Share

Chapter 2 | Aroma Hasrat

last update Last Updated: 2025-10-03 15:07:53

Suara langkah mendekat terdengar semakin jelas. Selina buru-buru mencondongkan tubuh, meraih cangkir di meja. 

Sementara Dusan cepat mundur selangkah, menjaga jarak, lalu membungkuk memunguti pecahan keramik yang masih berserakan di lantai.

Katika Dusan selesai, dari arah tangga muncul seorang wanita bergaun tidur satin merah muda. Rambut panjangnya terurai sedikit kusut, tapi wajahnya tetap anggun. 

Marissa Octavia, istri sah Dusan sekaligus ibu mertua Selina.

“Ah… Selina? Papa? Rupanya kalian di sini.” Suara Marissa terdengar lembut.

Dusan segera menghampiri istrinya. Kedua tangannya menangkup wajah Marissa. “Kamu terbangun?” tanyanya dengan nada hangat, kontras dengan hawa panas yang baru saja menyelimuti dirinya bersama Selina.

Selina menghela napas melihat adegan itu. Ia berpura-pura sibuk mengaduk cangkir, membiarkan uap hangat teh lavender menerpa wajahnya.

Di hadapannya Marissa tersenyum tipis. “Mama terbangun, tapi Papa tidak ada di kamar. Lalu Mama mendengar suara di dapur… Mama takut ada sesuatu.”

Selina lekas meletakkan sendok, mendongak dengan wajah bersalah.

“Maaf, Ma. Selina yang buat gaduh. Tadi ingin membuat teh, tapi gelasnya terjatuh sampai tangan Selina terluka.” Selina mengangkat jari yang sudah diperban tipis, senyum samar terbit di bibirnya. “Untung ada Papa yang membantu.”

Marissa langsung melepas lengan Dusan, melangkah menghampiri Selina. “Ya ampun, kamu nggak apa-apa?”

Selina cepat-cepat menggeleng, suaranya lembut, hampir manja. “Tidak apa-apa, Ma. Hanya luka kecil. Papa juga sudah mengobatinya.”

Sekilas Selina melirik ke arah Dusan. Pria itu sudah kembali duduk di kursi bar, menyalakan lagi rokok yang sempat ia padamkan. Begitu sadar tatapan mengarah padanya, Dusan buru-buru mengangguk, seakan hendak membenarkan ucapan Selina.

Marissa tampak lega, lalu tersenyum tulus pada Selina. Tulus sekali sampai wanita ini sama sekali tidak menyadari api kecil yang mulai menjilat di belakang punggungnya.

“Syukurlah, Mama jadi tenang kalau kamu baik-baik saja.”

Marissa lalu menoleh ke arah Dusan. Garis halus di pelipisnya menandakan lelah yang belum sepenuhnya hilang, tetapi nada bicaranya tetap penuh perhatian. “Maaf ya, Pa, mama terlalu capek hari ini, jadi setelah minum obat langsung tertidur. Tapi kenapa Papa nggak bangunkan mama saja? Selina baru sehari jadi menantu kita, kamu sudah merepotkannya.”

Dusan baru membuka mulut, tapi Selina lebih cepat menyela dengan nada ringan yang terdengar tulus. Ia sedikit mencondongkan tubuh, jemarinya merapikan cangkir di meja.

“Tidak merepotkan sama sekali, Ma. Selina memang mau buat teh. Papa kebetulan ada di sini, jadi sekalian Selina buatkan.”

Marissa mengangguk kecil, senyum tipis terbit di wajahnya. “Tetap saja, Sayang. Mama yang seharusnya melayani Papa, bukan kamu. Tapi… terima kasih ya, Selina. Mama senang kamu perhatian begitu.”

Tatapan Marissa melembut, lalu bergeser ke arah kemasan teh berwarna ungu di atas meja. Ia meraihnya, membuka lipatan kecil di ujung bungkus, membaca tulisan yang tercetak rapi di sana. “Wah, teh lavender, ya?” tanyanya, alisnya sedikit terangkat sambil meneliti bungkus di tangannya.

Selina mengangguk kecil, matanya sempat melirik Dusan sekilas sebelum tersenyum. “Selina biasa minum ini kalau susah tidur,”

Marissa meraih bungkus teh, membukanya sedikit lalu menghirup aromanya. Senyum kecil terbit di bibirnya. “Kamu tahu? Mama sudah lama pengen coba merek ini, tapi belum sempat beli.”

“Oh ya?” Selina menegakkan tubuhnya. “Selina kebetulan punya banyak di kantor, Ma. Besok Selina bawakan. Tapi kayaknya Mama cocok teh mawar deh, selain sehat, bagus juga buat kulit.”

Marissa tampak antusias. “Wah, kamu serius? Tapi Mama dengar teh ini harus impor dari luar negeri.” Ia menatap bungkus di tangannya sejenak, lalu meletakkannya kembali. “Mama dengar pesannya susah dan lama. Kalau tehnya kamu kasih ke mama, bukannya kamu harus menunggu lama lagi?”

“Mama tenang saja,” ucap Selina seraya merapikan sisa sachet yang berserakan. “Selina punya kenalan distributor resmi. Kalau Selina yang pesan, biasanya langsung dikirim.”

Marissa tersenyum lega, tangannya singgah sejenak di punggung tangan Selina. “Terima kasih, ya. Mama sungguh beruntung punya menantu seperti kamu.”

Selina mengangguk. “Cuma teh saja, kok.”

Marissa kemudian beralih pada suaminya yang sejak tadi hanya diam. Rokok di diantara jarinya masih tersisa beberapa centi. Marissa lalu mengusap lengan Dusan sebentar sebelum beranjak. “Ayo tidur, Pa. Besok masih harus kerja.”

Dusan mengangguk. “Mama duluan saja. Papa habiskan tehnya sebentar.”

Marissa membalas anggukan lalu menoleh terakhir kalinya pada Selina. “Selina, Mama duluan ya, kamu juga cepat kembali istirahat.”

“Selamat malam, Ma,” jawab Selina, sambil melambaikan tangan pada sang ibu mertua.

Marissa pun menaiki tangga. Begitu sosoknya lenyap di lantai atas, keheningan kembali menyelimuti mereka.

Dusan meraih cangkir yang masih mengepul hangat. Ia meneguknya perlahan hingga tandas, lalu menaruhnya kembali ke meja. “Terima kasih untuk tehnya.”

Selina tak menjawab langsung. Rambut panjangnya ia kibaskan, helaian lembut itu jatuh melintas di bahu. “Kalau Papa mau lagi… jangan ragu bilang Selina.

Dusan seharusnya berpaling, menyusul istrinya ke kamar.

Tapi yang ia lakukan justru sebaliknya.

Tangannya terulur, menyentuh perban di jari Selina. 

“Menantu seperti kamu…” suara Dusan sangat pelan, ia sengaja menggantung kalimatnya. Badannya sedikit maju ke depan mendekat pada Selina, “…sangat murah hati.”

Selina tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, ia pun mengikis jarak dan mendekat pada Dusan. Kedua tangannya bertumpu pada meja bar.

“Kalau Papa menganggap begitu… Selina tidak keberatan memberi lebih banyak lagi.” 

Aroma lavender bercampur dengan napas hangat mereka saling bersentuhan.

Namun alih-alih mencuri jarak terakhir, Dusan menarik tubuhnya, lalu mendorong cangkir kosong ke arah Selina.

“Besok pagi…” katanya pelan, tatapannya masih intens pada wajah Selina, “…buatkan teh seperti ini lagi untuk Papa.”

Sudut bibir Selina terangkat halus ketika Dusan mendorong cangkir kosong ke arahnya. Kata-katanya sederhana, tetapi bagi Selina itu terdengar seperti pengakuan bahwa pria itu mulai luluh.

Dengan gerakan santai, telunjuknya berputar pelan menyusuri bibir cangkir. “Baik, Selina akan buatkan teh paling spesial untuk Papa.”

Dusan tidak menjawab lagi, ia lalu berbalik menaiki tangga. 

Selina tidak buru-buru mengalihkan pandangan, matanya mengikuti punggung tegap itu hingga menghilang di balik lantai atas.

Sesaat kemudian Selina menunduk pada cangkir di tangannya. Senyum tipis perlahan mengembang hingga mata sipitnya berkilat puas. Ia tahu benih yang ditanamnya sudah mulai tumbuh.

***

Aroma roti panggang dan teh masih hangat memenuhi udara di meja makan keluarga Mathias. 

Di ujung meja, Dusan hanya diam, menikmati daging panggang tanpa nasi di piringnya. 

Di sisi kanannya, Marissa duduk berhadapan dengan Giovanni yang berada di seberang meja. Mereka bercanda sambil menikmati roti, membuat suasana pagi itu terasa ringan.

Selina sendiri duduk di sisi kiri Dusan, sehingga ia berada di antara sang papa mertua dan Giovanni. 

Ketika menuang teh, Selina sadar tatapan papa mertuanya bertahan lama di tangannya. Bukannya terganggu, ia justru menanggapi tatapan Dusan dengan senyum tipis dan mengabaikan obrolan suami dan ibu mertuanya.

Hingga tiba-tiba saja Marissa menoleh pada Selina. “Selina, kapan kamu dan Giovanni mau kasih Mama cucu?” tanyanya polos. 

Untungnya, sebelum Selina membuka suara Giovanni buru-buru menjawab sambil terkekeh. “Ma, kami baru sehari menikah. Tentu belum berpikir sejauh itu.”

Marissa terkekeh kecil, menepuk lengannya sendiri. “Mama cuma tidak sabar. Pasti anak kalian lucu sekali.”

“Kami sudah bicara soal itu,” suara Giovanni kembali terdengar. “Setidaknya satu tahun ke depan kami belum berencana punya anak. Fokus kerja dulu.”

Marissa mendesah panjang, lalu menoleh ke suaminya. “Lihatlah anakmu ini, Pa. Sama saja dengan kamu, gila kerja.”

Dusan hanya menoleh singkat pada istrinya. “Buat apa buru-buru? Papa juga belum siap dipanggil Kakek.”

“Ya, maksud Mama, selagi mereka masih muda. Lagipula, apa yang ditunggu? Karier mereka sudah mapan, usia juga sudah cukup,” sanggah Marissa.

Giovanni kembali mendongak, menatap ibunya. “Ma, waktu kami masih panjang. Lagi pula sekarang Gio masih harus membantu Papa menangani proyek. Selama adikku belum kembali dari luar negeri, kerjaan Gio masih padat.”

Selina spontan mengerutkan dahi. Sepanjang kedekatannya dengan keluarga Mathias, tak sekalipun ia mendengar kabar tentang keberadaan seorang adik. Hanya tahu Giovanni adalah anak tunggal Dusan dan Marissa.

Saat itu, Dusan meletakkan sendoknya. Ia mengambil tisu, menyeka bibir, lalu berucap tenang, “Nanti Papa coba hubungi adikmu lagi, supaya dia pulang secepatnya.”

“Adik?” tanpa sadar Selina mengulangi kata itu. 

Seketika itu, suasana hening menyelimuti meja makan. Semua pasang mata memandang ke arahnya dengan ekspresi canggung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 73 | Aku Memang Gila

    Dinner. Restoran kecil di bawah apartemen itu sebenarnya tidak istimewa, tetapi menu standar mereka cukup layak untuk menjamu tiga anggota keluarga Mathias beserta satu orang sekretaris. Sejak makan malam dimulai, hanya Giovanni dan sekretarisnya yang berusaha mencairkan suasana lewat obrolan ringan mengenai agenda mereka ke depan. Sementara itu, Raven dan Selina sama-sama bungkam. Sesekali tatapan mereka bersinggungan—dan setiap kali itu terjadi, Selina selalu menjadi pihak yang terlebih dahulu memalingkan wajah. Namun ada hal lain yang membuat Selina jauh lebih tidak nyaman. Sebuah rasa lembap dan hangat tiba-tiba mengalir di bagian bawah tubuhnya, disertai nyeri yang membuat wanita itu gelisah di kursinya. Dilanda kekhawatiran akan kemungkinan terburuk, Selina menoleh pelan pada suaminya. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya lirih. Begitu Giovanni mengangguk, Selina segera bangkit, meraih tas kecilnya, lalu meninggalkan meja makan itu. Di dalam kamar mandi

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 72 | Malam Bersalju Waktu Itu

    One night stand itu terjadi jauh sebelum pernikahan, saat Selina masih merantau di negara Norvast. Pada malam bersalju di penghujung tahun itu, ia memutuskan merayakan hari terakhirnya di sana—tanpa pernah membayangkan bahwa keputusan impulsif tersebut akan menjeratnya di kemudian hari. Dan bertemu kembali dengan pria yang telah merenggut kegadisannya, dalam situasi seperti ini, adalah hal yang tak pernah Selina inginkan. Meski begitu, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Raven. Malam itu bukan semata keinginan pria tersebut, dirinya pun ikut memilih melangkah terlalu jauh. “Ternyata namamu Selina.” Suara bariton Raven menggunting lamunan wanita berambut gelombang itu. Sedangkan Giovanni yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengangkat alis. “Sebelum ini kalian sudah pernah ketemu?” tanya penuh rasa ingin tahu. Selina cepat-cepat mengembalikan pandangan pada suaminya. “Sayang. Kami—” “Pernah.” Raven memotong cepat ucapan Selina membuat wanita itu melayangkan tatapan tajam k

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 71 | Adik Iparku Ternyata....

    Jarak mereka terbentang beberapa meter. Namun, Suara berat dan dominan itu begitu berhasil memantik sesuatu dalam diri Selina hingga membuat tubuhnya kaku. Telinganya kembali berdengung terngiang bagaimana nada yang sama memanggil 'Sweetheart' di malam itu. "Atau... Merindukan sentuhanku?" lanjut pria itu. Selina berusaha untuk tetap fokus di tengah gelombang ingatan yang terus memutar potongan peristiwa antara dirinya dengan pria ini. Ia memejamkan mata kala kilasan hentakan tubuh pria itu memasuki dirinya di malam panas satu tahun lalu. Sial! "Maaf, aku salah kamar!" Selina meraih kembali kopernya tapi tubuhnya kembali terpaku saat pria itu bicara. "Klise." Pria itu kenbali bicara tetapi ekspresinya menatap lurus ke arah Selina. "Pura-pura salah kamar untuk menarik sebuah perhatian." Selina segera menatap pria itu dengan sorot mata elangnya. "Pertama, kamu salah orang. Kedua, aku merasa kita nggak pernah ketemu!" "Perlukah aku mengingatkan bagaimana kamu mendesah

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 70 | Long Time No See

    Selina memindah posisi ponsel ke telinga satunya, bahunya sedikit terangkat menahan posisi. “Bu… Pak Giovanni sejak semalam sudah tidak enak badan,” ucap Clara, terdengar seperti sedang menurunkan volume suaranya agar tak kedengaran orang lain. “Pagi ini beliau tetap memaksa bekerja, dan sekarang kondisinya makin parah. Saya sudah ingin memanggil dokter, tapi beliau tidak berkenan. Jadi saya… saya cuma bisa menghubungi Ibu. Bisa… Ibu datang ke sini?” Selina diam beberapa detik. Pandangannya menyipit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin mendengar lebih jelas. "Astaga... kenapa bisa sakit?" "Pak Giovanni terlambat makan, kemarin juga sempat kehujanan di lokasi proyek." Clara kembali berucap pelan. Sedangkan Selina memijat pelipisnya sendiri. "Tapi saya sudah beri obat, Bu, hanya Pak Gio tidak mau istirahat." "Ya sudah, saya ke sana, tapi saya harus ketemu beberapa klien dulu hari ini, jadi kemungkinan tiba agak sore," Selina akhirnya menjawab demikian. Tidak mungkin ia

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 69 | Urgent?

    Selina tersenyum kecil melihat pesan Marissa. Bertemu dengannya? Oh! Jangan harap! Selina tidak sebodoh itu. Bukan karena tidak berani... tapi karena belum waktunya. Selina lantas mengetikkan jawaban. [Sayangnya aku tidak punya waktu. Suamimu setiap hari minta jatah padaku.] Setelah itu Selina membawa ponsel dan cangkirnya ke dalam kamar. Dengan bersandar di kepala ranjang Selina menanti balasan Marissa. Dan, tidak butuh waktu lama Marissa langsung mengirim pesan balasan. [Dasar jalang!] makinya dalam pesan itu. Namun, detik berikutnya sebuah pesan susulan kembali masuk. [Kamu tidak tahu sedang bicara dengan siapa?] Selina hampir tertawa membaca pesan itu. Wajah Marissa yang merah padam sangat tergambar jelas di benaknya. [Tahu. Marissa Octavia, si mantan model internasional yang sangat terkenal pada zamannya.] [Tapi sayangnya suamimu bilang tubuhku lebih legit dari pada tubuh keriputmu yang sudah bau tanah itu! Hahaha!] Setelah mengirim dua pesan be

  • Panasnya Dendam di Ranjang Pengantin   Chapter 68 | Bertengkar Lagi

    Alih-alih turun untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu mertuanya, Selina justru masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri terlebih dulu.Beberapa menit kemudian barulah ia muncul. Dengan piyama yang sudah rapi menempel di tubuhnya, Selina menuruni tangga sambil membawa gelas kosong. Langkahnya tenang seperti biasanya, sedikit berayun santai.Ketika tiba di dapur, langkah Selina terhenti. Wajah pucat Marissa menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Bibir ibu mertuanya itu bergetar, bola matanya merah dan berair. Sementara Bi Mirna sedang memungut pecahan kaca di bawah meja."Mama?" Seolah terkejut, Selina buru-buru mendekat ke arahnya. "Ada apa, Ma?"Seramah mungkin Selina bertanya, wajahnya dibuat terkejut. Namun, Marissa tidak menjawab."Selina teleponkan Papa gimana, Ma?" Selina hendak melangkah menjauh, tetapi tangan dingin Marissa menyentuh lengannya, membuat Selina segera menoleh pada sang ibu mertua."Mama nggak apa-apa," kata Marissa dengan suara ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status