Share

Permintaan

Author: de Banyantree
last update Last Updated: 2025-11-14 11:32:50

​Vivian berdiri tegak, membiarkan kemarahan membara yang terasa dingin di dalam dirinya. Dinding marmer di ruang keluarga tampak kusam, seolah menyerap semua gejolak emosi yang baru saja mereka lontarkan. Anggun. Kata itu adalah topeng terbaiknya. Bahkan saat hatinya hancur, ia tidak akan membiarkan dirinya terlihat remuk di depan pria yang telah menghianatinya selama bertahun-tahun.

​“Sensasi baru?” Suara Vivian terdengar rendah dan terkontrol, jauh lebih mematikan daripada teriakan histeris.

Sebuah kalimat singkat yang baru saja didengar sendiri oleh telinganya.

Ia menoleh perlahan ke arah Arman yang berdiri menyilangkan tangan di depan dada, menunjukkan sikap defensif dan arogansi yang tak tertahankan.

“Arman, kita menikah hampir dua puluh tahun.”

​Ia melangkah mendekat, sepasang mata cokelatnya menatap tajam, menelanjangi kebohongan yang coba dipatrikan Arman dalam kalimat-kalimatnya.

​“Bukan, bukan sensasi baru. Itu hanya alasan murahan yang digunakan oleh pria lemah untuk menjustifikasi kesalahannya. Katakan dengan jujur, inikah alasanmu tidak pernah menyentuhku selama lima tahun terakhir? Karena wanita itu? Sekretaris mudamu yang usianya hampir sama dengan putramu?

​Arman mendengus. Ia sudah menduga Vivian tidak akan bereaksi seperti istri pada umumnya—menangis atau memohon. Justru ketenangan Vivian yang mencekam ini membuatnya sulit untuk tetap tenang.

​“Jangan membuat asumsi yang tidak-tidak, Viv,” jawab Arman dingin, suaranya mengandung nada peringatan.

Karakter Arman selalu seperti ini: keputusan yang telah ia buat adalah mutlak, dan ia benci dibantah, apalagi digurui oleh istrinya sendiri.

“Dia hanya... penyegaran. Aku butuh udara baru dalam hidupku yang monoton.”

​Vivian tertawa kecil, tawa yang tidak mencapai matanya. Tawa itu terdengar seperti pecahan kaca, tajam dan menyakitkan.

​“Monoton? Kehidupan yang kau sebut monoton itu adalah kehidupan yang selama ini aku jaga dengan susah payah agar citra perusahaanmu tetap mentereng. Aku memberikanmu citra rumah tangga sempurna, wajahku terpampang di mana-mana sebagai ikon keanggunan, membuat orang percaya bahwa di balik sukses Arman ada Vivian yang setia dan berkelas. Aku adalah asetmu, Arman, bukan dekorasi yang bisa kau ganti sesukamu!”

​Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah pintu depan yang megah. “Aku tidak akan berbagi. Aku menuntut cerai, sekarang juga. Aku akan menghubungi pengacaraku.”

​****

​Wajah Arman mengeras. Matanya menyipit berbahaya. Ia mencondongkan tubuh sedikit, memancarkan aura dominasi yang biasa ia gunakan di ruang rapat dewan direksi.

​“Perceraian? Kau gila, Vivian,” ancamnya. “Pikirkan dampaknya. Kau terlalu naif jika berpikir perceraian ini hanya tentang kita berdua. Kau tahu betul, reputasi keluarga dan bisnis perusahaan ada pada keharmonisan rumah tangga kita.”

​Vivian mundur selangkah, namun bukan karena takut. Ia mundur untuk memberinya ruang, membiarkan Arman melihat betapa besar kehinaan yang ia rasakan.

​“Keharmonisan macam apa yang kau bicarakan? Itu hanyalah ilusi yang kita jual kepada publik!” balas Vivian, suaranya meninggi satu oktaf namun tetap terkontrol. “Dan demi ilusi itu, kau memintaku terus berpura-pura menjadi istri yang bahagia? Selama ini, aku menjaga nama baikmu, Arman. Aku tidak pernah terlibat skandal, aku selalu tampil sempurna. Kau pikir dengan wajah dan namaku ini, aku tidak akan mendapatkan apa-apa dari perceraian ini?”

​“Tentu saja kau akan mendapatkan banyak, Vivian. Tapi kau akan kehilangan lebih banyak.” Arman tersenyum sinis, senyuman yang penuh perhitungan dan berbahaya. “Kau adalah Model Vivian. Ikon keanggunan dan kesetiaan. Pikirkan apa yang akan dikatakan media jika tiba-tiba kau mengajukan gugatan cerai? Bahwa suamimu berselingkuh? Ya, itu akan merusak namaku, tapi itu juga akan merusak citramu. Kehidupan rumah tangga yang ‘jauh dari gosip murahan’ yang kau banggakan itu akan jadi santapan paling lezat media. Kau akan terlihat bodoh, Vivian. Istri yang tidak tahu suaminya tidur dengan siapa selama bertahun-tahun.”

​Vivian terdiam. Kata-kata Arman menancap tepat di titik terlemahnya: citra diri dan harga diri. Ia tidak takut kehilangan materi, tapi ia tidak sudi kehilangan kendali atas narasi hidupnya. Ia tidak akan membiarkan orang lain memandangnya dengan kasihan.

​“Apa maumu?” Vivian bertanya, menyalurkan semua kemarahannya menjadi fokus setajam mata pisau

.

​“Tetaplah di tempatmu, Vivian. Tetaplah menjadi istriku yang sempurna di depan kamera, di depan relasi, dan di depan media. Kau adalah topeng terbaikku. Aku tidak akan menceraikanmu, tapi aku juga tidak akan melepaskan wanita itu.” Arman melangkah mendekat, mencoba menyentuh pipi Vivian, namun Vivian menepis tangannya dengan gerakan cepat dan jijik.

​“Jangan sentuh aku!”

​“Dengar, anggap saja ini adalah sebuah kontrak baru,” lanjut Arman, mengabaikan penolakan Vivian. “Kita akan hidup seperti biasa. Aku akan memberimu semua yang kau inginkan, fokus pada karirmu... dan kau akan berpura-pura tidak tahu tentang dia. Dengan cara itu, tidak ada yang terluka. Bisnis aman, citra Model Vivian aman, dan aku... mendapatkan apa yang aku inginkan. Jika kau berani bergerak, aku pastikan hidupmu, karirmu, dan semua yang kau jaga akan hancur lebur dalam satu hari. Pikirkan baik-baik, Vivian. Aku tidak main-main.”

Arman lalu berdiri meninggalkan Vivian di ruang keluarga sendirian.

​Di balik pintu kayu mahoni ruang kerja yang tertutup, Juno menahan napas. Ia telah berdiri di sana sejak Vivian mulai menanyakan alasan Arman tidak pernah menyentuhnya.

​Tangan Juno terkepal di sisi tubuhnya. Matanya yang gelap memancarkan kemarahan yang dingin.

​Juno, putra tiri Vivian, tahu betul betapa dingin dan berjaraknya hubungan Arman dan Vivian, bahkan di balik pintu. Arman, ayahnya, selalu bersikap otoriter, dan Vivian, ibu tirinya, selalu merespon dengan kesopanan yang dijaga ketat. Namun, pertengkaran kali ini berbeda. Ini bukan lagi tentang perbedaan pendapat kecil; ini adalah pengkhianatan yang telanjang.

​Juno adalah anak dari istri pertama Arman, yang meninggal dua puluh tahun lalu. Vivian masuk ke dalam hidupnya saat ia masih kecil, dan meskipun hubungan mereka tidak pernah sehangat ibu-anak kandung, Vivian selalu memperlakukannya dengan hormat dan memberikan ruang. Bagi Juno, Vivian adalah sosok yang kuat dan teguh, tidak pernah menunjukkan kerapuhan.

Tapi Juno malah tumbuh menjadi pria dingin dan arogan. Dia tidak pernah mau menyapa Vivian dengan baik. Sifatnya yang tertutup, membuat Vivian tidak bisa membaca isi pikiran putra tirinya itu. Yang Vivian tahu. Juno memiliki bisnis dan kekayaannya sendiri tanpa berlindung di bawah keinginan menjadi pewaris Arman.

Tatapan Juno semakin awas, dalam pencahayaan ruangan samar. Oleh karena semua lampu telah dipadamkan. Malam semakin larut, jam klasik di dinding menunjukan pukul 02.00 dini hari. Pendengarannya yang tajam menangkap samar samar suara dari kamar utama. Dengan perlahan dia bisa membuka pintu kamar yg tidak terkunci itu, dan menyelinap masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status