menatap Dusan dan Selina lebih lama.Dusan hanya tersenyum tipis, lalu meraih kotak hitam di tangannya. “Terima kasih cincinnya. Papa berangkat dulu.”Selina melambaikan tangan manis, senyumnya terpelihara seolah tak ada yang terjadi barusan. “Hati-hati di jalan, Pa.”Begitu pria itu pergi, Selina menoleh pada pegawai yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya datar, sambil merapikan lipatan gaunnya.“Maaf, Bu,” jawab si pegawai gugup. “Saya hanya ingin mengambil laporan bulanan di meja Ibu. Tidak tahu kalau Ibu sedang ada… tamu.”Selina terkekeh kecil, raut wajahnya berbinar seperti biasa. “Tidak apa-apa. Papa mertua cuma datang ambil hadiah saja, bukan hal penting.”Pegawai itu langsung mendongak, matanya membesar. “Ha–hadiah?”“Ya.” Selina mengangguk ringan sambil melangkah menuju meja kerjanya. “Cincin yang kemarin belum ada modelnya. Saya putuskan untuk memberikannya pada Papa. Sangat c

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

    Jemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.“Papa… jangan begini.”Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”Mata Selina terbuka perlaha

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

    “itu …” Marissa tampak kebingungan merangkai kata-kata. Sementara Dusan seolah tidak ingin menjawab pertanyaan sang menantu. Selina segera berdehem menetralkan suasana. Bibirnya melengkung manis sebelum menjawab. “Oh, maaf. Selina sedikit bingung … dan baru tahu kalau Gio punya Adik.”Giovanni yang ada di samping Selina terkekeh. “Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu kalau sebenarnya aku punya adik. Dia lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kamu nggak pernah ketemu.”“Ah, begitu rupanya,” Selina terkekeh kecil, matanya berbinar seperti menemukan potongan puzzle tentang keluarga suaminya.Giovanni lantas mengusap kepala Selina dengan lembut. Dusan yang sedang memegang gelas tiba-tiba menaruhnya ke meja sedikit lebih keras dari biasanya. Bunyi ketukan itu singkat, tetapi cukup membuat Selina sempat melirik ke arahnya.“Nanti kalau dia pulang aku pasti kenalkan kamu padanya,” lanjut Giovanni, seolah tak menyadari apa yang dilakukan sang papa. Sementara Selina hanya menga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status