Aku berdiri di depan pintu rumahku sambil melambai pada James. Menggeleng kuat untuk menghilangkan pengaruh hipnotis yang membuatku seperti kerasukan. Merasa nyaman bersama pria yang baru saja aku kenal, itu bukanlah diriku yang biasanya.
Saat menyadari kantong yang aku pegang berisi pakaian bersih yang aku kenakan semalam, aku langsung membuangnya di tong sampah. Berusaha membuang jauh-jauh kenangan buruk bersama Bobi.Aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga- bunga. Menatap diri di cermin yang terasa bukan aku. Biasanya, kaos dan celana jeans menjadi outfit andalanku sehari-hari. Melihat tubuhku dalam balutan gaun, membuatku menjadi orang yang berbeda.Ponselku berdering, Cici memanggil..."Halo, Ci," aku mengangkatnya di deringan pertama, Cici pasti khawatir."Oh syukurlah!" Cici berseru lega, "kau dari mana saja? Semalaman aku menghubungimu dan rumahmu kosong!" nah, Cici menunjukkan taringnya."Maaf, hapeku lowbat," jawabku beralasan. Saat bertemu nanti dia pasti meminta detailnya."Apa kau masuk hari ini?" tanya Cici lagi, suaranya sarat kekhawatiran."Mungkin besok, aku masih merasa sakit kepala,""Baiklah, sampai jumpa besok"Panggilan berakhir.***Keesokan paginya, setelah alarmku berbunyi untuk ke tiga kalinya, aku terbangun. Hal pertama yang ku lakukan saat sudah mengumpulkan nyawaku ialah memeriksa ponsel.Mataku membelalak seketika, saat sebuah nomor baru mengirim sebuah pesan padaku. James, dia menyebutkan namanya. Dua panggilan tidak terjawab pagi ini.Aku mendekap ponselku dengan hati yang berbunga-bunga. Tapi lalu aku berpikir. Apakah James seorang penguntit? Pertama, dia mengetahui alamat rumahku tanpa ku beritahu. Dan hari ini, dia tau nomor ponselku? Pasti dia sudah mencurinya saat aku tidak sadarkan diri.Fakta yang baru saja aku pikirkan itu tidak semerta-merta membuat perasaan bahagiaku menguap. Sebaliknya, hatiku menjadi cerah secerah hari itu untuk memulai hari yang baru tanpa pria menyebalkan seperti Bobi."Alice!" Cici memanggil saat aku baru sampai di halaman kampus.Aku menghampiri nya yang sedang duduk bersama sinta dan lainnya. Cici meminta penjelasan saat aku menghilang kemarin malam, tapi aku mengelak dengan memberinya topik pembicaraan lain.Aku tidak sengaja melihat iklan produk make up baru saat berselancar di internet kemarin. Brand itu merupakan merek favorit Cici. Jadilah aku terselamatkan dari jiwa yang ingin tau segalanya.Aku tersentak saat sebuah tangan menarik ku. Temanku memekik kaget. Pelakunya sudah jelas si brengsek Bobi."Kita harus bicara," sergah Bobi tanpa meminta persetujuan dariku. Dia menarik tanganku menuju mobilnya.Dengan berusaha keras aku melepaskan diri, lalu menampar wajahnya. Semua orang di sana melihat adegan itu dengan bibir membentuk huruf O."Kamu gila ya!" dampratku kesal. Berani sekali dia berlaku kasar terhadapku."Alice, itu hanya salah paham," kata Bobi berusaha menjelaskan, "kami sedang mendiskusikan bisnis."Aku tau Bobi akan beralasan seperti itu, karena dia sudah pernah bercerita sebelumnya tentang membuka kafe baru ditempat yang lebih strategis. Tapi aku tidak sebodoh yang dia kira.Aku menunjukkan bukti-bukti yang di dapatkan secara tidak sengaja. Entah sudah berapa kali aku melihatnya bersama tante girang. Itupun dengan tante girang yang berbeda-beda. Belum lagi, bukti chatting nya bersama wanita lain.Dari mana aku mendapatkannya? Jelas saja teman-temannya yang mengirimkan itu padaku. Dengan harapan, mereka dapat simpatiku dan mau mempermainkan aku juga. Mereka semua buaya!Bobi tidak dapat mengelak lagi, ketika aku menunjukkan beberapa video yang aku rekam sendiri. Bukan suatu hal yang bisa di edit, jika videonya saja masih asli.Dengan frustasi Bobi menarik tanganku lebih kuat. Membuatku meringis kesakitan."Lepaskan aku Bob, lepas!" aku memberontak. Namun, sekeras apapun aku berusaha, Bobi tetaplah seorang pria.Tiba-tiba saja seseorang meninju wajah Bobi. Pria bongsor, kekar yang aku kenali. Dia mengangkat Bobi melalui kerah bajunya. Bobi tampak kecil ketika berhadapan dengannya."Berani kamu sama perempuan?" James menggeram sambil menatap Bobi dengan emosi.Aku yang baru sadar pun berlari untuk melerai mereka. Orang-orang yang tadinya hanya menonton dengan santai kini sudah berdiri dengan waspada. Beberapa ada yang berlari ke kantor."James!" aku berteriak dengan putus asa. Sia-sia aku menariknya, dia kuat sekali."Ku mohon James, ayo kita pergi dari sini. Aku akan kena masalah," kataku merengek pada James.James melepaskan cengkeraman nya pada baju Bobi. Membuatnya jatuh terjerembab ke tanah yang basah. Jika saja dalam keadaan berbeda, aku mungkin sudah menertawai wajah Bobi.James menarik tanganku, dan kurasakan nyeri yang luar biasa menjalari sarafku."Aww...aw... Sakit James!" aku meringis kesakitan.James langsung memeriksa tanganku. Dia menoleh lagi kearah Bobi yang yang sudah berhasil menyelamatkan diri. Baguslah. Setidaknya, James terbebas dari masalah."Ayo, kita pergi saja dari sini," bujuk ku pada James yang sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu.James melihat wajahku yang memohon. Mataku melirik ke arah koridor , dimana beberapa temanku datang bersama rektor. Aku mencoba menarik tangan James agar cepat pergi. Tapi dia malah menggendongku.Astaga! Aku malu sekali tapi tidak bisa mengelak. Bisa kurasakan tatapan mata Cici sesaat sebelum James membawaku. Matanya bulat sempurna dengan mulut menganga, Sinta juga tidak kalah heboh mengipasi wajahnya."tanganku yang sakit, bukan kakiku tau!" aku menggerutu saat kami sudah dalam perjalanan.James membawaku ke klinik terdekat. Karena aku menolak dibawa ke rumah sakit. Menurutku itu terlalu berlebihan. Setelah ditangani dokter, tanganku hanya cedera ringan. Tapi harus di perban untuk mengurangi pembengkakan dan diberi obat anti radang non steroid.Untuk menghiburku, James membawaku ke festival makanan yang baru saja buka. Senyum sumringah ku tidak pernah pudar selama berkeliling di festival itu."Aku ingin semuanya," gumamku sambil mendamba samyang korea. Jika saja tidak dapat dikendalikan, air liurku sudah mengalir tanpa henti melihat banyaknya makanan dari seluruh mancanegara yang di suguhkan.James tertawa renyah, dengan tatapan lembut sambil merapikan rambutku, "kau boleh membeli semua yang kau mau, aku yang traktir."Tawaran James membawa angin segar untukku, tapi aku jadi semakin mencurigainya, "bagaimana kau tau aku hobi jajan, tuan James?"James mengedikkan bahunya acuh, "hanya menebak. Aku pikir wanita akan senang jika melihat makanan"Setelah memastikan tidak ada yang aneh dari sikapnya, aku memulai perburuan kuliner ku hari itu. Sungguh luar biasa, saat aku sedang menghemat uang jajanku ada yang menawarkan makanan gratis. Sungguh surga dunia bagiku.James hanya duduk menunggu di meja khusus pengunjung. Sementara aku yang berkeliaran mendatangi setiap stand. James menghampiri ku yang sedang menimbang-nimbang."Ada apa?" tanya James lembut, tangan kanannya memeluk pinggangku. Sayangnya, jantungku berdegup tidak karuan."Tidak mungkin bisa mencoba semuanya sekaligus," gumamku sedih."Kalau begitu, bungkus saja sebagian. Atau kita bisa datang lagi besok, bagaimana?"Saran James cukup bagus, "bungkus saja," timpalku memutuskan.Tidak mungkin besok bisa kembali lagi, karena aku banyak tugas, mengurus toko, belum lagi ke rumah sakit. James setuju dengan apapun keputusanku. Aku sangat berterima kasih padanya.Kami pulang ke rumahku saat hari sudah mulai sore. James tidak keberatan mampir. Dia sangat kontras dengan keadaan rumah kontrakanku yang sempit dan berantakan.Aku meminta izin bu siti, pemilik kontrakan yang rumahnya ada di belakang rumahku. Dia mengizinkan James masuk setelah aku menyogok-nya dengan dua box makanan khas korea.James memberikan KTP ku saat aku tengah memasukkan makanan yang kami beli tadi ke dalam kulkas. Aku mendongak bingung dengan tatapan bertanya."Sebenarnya kemarin aku mengambilnya dari tasmu, untuk mengetahui nama dan alamatmu. Maaf," ujar James sedikit menyesal.Aku mengambil kartu itu sambil tersenyum menenangkannya, "tidak masalah, kau hanya berniat baik.""Apakah kau menghampiri ku ke kampus untuk mengantarkan ini?" tanyaku penasaran setelah berpikir sebentar."Ya, benar,"Jawaban itu membuatku sedikit kecewa. Pupuslah sudah harapan yang terbit dihatiku."Setidaknya, aku punya alasan bagus untuk menemuimu lagi," kata James menambahkan.Aku melihatnya yang sedang duduk bersila dilantai. Wajahnya benar-benar tampan. Membuatku terpesona."Hei," tiba-tiba James mendekat sambil menyentuh bibirku dengan jarinya. Aku mematung."Bisa biarkan aku saja yang menggigiti bibirmu?" sergah James bertanya.Aku tidak sadar sedang menggigiti bibirku. Dengan sedikit menghindar, membuat James melepaskan jarinya."Maaf, tapi bibirku masih suci," jawabku sok polos.Mata James membulat terkejut. Lalu dia tersenyum mengejek, "tidak mungkin," katanya tak percaya."Terserah, tapi aku hanya akan memberikan tubuhku untuk suamiku kelak. Jadi jangan banyak berharap!" ucapku sedikit tersinggung." Kau sudah tidur?" James mengirim pesan padaku." Belum," jawabku singkat. Aku sedang memandangi foto selfie kami saat berada di festival makanan tadi. James tampak tersenyum lebar dan menawan."Aku sudah rindu padamu," kata James membalas pesanku. Aku sampai harus membaca nya dua kali untuk memastikan. Jantungku berdegup kencang, tapi kucoba menepis perasaan berbunga dalam hatiku. Rasanya semua pria sama saja. Mengingat betapa pandainya James merayuku. Apalagi James yang sudah berumur, aku yakin dia hanya ingin menjadikan aku bonekanya. Pemikiran itu membuatku tak bernafsu membalas pesannya lagi.Aku putuskan untuk tidur saja. Besok aku harus mengontrol toko pakaian kami, lalu menjenguk sahabatku yang sedang berada di rumah sakit.Dengan menutup wajah menggunakan bantal, aku mengabaikan dering dan getaran ponselku. Aku yakin james yang menelepon. ***Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena rupanya semalam itu, selain James ada juga klien ku yang memesan dress c
"Apa kau masih bersama Oliv?" James mengirim pesan melalui aplikasi chatting."Ya, kenapa? hari ini Oliv sudah di perbolehkan pulang," "Tunggu aku,""Untuk apa?" aku memelototi ponselku, aku sudah cukup malu kemarin. "Tentu saja untuk menjemput keponakanku, Alice"Dia benar juga. Oliv kan keponakannya. Jadi hal yang wajar jika dia datang menjemputnya. Aku tidak membalas pesan James lagi. Terlalu malas menanggapinya.Saat siang hari, Oliv sudah dalam persiapan untuk pulang kerumah. Jadi kami membantu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Betapa terkejutnya aku, yang untung saja tas yang aku bawa tidak terlepas dari tangan. James sudah menunggu sambil bercengkrama dengan sopir Oliv.Cici menyikutku, lalu mengedikkan dagu nya kearah James yang pura-pura tidak melihat kami. Ketika aku selesai menyusun tas dibelakang mobil, James berdiri tepat disampingku."Apa?" tanyaku masam. Dia mengedipkan matanya menggodaku."Kau kelihatan kurang tidur sayang?" James mencoba menyentuh pipiku,
James menyambut diatas kasur. Dengan sedikit enggan aku ikut bersamanya. Menutupi rasa bersemangat karena bisa berduaan dengannya semalaman."Kau sudah gila!" gerutuku setelah naik ke atas kasur. James memelukku."Mereka juga butuh istirahat," sergah James seolah sudah melakukan hal yang baik."Apa kau akan menginap malam ini?" aku bertanya dengan acuh. "Tentu saja sayang, untuk apa obat tidur itu?" sergah James mengerling nakal padaku."Baiklah," kataku pasrah. "Boleh aku katakan sesuatu?" tanya James sedikit serius. Aku bersiap."Boleh, katakan saja,""Apakah kau sudah tau kalau temanmu, Cici sudah memanipulasi keuangan toko kalian?" James bertanya lagi dengan kaku."Oh, aku sudah tau," jawabku santai dan singkat."Kenapa kau tidak menegurnya?""Entahlah James, aku takut dia tersinggung dan hubungan kami renggang," "Hei," James mengambil daguku, "dalam bisnis, tidak mengenal teman atau keluarga. Uang itu bersifat objektif,"Aku berpikir sebentar, lalu menatap James heran, "dari m
EmmphhhEmmphhhHanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa. "James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula."Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?""Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi."Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,""Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?" Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku."Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!" Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah mening
"Mau nonton film?" James bertanya sambil menyalakan tv, dia menghubungkannya ke ponsel.Saat ini, kami sudah berada di dalam apartemen James yang super mewah."Aku gerah," kataku sambil menciumi bajuku yang terasa lengket. Banyak pekerjaan yang aku lakukan sejak pagi dan belum mandi.James memandangku dengan binar cerah dimatanya, aku melihat dia berharap." Ayo, di kamarku ada bathtub besar yang bisa kita pakai berdua," kata James santai sambil naik kelantai atas, aku tidak bisa protes karena dia mendadak jadi tuli."Aku mau mandi sendirian, James!" keluhku sambil mengikutinya, langkahnya lebar sekali. Hah! Dia benar-benar jadi tuli sungguhan. Aku menghentakkan kaki dengan jengkel."Apa kau bawa baju ganti sayang?" James bertanya, aku mengabaikannya. "Tidak, mungkin bisa pakai pengering handuk?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. Satu persatu pakaian yang aku kenakan kulepaskan."Ada mesin cuci dry clean," jawabnya sambil memunguti pakaianku yang berserakan dilantai. Aku hanya
"Ya, ibuku sebenarnya tidak punya tipe menantu idaman. Dia hanya ingin melihatku bahagia, bahkan dia sering menangis memikirkan aku yang masih sendiri. Dia takut aku tidak bisa menikah karena trauma yang aku alami,""Trauma? jelaskan padaku James," aku menekan setiap kata-kataku."Sebenarnya aku anak angkat," kata james sambil memutar-mutar ujung rambutku. Aku terkejut dan memandangi matanya. Dia tidak mau melihatku."Tapi ibumu terlihat menyayangimu seperti anak kandung," kataku heran dengan fakta itu."Ya, bagiku dia malaikat. Dia mengadopsiku saat usiaku tujuh tahun. Saat itu dia masih aktif sebagai dokter spesalis anak, dan mereka menemukan aku di sebuah hotel bersama ibu kandungku yang sudah meninggal."Mataku membulat, lalu aku memeluk erat James. Mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Tak terasa mataku basah. James melanjutkan kisahnya."Kata mama, saat dia menemukanku saat itu diketahui bahwa kami turis. Ibu kandungku meninggal karena overdosis. Di tanda pengenal nya, dia
James berang mendengar aku di tuduh murahan oleh wanita murahan itu. Dia menutupiku dengan selimut, sementara dia memakai celana boxernya. James berjalan perlahan ke arah Clarisa."Apa kamu pikir kamu berharga?" wajah James menyeringai muak."Tapi... James," ucap Clarisa terbata-bata."Kita hanya sebatas teman ranjang, dan aku menyesal pernah melakukannya dengan kamu. Pergi dari sini atau perlu aku tarik kamu keluar!" "Dia masih anak ingusan James, apa dia bisa memuaskan hasrat liar kamu itu,""Diam! Dia wanita yang aku cintai. Bahkan dia jauh lebih dewasa dibanding kamu!""Hah? Cinta? Sejak kapan kamu main cinta James? Kamu itu hanya butuh pelampiasan. Dan aku bisa jadi apapun buat kamu. Bahkan aku bawa mainan baru untuk kamu,"Aku melihat Clarisa mengeluarkan cambuk kecil dari tasnya. Ujung cambuk itu ada bola kristal kecil yang menggantung bersama bulu. Dia juga mengeluarkan sepasang apa itu? Lato-lato?. Aku tidak tau apa gunanya semua itu. James mengerang frustasi. Dia melempar
"Alice!" Oliv melotot padaku saat pagi harinya aku baru pulang kerumahnya. Aku merasa sedang dimarahi ibuku. "Maafkan aku Liv, aku ketiduran dirumahku," kataku mengarang cerita agar mereka tidak curiga padaku. Hanya Cici yang tau dan dia sedang berpura-pura memarahi aku juga. "Mana camilan yang kau janjikan padaku!" Cici menagih janjiku dengan wajah datar yang dingin.Hampir saja aku melempar sepatuku ke wajahnya. Pandai sekali dia bersandiwara.Aku menunjuk ke meja makan. James memberikan aku uang untuk membeli semua belanjaan itu. Aku pergi sendiri ke supermarket. Cici bertepuk tangan dengan riang setelah melihat aku menepati janji. Oliv melotot sesaat lalu dia juga tersenyum. Sebenarnya, Oliv tidak bisa sembarang makan camilan, tapi kami kasihan padanya. Jadi aku berinisiatif membawa camilan yang sangat rendah gula dan pewarna makanan. Uang yang diberikan James cukup untuk uang bensinku selama sebulan. Aku sempat berbelanja bahan dapur supaya tidak perlu bolak-balik lagi,