Share

6. Menantu idaman

Emmphhh

Emmphhh

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa.

"James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.

Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula.

"Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?"

"Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi.

"Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,"

"Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?"

Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku.

"Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!"

Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah meninggalkanku begitu saja.

Dengan kesal aku keluar kamar mandi setelah menyimpan ponselku di dalam tas. Mengambil kantong belanjaan yang sempat terlempar di depan pintu dapur.

Sejenak aku melupakan sikap posesif James. Karena ketika memasak, semua amarahku menguap. Sinta memintaku memasak lebih banyak karena keluarga Oliv sedang berkumpul.

Tentu saja aku iyakan dengan senang hati, karena disinlah keahlianku. Memasak sudah menjadi hobiku sejak kecil. Ibuku selalu berkata, "jika orang lain bisa membuat makanan seenak itu tentu kita juga bisa membuatnya".

Sejak saat itu ku sering mengikuti kelas memasak. Mulai dari makanan khas indonesia maupun luar negeri. Beberapa resep juga aku modifikasi. Ku pikir suatu saat akan bisa menjadi modal utamaku membuka bisnis di bidang kuliner.

" Wah, harum sekali," seorang wanita paruh baya masuk kedapur sambil menghirup aroma masakanku.

Aku dengan sopan langsung menjabat tangannya berkenalan, "Alice,tante," sapaku sambil sedikit menunduk.

"Temannya Oliv? Ya ampun. Jarang -jarang loh ada gadis seperti kamu yang pinter masak," pujiannya membuatku ingin terbang.

"Oh ya, nama tante Rita. Neneknya Oliv," timpalnya memperkenalkan diri.

James duduk di kursi dapur sambil mengawasi ku dengan mata elangnya. Aku hanya memutar bola mataku jengah. Dia berlebihan sekali.

"Nah James ini anak tante yang bungsu. Kalian udah saling kenal?" tanyanya padaku.

"Sudah ma," James yang menjawabnya.

"Emm bagus kalau begitu. Ini loh menantu idaman mama nak. Kalau kamu suka sama Alice. Mama langsung memberikan restu. Sudah cantik, pinter masak, sopan lagi. Pokoknya mama langsung klop sama dia," kata tante Rita terus memuji.

Wajahku merah padam. Dengan kikuk melanjutkan acara memasakku yang sudah hampir selesai. Tante Rita membantuku menghidangkan makanan. Tak lupa dia mencicipi semua hasil karya ku.

"Oh my god!" serunya dengan heboh, membuat James tersenyum geli, "ini semuanya enak -enak!"

Kami semua berkumpul di meja makan. Ada om Hans, papanya James. Tante Rita, dan beberapa kerabat Oliv lainnya. Aku duduk tepat bersebelahan dengan James.

Kami makan sambil bercengkrama. Selama itu pula, James terus menggodaku. Tangannya yang nakal terus saja meraba pahaku yang terekspos karena aku mengganti baju dengan gaun.

Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Matanya terus melihat kearah piringnya, atau melihat ke arah orang yang sedang berbicara. Dia terus mengabaikan ku secara vokal tapi menggodaku secara fisik. Sangat keterlaluan.

Oliv banyak tertawa selama kunjungan keluarganya. Karena dia sering sekali ditinggal sendirian. Nenek dan kakeknya terlihat sangat menyayangi Oliv, tapi mereka juga sibuk.

Tante Rita masih bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit ternama, dan dia menjabat sebagai direktur disana. Sedangkan Hans, masih aktif mengelola bisnisnya yang sudah dia bangun selama puluhan tahun.

Tapi yang aku baru ketahui adalah,m, ketiga putra-nya ternyata membangun bisnis mereka sendiri. Tanpa bantuan modal dari sang ayah. Didikan Hans begitu disiplin sehingga anak-anaknya menjadi mandiri dan sukses.

Aku semakin menatap James dengan kekaguman. Karena dari mereka bertiga, hanya dia yang bisa melampaui pencapaian Hans.

Saat menjelang sore, keluarga Oliv berpamitan. Aku membungkus beberapa cake dan roti panggang buatanku selama berkutat di dapur bersama tante Rita. Dia ternyata tidak begitu pandai memasak.

Hanya James yang tinggal, karena dia tidak tinggal serumah dengan orang tuanya.

James menatapku penuh ketajaman. Dan aku membalasnya dengan melotot. Masih merasa jengkel karena dia bersikap posesif padaku.

"Kau marah?" tanyanya memecah kesunyian.

Bisa kurasakan tatapan kami bagaikan perang mata laser.

"Tidak!" jawabku singkat.

"Jangan membuatku gila, nona muda!" James langsung mendorongku ke dinding dapur dan menekan tubuhku. Bibir kami hampir bertemu, tapi James tidak mau menciumku lebih dulu.

"Lalu kenapa wajahmu terlihat jelek sekali? Calon menantu idaman?"

"Berhentilah menggodaku dan pulanglah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," sergahku berusaha melepaskan diri dari tubuhnya.

"Kau mengusirku? Kau berani?" James menaikkan satu alisnya. Dan membuatku curiga.

Dengan secepat kilat James membopongku keluar rumah Oliv melalui pintu dapur. Cici yang hendak masuk ke dapur menutup matanya dengan tangan pura-pura tidak melihat kami.

"Lepaskan aku James!" aku memukuli pundaknya yang kekar. Dia mengangkatku seperti membawa bantal saja.

James langsung memasukkan aku kedalam mobilnya. Dan memasangkan sabuk pengaman. Setelah mengerling nakal, dia duduk di kursi kemudi. Aku hanya bisa pasrah dalam sandranya.

"Mau kemana?" tanyaku setelah bisa menguasai diri. Nafasku cukup terengah-engah tadi.

"Ke apartemenku. Aku tidak tahan lagi terhadapmu,"

"Tidak tahan?"

"Kau membuatku gila, Alice. Rasanya aku ingin sekali membawamu pergi jauh yang hanya ada kota berdua. Aku tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Ini pertama kalinya denganmu,"

"Benarkah?" tanyaku terkejut sekaligus bahagia.

ponselku berdering. Cici meminta panggilan video.

"hei," kataku kikuk saat wajah Cici memenuhi layar Ponselku.

Cici mendelik, "kalian mau kemana? kalau Oliv nanya gimana?"

"emm mau keluar aja belum tau mau kemana," jawabku ragu sambil menggigit bibir bawahku.

James menepikan mobil dan berbicara pada Cici. Dia mengeluarkan jurus mautnya tentang buah tangan dan lain sebagainya. Dan selalu berhasil pada Cici.

Saat ponselku kembali, wajah Cici sudah sumringah. diiringi Sinta yang berbisik.

"Jangan lupa janji kalian ya! soal Oliv, biar kami yang urus,"

Aku mengangguk meyakinkan mereka. Setelah negosiasi yang menyenangkan itu, Cici memutus sambungannya.

Aku dan James hanya bisa tertawa lega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status