Share

Sensasi baru, mematikan

Penulis: de Banyantree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-14 11:52:45

​Vivian masih duduk terpaku di sofa ruang keluarga, dinding marmer terasa dingin memeluk kehampaannya.

"Kontrak baru," gumamnya sinis. Sebuah pernikahan yang berubah menjadi kesepakatan bisnis yang menjijikkan, di mana ia harus menjual harga dirinya demi menjaga citra sempurna yang telah ia bangun.

​Air matanya tidak menetes. Vivian tetap tidak menangis. Ia akan menari di atas api ini, tapi tidak akan membiarkan api itu menghanguskannya.

Namun, kali ini, ada yang berbeda. Ucapan Arman tadi menyentuh inti terdalamnya. Ia tidak takut miskin, tetapi ia takut terlihat bodoh. Ia takut kehilangan kendali atas kisahnya sendiri.

​Ia bangkit, kakinya membawanya menjauhi ilusi keharmonisan di ruang keluarga itu. Ia menaiki tangga marmer. Begitu tiba di kamar utama, Vivian membiarkan gaun sutra mahalnya jatuh ke lantai. Ia hanya menyisakan lingerie hitam minim, bahan renda yang tipis itu tidak memberinya kehangatan, hanya memaparkan kerapuhan yang ia coba sembunyikan.

​Vivian duduk di tepi ranjang king size yang terasa terlalu luas, seolah ruang di sebelahnya adalah jurang tak berdasar. Ia memeluk lututnya, menatap ke kegelapan di luar jendela. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena gejolak emosi yang tertahan. Ia merasa kotor dan tidak diinginkan. Lima tahun tidak disentuh, kini ia tahu alasannya. Bukan karena Arman sibuk, tapi karena ada "penyegaran" yang lebih muda.

​Di balik pintu kayu mahoni ruang kerja yang tertutup, Juno menahan napas. Suara langkah Vivian yang menjauh dan kemudian keheningan yang menyelimuti rumah itu terasa lebih memekakkan daripada pertengkaran tadi. Ia tidak bergerak. Ia tidak tahu mengapa ia harus berdiam diri di sana. Ia hanya tahu, amarah dingin yang ia rasakan terhadap ayahnya kini bercampur dengan sesuatu yang asing—sebuah desakan kuat yang aneh.

​Seolah ada kekuatan lain yang menggerakkan, kaki Juno melangkah, bukan menuju kamarnya, tapi menuju lorong kamar utama. Gelap. Hening. Hanya detak jantungnya sendiri yang ia dengar, berdebar tidak teratur.

Ia berdiri di depan pintu kamar utama. Tidak terkunci.

​Dengan hati-hati, Juno mendorong pintu itu hingga terbuka sedikit, mengeluarkan bunyi derit halus yang langsung diserap kesunyian ruangan. Ia menyelinap masuk. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya rembulan yang menerobos tirai tipis.

​Siluet Vivian terlihat jelas, duduk di tepi ranjang.

Punggungnya yang anggun dan bahunya yang telanjang, tertutup minim oleh lingerie hitam, memancarkan kerapuhan yang belum pernah dilihat Juno. Belahan rendah di dada lingerie itu seolah mengundang, memaparkan kulit halus yang selama ini hanya tertutup pakaian mahal. Juno merasakan denyutan tajam di perutnya. Rasa bersalah dan gairah yang terlarang bertabrakan, menciptakan pusaran emosi yang mematikan.

​Ia melangkah perlahan, kakinya tidak menimbulkan suara di atas karpet tebal. Hanya sekitar satu meter di belakang Vivian, Juno berhenti.

​Tangan Juno terangkat. Gerakannya terasa lambat dan penuh pertimbangan. Jemarinya yang panjang dan dingin menyentuh bahu Vivian yang mulus, mengusapnya perlahan.

​Sensasi sentuhan itu adalah sengatan listrik yang melumpuhkan Vivian. Vivian tersentak, tetapi tidak berteriak.

​Arman.

​Pikirnya seketika. Siapa lagi yang berani masuk ke kamarnya pada jam 02.00 dini hari selain suaminya? Ia mengira Arman telah kembali, mungkin merasa bersalah, mungkin ingin menenangkan dirinya.

​Vivian meraih tangan dingin di bahunya. Tangan itu terasa lembut, tidak sekasar tangan Arman. Namun, Vivian terlalu terkejut dan terlalu lama haus sentuhan untuk bertanya. Ia memejamkan mata, membiarkan pertahanannya runtuh sesaat, menikmati kehangatan sentuhan yang sudah lama absen.

​Tangan lembut itu kemudian menyelinap masuk, merangkulnya dari belakang. Juno mencondongkan tubuh, napasnya yang hangat berembus di leher belakang Vivian. Bau maskulin yang berbeda, lebih muda, lebih segar dari Arman, menyelimuti indra Vivian.

​Vivian terperangkap dalam pelukan itu. Kehangatan yang mendesak dari belakang membuatnya tak berdaya. Sensasi yang hilang lima tahun itu kini menyerang semua indranya. Ia tidak bisa melakukan perlawanan. Tubuhnya merespons secara naluriah, bersandar pada sentuhan itu, mencari kehangatan yang telah lama ia rindukan.

​Juno membalik tubuh Vivian, tangannya menangkup wajah Vivian. Vivian membuka mata, tetapi kegelapan membuatnya tidak bisa melihat wajah pria di hadapannya.

​"Arman..." bisik Vivian.

​Juno tidak menjawab. Ia hanya menunduk, bibir hangatnya bertemu dengan bibir Vivian. Ciuman itu intens, menuntut, dan penuh gairah yang terpendam. Juno menciumnya dengan rasa lapar yang brutal, sebuah pelepasan emosi yang ia tahan selama ini. Vivian merespons, lumatan itu menjadi pembalasan atas kehampaan yang ia rasakan. Mulutnya terasa hampa dari janji-janji palsu, dan kini diisi oleh rasa hangat yang memabukkan.

​Mereka bercumbu, tenggelam dalam sensasi terlarang yang meledak-ledak. Juno mendorongnya, membaringkannya di ranjang, dan dengan cepat berada di atasnya.

​Vivian mendongak, matanya perlahan mulai terbiasa dengan kegelapan. Sedikit cahaya rembulan yang menembus celah tirai kini jatuh tepat di wajah pria yang berada di atasnya.

​Jantung Vivian berhenti berdetak.

​Wajah tampan, dingin, dan kaku itu bukanlah Arman.

​Itu adalah Juno.

​Matanya yang gelap memancarkan kemarahan dan gairah yang membuat Vivian sadar akan kehancuran yang baru saja terjadi. Wajahnya yang muda dan dingin, yang biasa ia lihat dengan jarak sopan, kini berada sangat dekat, memancarkan dominasi yang berbahaya.

Mata Vivian membelalak kaget, tak menyangka.

Juno!" Vivian berteriak tertahan.

​Kaget, ngeri, dan syok. Semua emosi itu menghantamnya sekaligus.

​Dengan kekuatan yang tersisa dari keterkejutan itu, Vivian mendorong tubuh kekar Juno. Juno tidak siap dan terhuyung, jatuh ke samping tubuh Vivian di ranjang.

​Vivian segera bangkit, jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya. Ia menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya, memandang Juno yang kini berbaring di sampingnya dengan ekspresi yang tak terbaca.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status