LOGINJemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.
“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.
Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.
Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.
“Papa… jangan begini.”
Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”
Mata Selina terbuka perlahan, menatap wajah Dusan dari jarak yang begitu dekat. Napasnya masih tersengal karena serangan ciuman di lehernya.
“Papa mungkin salah paham?” katanya di sela-sela permainan Dusan, “Selina cuma menatap Papa, kenapa Papa jadi seperti ini?”
Dusan terdiam sepersekian detik, tatapannya tajam, dan jemarinya yang tadi menahan pinggang Selina kini meremasnya lebih erat. “Oh, Papa rasa… salah paham ini terlalu menarik untuk dilewatkan.”
Wajah Dusan semakin mendekat, kedua tangan pria itu juga mengunci tangan Selina di dinding membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
“Tapi, Pa… Selina memang nggak punya maksud apa-apa,” kata Selina sembari berusaha melepaskan cekalan Dusan meski usaha itu sia-sia.
Namun, seolah tidak peduli, Dusan menunduk, dahinya menempel pada kening Selina, rahangnya menegang, antara menahan diri atau justru hampir kehilangan kendali.
"Papa suka ekspresimu yang polos seperti ini."
Hampir saja ujung bibir Dusan hampir menyentuh Selina ketika ia akhirnya tak kuasa menahan diri lagi. Namun tepat sebelum jarak itu lenyap, Selina memalingkan wajahnya.
Seketika sepasang mata Dusan menyipit tak terima. Ia mendesis, "Selina, jangan menguji kesabaranku."
Selina terlihat menelan ludah susah payah. “Pa—papa nggak mau lihat dulu hadiah dari Selina?”
Tatapan Dusan tak bergeser sedikit pun. Ia hanya memiringkan kepala. Ketika melihat ekspresi Selina, lalu menarik tubuhnya mundur dengan gerakan tenang sebelum merapikan jasnya. “Ambilkan,” katanya singkat.
Hela napas lega meluncur dari bibir Selina ketika . “Silakan Papa duduk dulu di sofa,” katanya sebelum berjalan menuju sebuah ruangan kecil di belakang meja kerjanya.
Dusan mengikuti arah tatapannya sejenak, kemudian membiarkan tubuh jangkungnya jatuh mantap di atas sofa cokelat muda yang mendominasi ruangan itu.
Tak lama kemudian Selina muncul kembali membawa sebuah kotak berwarna hitam. Begitu berdiri di hadapannya, Dusan langsung menarik Selina hingga terduduk di pangkuannya.
Selina terperangah sejenak, tubuhnya refleks ingin bangkit, tetapi genggaman kokoh di pinggangnya membuatnya tak bisa bergerak. Rona merah merayapi wajahnya saat ia menyadari ada sesuatu yang keras dan panas menekan dari bawah tubuhnya.
“Papa, ini ….”
Dusan segera melingkarkan kedua tangannya di tubuh Selina, membuatnya tak berkutik di pangkuan. “Jadi… apa yang kamu bawa ini?”
Selina tidak menjawab. Dengan tenang ia mengangkat kotak hitam itu, lalu membukanya di hadapan Dusan. Sebuah cincin berkilau dengan batu oniks hitam tampak terpasang rapi di dalamnya.
“Cincin ini sebenarnya baru akan diluncurkan bulan depan bersama koleksi black series lainnya,” ujar Selina lembut. “Tapi… Selina belum menemukan model yang bisa benar-benar menjiwai karakter cincin ini.”
Wanita itu kemudian mengambil cincin dari dalam kotak, lalu beralih meraih tangan Dusan.
Perlahan, Selina menyelipkan cincin itu ke jari manis pria tersebut. Senyumnya manis, matanya tak lepas dari wajah Dusan. “Dan setelah Selina pikir ulang… cincin ini hanya akan tampak sempurna jika tersemat di tangan Papa. Sangat cocok dengan wibawa pemimpin Keluarga Mathias.”
Dusan sempat melirik cincin yang melingkar di jari manisnya. “Memang cincin yang bagus,” gumamnya singkat.
Selina segera menaruh kotak hitam di pangkuannya ke meja. Lalu dengan gerakan ringan, kedua lengannya melingkar di leher Dusan. Bibirnya melengkung nakal. “Papa suka?”
Sebuah anggukan menyusul, mantap namun hemat kata. “Suka.”
Beberapa detik kemudian, Dusan merogoh saku jasnya. Dari sana, ia keluarkan cek panjang, lalu tanpa banyak pikir merobeknya dari bendel. Kertas bernilai itu disodorkan padanya. “Tulis saja sesuka kamu.”
Selina menerima kertas itu, tetapi alih-alih mengisinya, jemarinya mulai melipat cek tersebut dengan tenang. Lipatan demi lipatan berubah menjadi bentuk pesawat kertas.
“Selina tidak butuh uang,” katanya lembut saat menyelesaikan lipatan terakhirnya.
“Lalu apa yang kamu inginkan? Mobil, rumah, saham?” tawar Dusan. Tangan besarnya lalu terulur, meraih dagu Selina dan menarik wajah itu lebih dekat.
Akan tetapi Selina menggeleng cepat. “Selina cuma mau bermain.”
Mendengar itu Dusan mengangkat sebelah alisnya. “Main?” tanyanya tak mengerti.
Selina menunjukkan pesawat kertas yang dibuatnya ke hadapan Dusan. “Papa tahu bagaimana cara menerbangkan pesawat kertas ini?”
Dusan menggeleng pelan, matanya tetap terkunci pada Selina. “Bagaimana?”
Perlahan Selina mendekat, Bibirnya menempel di dekat telinga Dusan, berbisik manja. “Tentu saja… ditiup.”
Selina meniup lembut telinga Dusan, membuat pria itu kaku sepersekian detik, lalu melemparkan pesawat kertas ke lantai dengan gerakan jenaka.
Tanpa memberi Selina kesempatan lagi untuk bicara, Dusan tiba-tiba menunduk, menangkap bibirnya dengan ciuman yang dalam.
Alih-alih menolak, Selina hanya membulatkan mata sebentar, lalu menutupnya rapat. Jemarinya terangkat, ragu-ragu menyentuh tengkuk Dusan, seperti seorang gadis yang tak tahu cara membalas, tapi akhirnya menyerah mengikuti alurnya.
Suara getar tiba-tiba memecah momen panas mereka. Ponsel di saku jas Dusan berdering. Awalnya pria itu mengabaikannya, tetapi pada panggilan kedua, terpaksa ia melepaskan bibir Selina.
Katika Dusan mengambil ponselnya nama Sekretarisnya terpampang di layar. Pria itu mendengus kesal.
Sementara Selina, napasnya masih terengah akibat ulah Dusan. “Papa tidak mau angkat?” tanyanya.
Dusan terlihat ingin mengabaikan panggilan itu, tapi pada akhirnya ia menggeser ponsel itu ke telinga. Suaranya berubah formal, dingin, seolah ciuman tadi tak pernah terjadi.
Entah apa yang dikatakan sekretaris di seberang sana, Dusan hanya menjawab. “Sebentar lagi saya sampai.”
Sementara itu, Selina bangkit dari pangkuannya. Dengan tenang, ia naik ke atas meja, lalu menyilangkan kedua kakinya dengan gerakan pelan. Gerakan sederhana yang tak disadarinya justru membuat Dusan kehilangan fokus.
Tatapan Dusan langsung terhenti. Melihat apa yang dilakukan menantunya, ia menelan ludah berkali-kali, sementara suara sekretaris di seberang sana terus berceloteh.
Tak sanggup lagi bertahan di dekatnya, Dusan akhirnya bangkit, melangkah menjauh, lalu berdiri di sudut ruangan menghadap dinding kaca yang menampilkan deretan gedung menjulang.
Ketika Dusan mematikan sambungan telepon, pria itu kembali ke sofa. Tanpa basa-basi, pria itu segera mengungkung tubuh sang menantu lagi, tetapi Selina menahannya dan melirik ke arah arloji yang melingkar di tangan kiri Dusan.
“Papa …." cegahnya membuat Dusan menatap kecewa.
"Sudah menyalakan api, sekarang tidak mau bertanggung jawab?" protes Dusan seraya meraih dagu Selina.
Selina menelan ludahnya. "Um …, Sudah hampir setengah delapan, bukankah Papa harus pergi ke kantor? Pegawai di butik Selina juga sebentar lagi akan datang. Bagaimana kalau mereka salah paham melihat kita dengan posisi seperti ini?"
Dusan menatapnya tajam, ingin meraih Selina lagi, tapi sebuah ketukan dari luar ruangan kembali memecah suasana membuat Dusan memejamkan matanya. Dengan terpaksa pria itu menarik diri dari tubuh menantunya.
Selina lantas bangkit dari meja, detik berikutnya menyerahkan kotak beludru berwarna hitam itu kepada Dusan. "Jangan lupa bawa kotaknya, Pa.”
Dusan hanya membuang pandangannya setelah menerima kotak tersebut, seolah berusaha meredam bara yang masih membakar dadanya.
Sambil menahan senyum, Selina melangkah menuju pintu. Saat papan kayu putih itu terbuka, sosok seorang perempuan berdiri terpaku di ambang pintu .
“Bu… Bu Selina… Pak Dusan?”
Dinner. Restoran kecil di bawah apartemen itu sebenarnya tidak istimewa, tetapi menu standar mereka cukup layak untuk menjamu tiga anggota keluarga Mathias beserta satu orang sekretaris. Sejak makan malam dimulai, hanya Giovanni dan sekretarisnya yang berusaha mencairkan suasana lewat obrolan ringan mengenai agenda mereka ke depan. Sementara itu, Raven dan Selina sama-sama bungkam. Sesekali tatapan mereka bersinggungan—dan setiap kali itu terjadi, Selina selalu menjadi pihak yang terlebih dahulu memalingkan wajah. Namun ada hal lain yang membuat Selina jauh lebih tidak nyaman. Sebuah rasa lembap dan hangat tiba-tiba mengalir di bagian bawah tubuhnya, disertai nyeri yang membuat wanita itu gelisah di kursinya. Dilanda kekhawatiran akan kemungkinan terburuk, Selina menoleh pelan pada suaminya. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya lirih. Begitu Giovanni mengangguk, Selina segera bangkit, meraih tas kecilnya, lalu meninggalkan meja makan itu. Di dalam kamar mandi
One night stand itu terjadi jauh sebelum pernikahan, saat Selina masih merantau di negara Norvast. Pada malam bersalju di penghujung tahun itu, ia memutuskan merayakan hari terakhirnya di sana—tanpa pernah membayangkan bahwa keputusan impulsif tersebut akan menjeratnya di kemudian hari. Dan bertemu kembali dengan pria yang telah merenggut kegadisannya, dalam situasi seperti ini, adalah hal yang tak pernah Selina inginkan. Meski begitu, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Raven. Malam itu bukan semata keinginan pria tersebut, dirinya pun ikut memilih melangkah terlalu jauh. “Ternyata namamu Selina.” Suara bariton Raven menggunting lamunan wanita berambut gelombang itu. Sedangkan Giovanni yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengangkat alis. “Sebelum ini kalian sudah pernah ketemu?” tanya penuh rasa ingin tahu. Selina cepat-cepat mengembalikan pandangan pada suaminya. “Sayang. Kami—” “Pernah.” Raven memotong cepat ucapan Selina membuat wanita itu melayangkan tatapan tajam k
Jarak mereka terbentang beberapa meter. Namun, Suara berat dan dominan itu begitu berhasil memantik sesuatu dalam diri Selina hingga membuat tubuhnya kaku. Telinganya kembali berdengung terngiang bagaimana nada yang sama memanggil 'Sweetheart' di malam itu. "Atau... Merindukan sentuhanku?" lanjut pria itu. Selina berusaha untuk tetap fokus di tengah gelombang ingatan yang terus memutar potongan peristiwa antara dirinya dengan pria ini. Ia memejamkan mata kala kilasan hentakan tubuh pria itu memasuki dirinya di malam panas satu tahun lalu. Sial! "Maaf, aku salah kamar!" Selina meraih kembali kopernya tapi tubuhnya kembali terpaku saat pria itu bicara. "Klise." Pria itu kenbali bicara tetapi ekspresinya menatap lurus ke arah Selina. "Pura-pura salah kamar untuk menarik sebuah perhatian." Selina segera menatap pria itu dengan sorot mata elangnya. "Pertama, kamu salah orang. Kedua, aku merasa kita nggak pernah ketemu!" "Perlukah aku mengingatkan bagaimana kamu mendesah
Selina memindah posisi ponsel ke telinga satunya, bahunya sedikit terangkat menahan posisi. “Bu… Pak Giovanni sejak semalam sudah tidak enak badan,” ucap Clara, terdengar seperti sedang menurunkan volume suaranya agar tak kedengaran orang lain. “Pagi ini beliau tetap memaksa bekerja, dan sekarang kondisinya makin parah. Saya sudah ingin memanggil dokter, tapi beliau tidak berkenan. Jadi saya… saya cuma bisa menghubungi Ibu. Bisa… Ibu datang ke sini?” Selina diam beberapa detik. Pandangannya menyipit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin mendengar lebih jelas. "Astaga... kenapa bisa sakit?" "Pak Giovanni terlambat makan, kemarin juga sempat kehujanan di lokasi proyek." Clara kembali berucap pelan. Sedangkan Selina memijat pelipisnya sendiri. "Tapi saya sudah beri obat, Bu, hanya Pak Gio tidak mau istirahat." "Ya sudah, saya ke sana, tapi saya harus ketemu beberapa klien dulu hari ini, jadi kemungkinan tiba agak sore," Selina akhirnya menjawab demikian. Tidak mungkin ia
Selina tersenyum kecil melihat pesan Marissa. Bertemu dengannya? Oh! Jangan harap! Selina tidak sebodoh itu. Bukan karena tidak berani... tapi karena belum waktunya. Selina lantas mengetikkan jawaban. [Sayangnya aku tidak punya waktu. Suamimu setiap hari minta jatah padaku.] Setelah itu Selina membawa ponsel dan cangkirnya ke dalam kamar. Dengan bersandar di kepala ranjang Selina menanti balasan Marissa. Dan, tidak butuh waktu lama Marissa langsung mengirim pesan balasan. [Dasar jalang!] makinya dalam pesan itu. Namun, detik berikutnya sebuah pesan susulan kembali masuk. [Kamu tidak tahu sedang bicara dengan siapa?] Selina hampir tertawa membaca pesan itu. Wajah Marissa yang merah padam sangat tergambar jelas di benaknya. [Tahu. Marissa Octavia, si mantan model internasional yang sangat terkenal pada zamannya.] [Tapi sayangnya suamimu bilang tubuhku lebih legit dari pada tubuh keriputmu yang sudah bau tanah itu! Hahaha!] Setelah mengirim dua pesan be
Alih-alih turun untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu mertuanya, Selina justru masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri terlebih dulu.Beberapa menit kemudian barulah ia muncul. Dengan piyama yang sudah rapi menempel di tubuhnya, Selina menuruni tangga sambil membawa gelas kosong. Langkahnya tenang seperti biasanya, sedikit berayun santai.Ketika tiba di dapur, langkah Selina terhenti. Wajah pucat Marissa menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Bibir ibu mertuanya itu bergetar, bola matanya merah dan berair. Sementara Bi Mirna sedang memungut pecahan kaca di bawah meja."Mama?" Seolah terkejut, Selina buru-buru mendekat ke arahnya. "Ada apa, Ma?"Seramah mungkin Selina bertanya, wajahnya dibuat terkejut. Namun, Marissa tidak menjawab."Selina teleponkan Papa gimana, Ma?" Selina hendak melangkah menjauh, tetapi tangan dingin Marissa menyentuh lengannya, membuat Selina segera menoleh pada sang ibu mertua."Mama nggak apa-apa," kata Marissa dengan suara ber







