LOGINSelina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci.
Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.
Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?”
Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.
“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan.
Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”
“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”
Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Papa maunya apa?”
Pipi Dusan terangkat sempurna. Sepasang manik hitamnya tak lepas dari wajah Selina. “Mau tidur denganmu. Boleh?”
Selina sontak menahan napas, wajahnya memucat. “Ti—tidak seharusnya … Papa sadar kan, Selina ini istri anak Papa. Kalau sampai ketahuan … bagaimana dengan perasaan suami Selina nanti? Bagaimana kalau Mama juga tahu?”
“Dia sudah minum obat tidur, tidak akan bangun.” Nada suaranya begitu tenang, seolah sudah memperhitungkan semuanya. Seharusnya Selina sadar akan hal itu, Dusan bukan pria yang akan bertindak sembarangan, apalagi di rumahnya sendiri.
Satu gerakan ringan dari Dusan membuat pinggang Selina tertarik, tubuh mungil itu pun kembali menempel padanya tanpa perlawanan.
Selina mengerjap cepat, kelopak matanya membulat. “Be—benarkah Papa tidak memikirkan anak Papa sendiri?”
“Yaa.”
Entah bagaimana, tangan Dusan sudah lebih dulu menemukan tempatnya di dada Selina. Wanita itu tersentak, namun tak juga menepis. Sebaliknya, kelopak matanya perlahan terpejam, menikmati setiap getar yang menjalari seluruh tubuhnya.
“Kemarin malam kamu nggak pakai, sekarang juga tidak memakainya. Sepertinya itu memang kebiasaanmu?” bisik Dusan di dekat telinganya.
“Selina memang suka tidur tanpa itu,” balas Selina. Mata sayunya bertaut dengan manik hitam pria itu.
Dusan semakin berani mendekat, hembusan napasnya yang hangat menyapu wajah Selina. Jemarinya menelusuri garis tipis piyama yang membungkus tubuh wanita itu, membuat Selina kian sulit menahan ekspresinya.
“Kamu menikahi putraku, tapi kenapa terus sengaja menggodaku, hm?” suara Dusan terdengar rendah dan berat. “Katakan, Selina… sebenarnya siapa yang kamu inginkan?”
“Pa… shhh!” suara Selina tercekat. Ia refleks menahan tangan Dusan, matanya membulat karena terkejut. Tubuhnya menegang di bawah sentuhan itu, ingin menolak tapi tak kuasa menyembunyikan getar halus di bibirnya.
“Jawab, Selina,” titah Dusan seraya menekan tangannya lebih dalam, membuat Selina hampir gila dibuatnya.
Selina menggigit bibir, menahan erang.
“Pa … jangan. Kalau ini diketahui orang … gimana?” ucapnya gugup, suaranya setengah memohon.
“Kamu melakukan ini, tidak merasa berdosa pada suamimu?” desak Dusan lagi, ia menyelipkan tawa pelan yang hanya sehelai nada di antara desahannya.
Pria itu bahkan tidak keberatan dengan suara yang keluar dari bibir Selina. Justru, terlihat sangat menikmatinya.
Sedangkan Selina sendiri, meski wajahnya dipenuhi keterkejutan dan gelisah, hatinya bersorak diam-diam karena akhirnya ia berhasil menarik Dusan ke dalam perangkap yang ia pasang sejak awal.
Selina setengah menutup mata, menatap Dusan dengan pandangan penuh gairah. Tangannya menuntun Dusan, mendorongnya untuk tetap di tempat yang paling hangat.
“Mhh …” desah Selina tertahan.
Sekali lagi, bibir Dusan bergerak naik, menandakan kepuasan atas reaksi Selina. Saat Selina nyaris mencapai puncak, Dusan perlahan menarik tangannya membiarkan hasrat itu menggantung di udara.
Sepasang mata Selina yang tadi terpejam perlahan terbuka, napasnya masih terengah-engah dan tubuhnya memanas. Namun, ia memilih untuk tidak buru-buru meminta Dusan melanjutkan.
Kini, giliran Dusan yang menuntun tangan Selina. Jemarinya yang besar membimbing lembut, menempelkan telapak Selina di dada bidangnya.
Degup jantung pria itu terasa begitu jelas di bawah telapak tangannya. Perlahan, gerakannya menurun, menelusuri otot-otot keras yang terlatih hingga tangannya menyentuh sesuatu yang mengeras di bawah perut, Dusan menahannya lebih lama di sana. “Kamu lihat? Dia membutuhkan kamu.”
Selina menelan ludahnya dengan susah payah, tapi tak juga menarik tangannya. Ia hanya menuruti arahan Dusan, membiarkan dirinya terbawa gerakan yang pria itu tuntun.
“Se—selina hanya merasa ini tidak benar, Pa.”
Dusan menunduk sedikit, membuat jarak di antara mereka nyaris hilang. Hidung Selina hanya sejengkal dari bibirnya.
“Benar atau salah itu tergantung dari mana kita melihatnya, kan? Selama kamu merasa benar…” ucapnya pelan di dekat telinga Selina, “…apa penting pendapat orang lain?”
“Tapi gimana dengan Gio dan Mama? Nanti mereka marah pada Selina, bagaimana?” tanya Selina dengan nada lirih. Sementara jemari Dusan kini menelusuri wajah Selina yang polos tanpa make up. Beberapa detik berlalu, pria itu hanya tersenyum.
“Ternyata kamu begitu penakut?”
“Papa tidak takut dengan Mama?”
“Papa melakukannya denganmu, tapi hati Papa tetap mencintainya. Papa hanya tahu batas mana yang orang lain sebut dosa, dan mana yang Papa sebut keinginan.”
Selina terdiam beberapa detik, pupil matanya menajam. Dusan ini memang pria tidak punya hati. Berlagak mencintai Marissa tetapi juga ingin menyentuhnya di balik dalih keinginan. Namun, secepat itu juga ia mengendurkan ekspresi wajahnya, tak ingin Dusan menangkap perubahan sekecil apa pun.
“Papa nggak takut Gio marah? Dia pasti sedih kalau lihat Selina sama Papa begini…?”
Selina menggeliat gelisah, tanpa sadar tubuhnya malah makin menempel ke dada bidang pria itu. Wajahnya memerah, ia buru-buru menunduk, berpura-pura tidak sadar kalau gerakannya justru membuat suasana makin panas.
Dusan tidak langsung menjawab. Ujung jarinya terangkat, menyentuh rahang Selina dan mengusapnya lembut. Tatapannya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia berucap pelan, “Andai saja… dia memiliki darah yang sama denganku, tentu Papa akan sangat takut.”
Dusan kembali mendekat. Hidungnya nyaris menyapu wajah Selina sebelum akhirnya bibirnya menangkap bibir wanita itu. Ciumannya dalam dan rakus, seolah ingin menelan habis sisa logika yang masih bertahan di antara mereka.
Kesadaran Selina berusaha mencerna kalimat terakhir yang keluar dari bibir pria itu.
Hingga ketika ia tak bisa menemukan jawaban, Selina lantas melepaskan ciuman Dusan. Kedua alisnya spontan bersatu, menuntut pria di hadapannya menjelaskan kalimatnya tadi.
“Apa maksudnya Papa dan Gio tidak memiliki darah yang sama?”
Dinner. Restoran kecil di bawah apartemen itu sebenarnya tidak istimewa, tetapi menu standar mereka cukup layak untuk menjamu tiga anggota keluarga Mathias beserta satu orang sekretaris. Sejak makan malam dimulai, hanya Giovanni dan sekretarisnya yang berusaha mencairkan suasana lewat obrolan ringan mengenai agenda mereka ke depan. Sementara itu, Raven dan Selina sama-sama bungkam. Sesekali tatapan mereka bersinggungan—dan setiap kali itu terjadi, Selina selalu menjadi pihak yang terlebih dahulu memalingkan wajah. Namun ada hal lain yang membuat Selina jauh lebih tidak nyaman. Sebuah rasa lembap dan hangat tiba-tiba mengalir di bagian bawah tubuhnya, disertai nyeri yang membuat wanita itu gelisah di kursinya. Dilanda kekhawatiran akan kemungkinan terburuk, Selina menoleh pelan pada suaminya. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya lirih. Begitu Giovanni mengangguk, Selina segera bangkit, meraih tas kecilnya, lalu meninggalkan meja makan itu. Di dalam kamar mandi
One night stand itu terjadi jauh sebelum pernikahan, saat Selina masih merantau di negara Norvast. Pada malam bersalju di penghujung tahun itu, ia memutuskan merayakan hari terakhirnya di sana—tanpa pernah membayangkan bahwa keputusan impulsif tersebut akan menjeratnya di kemudian hari. Dan bertemu kembali dengan pria yang telah merenggut kegadisannya, dalam situasi seperti ini, adalah hal yang tak pernah Selina inginkan. Meski begitu, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Raven. Malam itu bukan semata keinginan pria tersebut, dirinya pun ikut memilih melangkah terlalu jauh. “Ternyata namamu Selina.” Suara bariton Raven menggunting lamunan wanita berambut gelombang itu. Sedangkan Giovanni yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengangkat alis. “Sebelum ini kalian sudah pernah ketemu?” tanya penuh rasa ingin tahu. Selina cepat-cepat mengembalikan pandangan pada suaminya. “Sayang. Kami—” “Pernah.” Raven memotong cepat ucapan Selina membuat wanita itu melayangkan tatapan tajam k
Jarak mereka terbentang beberapa meter. Namun, Suara berat dan dominan itu begitu berhasil memantik sesuatu dalam diri Selina hingga membuat tubuhnya kaku. Telinganya kembali berdengung terngiang bagaimana nada yang sama memanggil 'Sweetheart' di malam itu. "Atau... Merindukan sentuhanku?" lanjut pria itu. Selina berusaha untuk tetap fokus di tengah gelombang ingatan yang terus memutar potongan peristiwa antara dirinya dengan pria ini. Ia memejamkan mata kala kilasan hentakan tubuh pria itu memasuki dirinya di malam panas satu tahun lalu. Sial! "Maaf, aku salah kamar!" Selina meraih kembali kopernya tapi tubuhnya kembali terpaku saat pria itu bicara. "Klise." Pria itu kenbali bicara tetapi ekspresinya menatap lurus ke arah Selina. "Pura-pura salah kamar untuk menarik sebuah perhatian." Selina segera menatap pria itu dengan sorot mata elangnya. "Pertama, kamu salah orang. Kedua, aku merasa kita nggak pernah ketemu!" "Perlukah aku mengingatkan bagaimana kamu mendesah
Selina memindah posisi ponsel ke telinga satunya, bahunya sedikit terangkat menahan posisi. “Bu… Pak Giovanni sejak semalam sudah tidak enak badan,” ucap Clara, terdengar seperti sedang menurunkan volume suaranya agar tak kedengaran orang lain. “Pagi ini beliau tetap memaksa bekerja, dan sekarang kondisinya makin parah. Saya sudah ingin memanggil dokter, tapi beliau tidak berkenan. Jadi saya… saya cuma bisa menghubungi Ibu. Bisa… Ibu datang ke sini?” Selina diam beberapa detik. Pandangannya menyipit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin mendengar lebih jelas. "Astaga... kenapa bisa sakit?" "Pak Giovanni terlambat makan, kemarin juga sempat kehujanan di lokasi proyek." Clara kembali berucap pelan. Sedangkan Selina memijat pelipisnya sendiri. "Tapi saya sudah beri obat, Bu, hanya Pak Gio tidak mau istirahat." "Ya sudah, saya ke sana, tapi saya harus ketemu beberapa klien dulu hari ini, jadi kemungkinan tiba agak sore," Selina akhirnya menjawab demikian. Tidak mungkin ia
Selina tersenyum kecil melihat pesan Marissa. Bertemu dengannya? Oh! Jangan harap! Selina tidak sebodoh itu. Bukan karena tidak berani... tapi karena belum waktunya. Selina lantas mengetikkan jawaban. [Sayangnya aku tidak punya waktu. Suamimu setiap hari minta jatah padaku.] Setelah itu Selina membawa ponsel dan cangkirnya ke dalam kamar. Dengan bersandar di kepala ranjang Selina menanti balasan Marissa. Dan, tidak butuh waktu lama Marissa langsung mengirim pesan balasan. [Dasar jalang!] makinya dalam pesan itu. Namun, detik berikutnya sebuah pesan susulan kembali masuk. [Kamu tidak tahu sedang bicara dengan siapa?] Selina hampir tertawa membaca pesan itu. Wajah Marissa yang merah padam sangat tergambar jelas di benaknya. [Tahu. Marissa Octavia, si mantan model internasional yang sangat terkenal pada zamannya.] [Tapi sayangnya suamimu bilang tubuhku lebih legit dari pada tubuh keriputmu yang sudah bau tanah itu! Hahaha!] Setelah mengirim dua pesan be
Alih-alih turun untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu mertuanya, Selina justru masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri terlebih dulu.Beberapa menit kemudian barulah ia muncul. Dengan piyama yang sudah rapi menempel di tubuhnya, Selina menuruni tangga sambil membawa gelas kosong. Langkahnya tenang seperti biasanya, sedikit berayun santai.Ketika tiba di dapur, langkah Selina terhenti. Wajah pucat Marissa menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Bibir ibu mertuanya itu bergetar, bola matanya merah dan berair. Sementara Bi Mirna sedang memungut pecahan kaca di bawah meja."Mama?" Seolah terkejut, Selina buru-buru mendekat ke arahnya. "Ada apa, Ma?"Seramah mungkin Selina bertanya, wajahnya dibuat terkejut. Namun, Marissa tidak menjawab."Selina teleponkan Papa gimana, Ma?" Selina hendak melangkah menjauh, tetapi tangan dingin Marissa menyentuh lengannya, membuat Selina segera menoleh pada sang ibu mertua."Mama nggak apa-apa," kata Marissa dengan suara ber







