Home / Romansa / Gairah Menantang di Rumah Mertua / Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

Share

Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

last update Last Updated: 2025-10-10 20:04:30

Selina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci. 

Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.

Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?” 

Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.

“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan. 

Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”

“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”

Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Papa maunya apa?”

Pipi Dusan terangkat sempurna. Sepasang manik hitamnya tak lepas dari wajah Selina. “Mau tidur denganmu. Boleh?”

Selina sontak menahan napas, wajahnya memucat. “Ti—tidak seharusnya … Papa sadar kan, Selina ini istri anak Papa. Kalau sampai ketahuan … bagaimana dengan perasaan suami Selina nanti? Bagaimana kalau Mama juga tahu?”

“Dia sudah minum obat tidur, tidak akan bangun.” Nada suaranya begitu tenang, seolah sudah memperhitungkan semuanya. Seharusnya Selina sadar akan hal itu, Dusan bukan pria yang akan bertindak sembarangan, apalagi di rumahnya sendiri.

Satu gerakan ringan dari Dusan membuat pinggang Selina tertarik, tubuh mungil itu pun kembali menempel padanya tanpa perlawanan.

Selina mengerjap cepat, kelopak matanya membulat. “Be—benarkah Papa tidak memikirkan anak Papa sendiri?”

“Yaa.”

Entah bagaimana, tangan Dusan sudah lebih dulu menemukan tempatnya di dada Selina. Wanita itu tersentak, namun tak juga menepis. Sebaliknya, kelopak matanya perlahan terpejam, menikmati setiap getar yang menjalari seluruh tubuhnya.

“Kemarin malam kamu nggak pakai, sekarang juga tidak memakainya. Sepertinya itu memang kebiasaanmu?” bisik Dusan di dekat telinganya.

“Selina memang suka tidur tanpa itu,” balas Selina. Mata sayunya bertaut dengan manik hitam pria itu.

Dusan semakin berani mendekat, hembusan napasnya yang hangat menyapu wajah Selina. Jemarinya menelusuri garis tipis piyama yang membungkus tubuh wanita itu, membuat Selina kian sulit menahan ekspresinya.

“Kamu menikahi putraku, tapi kenapa terus sengaja menggodaku, hm?” suara Dusan terdengar rendah dan berat. “Katakan, Selina… sebenarnya siapa yang kamu inginkan?”

“Pa… shhh!” suara Selina tercekat. Ia refleks menahan tangan Dusan, matanya membulat karena terkejut. Tubuhnya menegang di bawah sentuhan itu, ingin menolak tapi tak kuasa menyembunyikan getar halus di bibirnya.

“Jawab, Selina,” titah Dusan seraya menekan tangannya lebih dalam, membuat Selina hampir gila dibuatnya.

Selina menggigit bibir, menahan erang.

“Pa … jangan. Kalau ini diketahui orang … gimana?” ucapnya gugup, suaranya setengah memohon. 

“Kamu melakukan ini, tidak merasa berdosa pada suamimu?” desak Dusan lagi, ia menyelipkan tawa pelan yang hanya sehelai nada di antara desahannya.

Pria itu bahkan tidak keberatan dengan suara yang keluar dari bibir Selina. Justru, terlihat sangat menikmatinya.

Sedangkan Selina sendiri, meski wajahnya dipenuhi keterkejutan dan gelisah, hatinya bersorak diam-diam karena akhirnya ia berhasil menarik Dusan ke dalam perangkap yang ia pasang sejak awal.

Selina setengah menutup mata, menatap Dusan dengan pandangan penuh gairah. Tangannya menuntun Dusan, mendorongnya untuk tetap di tempat yang paling hangat. 

“Mhh …” desah Selina tertahan.

Sekali lagi, bibir Dusan bergerak naik, menandakan kepuasan atas reaksi Selina. Saat Selina nyaris mencapai puncak, Dusan perlahan menarik tangannya membiarkan hasrat itu menggantung di udara.

Sepasang mata Selina yang tadi terpejam perlahan terbuka, napasnya masih terengah-engah dan tubuhnya memanas. Namun, ia memilih untuk tidak buru-buru meminta Dusan melanjutkan.

Kini, giliran Dusan yang menuntun tangan Selina. Jemarinya yang besar membimbing lembut, menempelkan telapak Selina di dada bidangnya.

Degup jantung pria itu terasa begitu jelas di bawah telapak tangannya. Perlahan, gerakannya menurun, menelusuri otot-otot keras yang terlatih hingga tangannya menyentuh sesuatu yang mengeras di bawah perut, Dusan menahannya lebih lama di sana. “Kamu lihat? Dia membutuhkan kamu.”

Selina menelan ludahnya dengan susah payah, tapi tak juga menarik tangannya. Ia hanya menuruti arahan Dusan, membiarkan dirinya terbawa gerakan yang pria itu tuntun.

“Se—selina hanya merasa ini tidak benar, Pa.”

Dusan menunduk sedikit, membuat jarak di antara mereka nyaris hilang. Hidung Selina hanya sejengkal dari bibirnya.

“Benar atau salah itu tergantung dari mana kita melihatnya, kan? Selama kamu merasa benar…” ucapnya pelan di dekat telinga Selina, “…apa penting pendapat orang lain?”

“Tapi gimana dengan Gio dan Mama? Nanti mereka marah pada Selina, bagaimana?” tanya Selina dengan nada lirih. Sementara jemari Dusan kini menelusuri wajah Selina yang polos tanpa make up. Beberapa detik berlalu, pria itu hanya tersenyum. 

“Ternyata kamu begitu penakut?”

“Papa tidak takut dengan Mama?”

“Papa melakukannya denganmu, tapi hati Papa tetap mencintainya. Papa hanya tahu batas mana yang orang lain sebut dosa, dan mana yang Papa sebut keinginan.”

Selina terdiam beberapa detik, pupil matanya menajam. Dusan ini memang pria tidak punya hati. Berlagak mencintai Marissa tetapi juga ingin menyentuhnya di balik dalih keinginan. Namun, secepat itu juga ia mengendurkan ekspresi wajahnya, tak ingin Dusan menangkap perubahan sekecil apa pun.

“Papa nggak takut Gio marah? Dia pasti sedih kalau lihat Selina sama Papa begini…?”

Selina menggeliat gelisah, tanpa sadar tubuhnya malah makin menempel ke dada bidang pria itu. Wajahnya memerah, ia buru-buru menunduk, berpura-pura tidak sadar kalau gerakannya justru membuat suasana makin panas.

Dusan tidak langsung menjawab. Ujung jarinya terangkat, menyentuh rahang Selina dan mengusapnya lembut. Tatapannya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia berucap pelan, “Andai saja… dia memiliki darah yang sama denganku, tentu Papa akan sangat takut.”

Dusan kembali mendekat. Hidungnya nyaris menyapu wajah Selina sebelum akhirnya bibirnya menangkap bibir wanita itu. Ciumannya dalam dan rakus, seolah ingin menelan habis sisa logika yang masih bertahan di antara mereka.

Kesadaran Selina berusaha mencerna kalimat terakhir yang keluar dari bibir pria itu.

Hingga ketika ia tak bisa menemukan jawaban, Selina lantas melepaskan ciuman Dusan. Kedua alisnya spontan bersatu, menuntut pria di hadapannya menjelaskan kalimatnya tadi.

“Apa maksudnya Papa dan Gio tidak memiliki darah yang sama?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 8 | Tidak Tahan Lagi

    Dusan mengusap lembut bibir Selina yang masih memerah karena ciumannya. Helaan napas mereka saling mengejar, panas dan tak beraturan, seolah ruangan itu hanya menyisakan udara untuk mereka berdua.Jemari pria itu menyusuri wajah Selina, berhenti sejenak di tengkuknya, lalu turun perlahan ke leher, meninggalkan sensasi hangat yang membuat tubuh Selina kembali meremang.“Maksud Papa, jangan biarkan dia tahu apa yang sudah kita lakukan,” bisiknya, suara rendahnya bagai mantra yang mengunci Selina pada dekapannya.Bibir mereka kembali berpaut, kali ini lebih dalam dan menuntut. Selina merasa dirinya terseret ke dalam pusaran yang membuatnya lupa bernapas. Ia hanya bisa pasrah ketika Dusan menuruni jalur lembut di sepanjang lehernya, menabur jejak panas hingga ke bahu.

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

    Selina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci. Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?” Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan. Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Pa

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 6 | Panaskan Jantungku

    Pikiran Selina masih menebak-nebak maksud pesan terakhir Dusan di restoran tadi. Bahkan ketika sampai di rumah, bayangan kalimat itu belum juga lepas dari benaknya.Hingga sebuah getar notifikasi membuyarkan lamunannya. Ketika mengangkat ponsel, sebuah pesan dari Giovanni terpampang di layar.[Sayang, maaf aku harus lembur hari ini. Aku akan pulang ke apartemen supaya lebih dekat. Jangan tunggu aku makan malam.]Selina menghela napas panjang. Baru dua hari cincin perkawinan itu melingkar di jarinya, tetapi sosok Giovanni sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Namun, bukankah pernikahan ini memang sekadar tiket untuk masuk ke keluarga Mathias? Ya, tetapi bagaimanapun sisi dirinya yang lain tak bisa memungkiri jika ia membutuhkan sepasang bahu yang menemaninya setiap malam.Selina lantas membawa laptop ke tepi kolam renang, mencoba menyibukkan diri dengan merancang desain baru untuk perhiasan galerinya. Tepat saat Selina melepas earphone-nya, ia mendengar suara dari ruang makan.“Pa,

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 5 | Pijat Gratis?

    Pegawai itu tergagap dan salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, seolah takut menatap Dusan dan Selina lebih lama.Dusan hanya tersenyum tipis, lalu meraih kotak hitam di tangannya. “Terima kasih cincinnya. Papa berangkat dulu.”Selina melambaikan tangan manis, senyumnya terpelihara seolah tak ada yang terjadi barusan. “Hati-hati di jalan, Pa.”Begitu pria itu pergi, Selina menoleh pada pegawai yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya datar, sambil merapikan lipatan gaunnya.“Maaf, Bu,” jawab si pegawai gugup. “Saya hanya ingin mengambil laporan bulanan di meja Ibu. Tidak tahu kalau Ibu sedang ada… tamu.”Selina terkekeh kecil, raut wajahnya berbinar seperti biasa. “Tidak apa-apa. Papa mertua cuma datang ambil hadiah saja, bukan hal penting.”Pegawai itu langsung mendongak, matanya membesar. “Ha–hadiah?”“Ya.” Selina mengangguk ringan sambil melangkah menuju meja kerjanya. “Cincin yang kemarin belum ada modelnya. Saya putuskan untuk memberikannya pada Papa. Sangat c

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

    Jemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.“Papa… jangan begini.”Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”Mata Selina terbuka perlaha

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

    “itu …” Marissa tampak kebingungan merangkai kata-kata. Sementara Dusan seolah tidak ingin menjawab pertanyaan sang menantu. Selina segera berdehem menetralkan suasana. Bibirnya melengkung manis sebelum menjawab. “Oh, maaf. Selina sedikit bingung … dan baru tahu kalau Gio punya Adik.”Giovanni yang ada di samping Selina terkekeh. “Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu kalau sebenarnya aku punya adik. Dia lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kamu nggak pernah ketemu.”“Ah, begitu rupanya,” Selina terkekeh kecil, matanya berbinar seperti menemukan potongan puzzle tentang keluarga suaminya.Giovanni lantas mengusap kepala Selina dengan lembut. Dusan yang sedang memegang gelas tiba-tiba menaruhnya ke meja sedikit lebih keras dari biasanya. Bunyi ketukan itu singkat, tetapi cukup membuat Selina sempat melirik ke arahnya.“Nanti kalau dia pulang aku pasti kenalkan kamu padanya,” lanjut Giovanni, seolah tak menyadari apa yang dilakukan sang papa. Sementara Selina hanya menga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status