Setelah ke luar dari kamar mandi, Bram meraih bokser dari lemari. Ia ke luar dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.Satu malam Bram tidak bisa tidur, ia membayangkan betapa gairahnya saat bercinta dengan Amel. Bahkan benda tumpunya kembali berdiri membayangkan milik Amel yang begitu indah.Padahal selama ini, Bram tidak pernah tertarik untuk bercinta dengan wanita selain istrinya sendiri yaitu Tania.Begitu juga dengan Amel, wanita cantik itu tidak bisa tidur. Walupun matanya terpejam, tetapi otaknya memikirkan apa yang baru saja terjadi.Saat waktu menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit, Amel sudah meninggalkan apartemen menuju apartemen Riska. Tetapi sebelum pergi, Amel sudah membuatkan sarapan untuk Bram dan menatanya di atas meja. "Amel." Riska terkejut saat membuka pintu dan melihat Amel.Tanpa dipersilahkan, Amel langsung menerobos masuk. Ia menarik tangan Riska, mengajaknya duduk ke sofa."Ini gawat, ini gawat," ucap Amel dengan serius."Ada apa? gawat kenapa?" Riska terlihat khaw
Waktu menunjukkan pukul 8 malam, Bram duduk di balkon kamar sambil menikmati minuman Wine. Ia berharap Tania pulang, walaupun sebenarnya ia sudah tahu, kalau istri tercintanya itu tidak akan pulang.Ting-nong.... ting-nong....Suara dering ponsel membuat Bram bangkit dari kursi, melangkah masuk ke dalam kamar untuk meraih ponselnya.*Iya Lex* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.*Bram, bawa anak-anak ke pasar malam, yuk?* Ajak dari seberang sana.*Bryan gak akan mau Bro.**Maksud aku bukan Bryan, Bram. Tapi Riska dan Amel* Alex memperjelas maksudnya.Bram sempat terdiam beberapa menit, *Ok, aku on the way*Akhirnya Bram mau, pria tampan itu bergegas mengganti pakaian. Setelah itu ia langsung meninggalkan kediaman Wijaya menuju apartemen. Sebenarnya Bram paling malas diajak ketempat ramai, tetapi daripada duduk sendiri di balkon! Lebih baik dia pergi.Tok....tok....tok....Bram terpaksa mengetuk pintu, karena kunci miliknya tertinggal dikediaman Wijaya."Om Bram," ucap Amel setel
Suara bel membangunkan Amel di pagi hari. Wanita cantik itu membuka mata dengan malas, ia sedikit terkejut melihat Bram tidur di sofa. Pria tampan itu meringkuk karena kedinginan.Amel menurunkan kedua kaki dari atas tempat tidur, kedua tangannya meraih selimut lalu menyelimuti Bram."Ya Tuhan, om Bram benar-benar sempurna. Dia tampan, tinggi, gagah, putih, hidungnya mancung lagi," ucap Amel, sambil menatap Bram tanpa berkedip."Jangan terlalu mengagumiku, nanti kamu jatuh cinta." Bram tiba-tiba membuka mulut, yang membuat Amel terkejut sekaligus malu. Ia tidak menyangka kalau pria tampan itu akan mendengar ucapannya.Amel memutar tubuhnya, bergegas ke luar dari kamar untuk membuka pintu."Bagaimana keadaan kamu Mel?" Riska langsung bertanya, setelah pintu terbuka. Ia sengaja datang pagi-pagi hanya untuk memastikan kondisi sahabatnya."Aku enggak apa-apa," jawab Amel. Saat ini keduanya sudah duduk di ruang tamu."Syukurlah, satu malam ini aku gak bisa tenang karena khawatir." Kedu
Satu hari telah berlalu, di mana saat ini waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Amel dan Riska menaiki mobil yang sama, menuju kediaman Wijaya. Sedangkan Bryan menaiki motornya sendiri. "Wao...ini rumah atau gedung?" ucap Amel. Saat ini mereka sedang memasuki gerbang istana Wijaya.Amel begitu mengagumi bangunan tinggi, berlantai tiga yang ada di hadapannya saat ini. Begitu juga dengan Riska, kedua wanita cantik itu membayangkan, berapa milliar untuk membangun rumah sebesar itu."Ayo masuk." Suara Bryan menyadarkan Amel dan Riska dari khayalan. Keduanya bergegas mengikuti Bryan masuk ke dalam rumah.Amel menelan saliva melihat furniture yang ada di sana. Sofa yang terletak di ruang tamu, pasti harganya fantastis. Begitu juga dengan televisi yang tergantung di tembok, ini pertama kalinya Amel melihat sofa semewah itu dan televisi sebesar itu."Mari, silahkan Nona." Seorang pelayan menuntun Amel dan Riska menuju ruang makan."Oh Tuhan, kak Bryan benar-benar anak konglomerat," ucap da
Bram memutar tubuh, ia menungkupkan kedua tangannya di wajah Amel. "Jangan menggodaku, karena aku tidak menyukai itu," ucapnya dengan lembut.Amel menatap sendu kedua manik mata Bram, sambil memanyunkan bibir seperti anak yang sedang merajuk."Apa kamu mengerti?" Bram kembali membuka mulut."Mengerti Om, tapi aku menyukainya," jawab Amel.Bram menghela napas sebelum membuka mulut. "Jika kamu menginginkan sesuatu! Tidak perlu bersikap murahan seperti ini," ucapnya yang membuat Amel sedikit tersinggung.Amel segera melepaskan kedua tangannya dari tubuh Bram. Akal sehatnya kembali, setelah mendengar ucapan pria tampan itu. Sementara Bram, langsung pergi meninggalkan Apartemen. Ia menghubungi Alex, memintanya datang ke kelap. "Kamu kenapa lagi Bram?" tanya Alex.Kedua pria tampan itu sudah berada di sebuah ruangan VIP. Ditemani dua orang waiters, dan seorang penari erotis."Aku enggak apa-apa," jawab Bram dengan santai."Terus, kenapa kamu memintaku datang kemari? Padahal, aku lagi di
Dua hari telah berlalu, Amel selalu mencari tahu kondisi Bram melalui Riska. Entah mengapa wanita cantik itu merasa khawatir, bahkan ia tidak bisa tidur dan tidak selera makan."Selamat malam Amel?"Tiba-tiba terdengar suara Bariton dari arah punggung. Amel memutar kepala untuk melihat, siapa yang menyebut namanya."Kak Bryan," ucap Amel dan Riska secara bersamaan.Ketiganya duduk di kafe yang terletak di samping kampus. Bryan menceritakan kondisi ayahnya, karena Amel dan Riska bertanya."Kasihan Daddy, pelayan yang harus mengurusnya," ucap Bryan."Memang Tante ke mana, ka?" tanya Riska."Mami sudah berangkat ke Singapura, soalnya besok acara peresmian perusahaan Women's Collection. Mami memiliki saham 50 persen di sana, jadi mami harus menghadirinya.""Ow." Amel dan Riska menjawab secara bersamaan."Kalau aku dan Amel, menjenguk om, boleh gak?" Akhirnya Riska memberanikan diri untuk bertanya. Sementara Amel langsung menjepit pinggul sahabatnya dengan lembut."Boleh, enggak apa-apa.
"Om sudah bangun." Amel muncul dari pintu, melangkah menuju tempat tidur sambil membawa nampan di tangannya."Apa itu?" tanya Bram."Aku membuat bubur ayam untuk Om," jawab Amel dengan lembut, "Om makan, ya? lanjutnya dengan nada membujuk."Aku tidak suka bubur," tolak Bram.Bram memang tidak menyukai bubur, pria tampan itu menyukai roti untuk sarapan di pagi hari."Tapi ini bagus untuk orang yang sedang sakit Om." Amel berusaha membujuk Bram."Tapi aku tidak menyukainya, dan aku belum pernah memakannya." Bram tetap saja menolak. Melihatnya saja, sudah membuat tenggorokannya geli."Ini enak Om, coba sedikit saja." Amel membujuk Bram, hingga pria tampan itu membuka mulut untuk menerima suapan dari Amel."Bagaimana Om, enakkan?" tanya Amel."Lumayan," sahut Bram."Kalau begitu, Om makan lagi ya? Biar cepat sembuh."Amel menyuapi Bram, hingga bubur yang ada di dalam mangkuk habis tanpa tersisa. Sebenarnya Bram masih ingin, tetapi ia malu untuk meminta tambah.Selesai menyuapi Bram, Amel
"Apa masih teras panas?" tanya Bram, sambil mengoleskan salep.Amel tidak menjawab, wanita cantik itu fokus menatap wajah tampan Bram. Matanya sama sekali tidak berkedip, bibirnya terangkat karena senyum.Bram menghentikan gerakan tangannya, ia menegakkan kepala. "Apa kamu sudah puas memandangku?" ucapnya."A...a...aku enggak apa-apa Om," jawab Amel dengan gugup."Kalau begitu, aku ingin bicara denganmu." Bram mencengkram pergelangan tangan Amel, lalu membawanya menuju kamar."Ini apa maksudnya?" tanya Bram sambil menunjuk barang-barang Amel."A...aku akan pergi hari ini,Om." "Enak saja kamu mau pergi, bukankah kamu sudah menandatangani kontrak selama 1 tahun? Bukankah kamu sudah menerima uangnya?" Bram melemparkan beberapa pertanyaan, yang membuat Amel bingung.Tentu Amel bingung! Bukankah beberapa hari yang lalu Bram ingin membatalkan kontraknya? Terus, kenapa sekarang dia bicara seperti itu? Seolah-olah Amel berbuat sesuka hati."Tapi Om....""Tidak ada tapi-tapian, selesaikan dul