Share

Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati
Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati
Penulis: de Banyantree

Bisikan orang terdekat

Penulis: de Banyantree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-14 08:20:20

​Vivian berdiri di depan cermin riasnya yang besar, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Rambutnya disanggul tinggi dengan elegan, gaun malamnya—kreasi desainer ternama—jatuh dengan anggun, memeluk lekuk tubuhnya yang terjaga. Malam ini, ia menghadiri perayaan ulang tahun rekan bisnis Arman. Ia adalah Model Vivian, lambang keanggunan, kecantikan, dan kesetiaan istri pebisnis sukses.

​Namun, di balik polesan makeup yang flawless, sepasang mata cokelatnya memancarkan kekosongan yang membekukan. Sejak lima tahun terakhir, kesempurnaan ini terasa seperti kulit yang ditarik kencang, rentan robek kapan saja.

​Lima tahun. Itu adalah rentang waktu yang Vivian hitung sejak terakhir kali Arman menyentuhnya. Sejak terakhir kali ia merasakan kehangatan yang tulus, bukan sekadar pelukan formal di depan kamera.

​Pada awalnya, Vivian meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah fase alami dari pernikahan yang telah berlangsung lama. Arman sedang sibuk. Proyek besar di luar kota, rapat larut malam, perjalanan bisnis ke luar negeri yang mendadak. Itu semua demi perusahaan, Viv.

​Tetapi, pertanyaan-pertanyaan itu—seperti paku kecil yang ditanam di benaknya—mulai tumbuh dan menusuk.

​Mengapa Arman selalu menjaga jarak fisik, bahkan di rumah?

Mengapa ia tidak lagi berbagi cerita tentang hari-harinya, melainkan hanya memberikan jawaban singkat dan datar?

Mengapa setiap kali ia menawarkan sentuhan, Arman selalu beralasan lelah atau sakit kepala?

​"Vivian, kau sudah siap?" Suara Arman yang terdengar di interkom memecah lamunannya. Suaranya formal, seperti memanggil seorang rekan kerja, bukan istrinya.

​Ia mengambil tas tangannya, menyembunyikan getaran halus di jari-jarinya. "Sudah, Arman. Aku turun sekarang."

​Selama bertahun-tahun, Vivian telah mengabaikan semua keanehan itu dengan sengaja. Mengakui Arman berselingkuh berarti mengakui kegagalan rumah tangga yang telah ia banggakan, sebuah keretakan fatal pada citra publiknya. Ia tidak siap. Sampai kemudian, ia mendengar bisikan.

​"Viv, aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan ini..." ucap Winda yang adalah seorang pengusaha butik, dimana seluruh gosip dari kalangan atas ada padanya. Saat mereka duduk bersama para sosialita laiinya.

​Vivian menyesap tehnya perlahan, menjaga agar ekspresinya tetap tenang. "Apa itu? Mengenai butik baruku?"

​"Bukan. Mengenai Arman," bisiknya. "Akhir-akhir ini, ada rumor yang beredar di kalangan stafku, terutama di bagian kolom bisnis. Mereka bilang Arman tidak hanya pergi untuk urusan perusahaan saat ke luar kota. Ada yang melihatnya... sangat akrab dengan sekretarisnya."

​Vivian meletakkan cangkir tehnya, tidak ada suara denting yang tercipta. Ia tersenyum tipis, seolah ini hanya lelucon. "Arman dan sekretaris? Tentu saja akrab. Mereka bekerja bersama setiap hari, Sayang. Jangan mendengarkan gosip murahan."

​"Aku tidak bicara tentang keakraban profesional, Viv," desak Winda. "Ini sudah menjurus ke... lebih intim. Dan, Viv, stafku melihat sesuatu yang lebih mengkhawatirkan. Sekretarisnya, Indira, kabarnya... terlihat sering memegangi perutnya. Aku dengar dia sedang mengambil cuti panjang."

​Dunia Vivian seakan terhenti. Napasnya tercekat di tenggorokan. Indira. Vivian tahu nama itu. Sekretaris Arman yang muda, efisien, dan berpenampilan biasa saja. Ia tidak pernah menganggap Indira sebagai ancaman.

​"Cutinya mendadak sekali, ya? Padahal setahuku pekerjaannya banyak," ujar Vivian, suaranya terdengar tenang, tapi di dalam hatinya bagai bom waktu yang akan meledak.

*****

​Vivian memutuskan untuk melakukan apa yang tidak pernah dilakukan seorang istri anggun: menyewa penyelidik swasta. Bukan untuk menangkap basah, melainkan untuk memastikan. Ia ingin fakta, bukan desas-desus.

​Tanpa membutuhkan waktu yang lama, semua laporan itu berada di depan matanya.

​Vivian membacanya di ruang kerjanya yang sunyi, jauh dari pengawasan Arman atau staf rumah.

​Semuanya lengkap, dari tanggal dan lokasi keberadaan Arman.

Lokasinya Ia sering terlihat check-in di sebuah unit penthouse eksklusif di Hotel The Elysium, salah satu hotel mewah di pusat kota. Bersama seorang wanita muda itu.

​Vivian menelan ludah. Ia membalik ke halaman terakhir, tempat foto-foto itu terlampir.

​Foto-foto yang sebenarnya ingin sekali disangkal olehnya. Jika Arman tidak akan melakukan perbuatan itu. Namun ini bukan hanya perselingkuhan. Ini adalah masa depan yang telah Arman bangun di belakangnya. Sebuah keluarga tandingan.

​Kemarahan Vivian tidak meledak; ia justru meresap dan menjadi es. Ia ingat setiap ciuman yang Arman tolak, setiap malam yang ia habiskan sendirian.

​Vivian menelepon Arman, suaranya tenang, nada bicaranya tentang agenda sosial mereka. "Arman, besok sore, kita akan mengadakan makan malam dengan relasi penting dari Dubai. Bisakah kau kosongkan jadwalmu dan pulang lebih awal? Ada yang perlu kita diskusikan sebelum bertemu mereka."

​Arman, yang selalu patuh pada protokol sosial, setuju tanpa curiga.

​Keesokan harinya, Arman pulang sekitar pukul lima sore. Ia mendapati Vivian sedang menunggunya di ruang keluarga. Ruangan itu didominasi oleh perabot antik mahal dan cahaya yang lembut. Vivian duduk tegak di sofa beludru, secangkir teh dingin di mejanya.

​"Kau sudah pulang," sapa Vivian dengan senyum yang sempurna dan tanpa cela.

​"Ya. Kau mau bicara apa, Viv? Cepatlah, aku lelah," jawab Arman, melempar tas kerjanya ke kursi.

​Vivian tidak menjawab. Ia hanya mengambil amplop cokelat besar dari sampingnya dan melemparkannya ke meja kaca di depan Arman.

​"Aku tahu kau lelah," kata Vivian, suaranya lembut, namun matanya memancarkan petir. "Mungkin kau lelah karena terlalu sering menghabiskan malam di The Elysium, kamar penthouse 3001."

​Senyum Arman menghilang. Wajahnya mengeras, tetapi ia masih mencoba mempertahankan kendali.

"Omong kosong apa ini, Vivian?"

​"Omong kosong yang bernama Indira Kirana," lanjut Vivian, suaranya perlahan meninggi, menembus ketenangan yang selama ini ia jaga.

"Dan omong kosong yang paling menyakitkan adalah... bayi yang sedang ia kandung."

​Arman akhirnya membuka amplop itu. Matanya terpaku pada foto-foto yang menunjukkan perut besar Indira. Rahasia itu terbongkar dengan cara yang paling kejam. Arman mendongak, matanya penuh ancaman.

​"Kau mengintai aku?"

​Vivian bangkit, berdiri di atas Arman. Keanggunan telah berubah menjadi kemarahan yang membara.

"Aku mencari suamiku, Arman. Aku mencari alasan mengapa kau meninggalkanku, mengapa kau menolak sentuhanku, mengapa kau mengubah pernikahan kita menjadi lelucon kosong. Dan sekarang, aku tahu. Aku tidak hanya menemukan selingkuhanmu, aku menemukan keluarga barumu."

​Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Kau tahu apa yang paling membuatku jijik, Arman? Bukan perselingkuhan itu. Tapi kenyataan bahwa kau berpikir aku begitu bodoh, begitu naif, hingga tidak akan pernah mengetahuinya."

"Bukan begitu maksudku, Vivian. Cobalah dengarkan alasanku."

Vivian menatap tajam lelaki dihadapannya itu, menunggu apa yang akan dia lontarkan, sebagai alasan perselingkuhannya serta pembenaran atas perbuatannya itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status