“Situasinya tidak semudah itu, Pak. Ini bukan soal bayaran yang saya inginkan, tapi memang masalah ini sudah terlalu rumit. Kasus Anda sudah jadi sorotan publik. Nama Anda sudah hancur di dunia bisnis. Hampir semua pelaku usaha dan media percaya Anda benar-benar dalang di balik pembakaran itu,” ucap pengacara itu dengan wajah serius, mencoba menahan diri agar tidak ikut terseret emosi.Raka hanya duduk dengan tangan terlipat di atas meja besi di ruangan khusus, tatapannya penuh kesal. Kedua tangannya diborgol.“Pokoknya aku tidak mau tahu. Lakukan apa pun untuk segera membebaskanku dari sini. Cari kambing hitam kalau perlu. Aku tidak peduli caranya, yang penting aku keluar dari tempat terkutuk ini,” titahnya, matanya tajam menatap sang pengacara seolah perintahnya adalah hukum yang tak bisa diganggu gugat.“Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Anda,” jawab pengacara itu singkat. Dari suaranya terdengar sedang menahan tekanan. Ia tahu Raka bukan orang yang mau mendengar ka
“Kau jangan bicara sembarangan, Maria. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Raka Aditama. Kami tidak merencanakan apa pun,” kata Miranda ketus. Tatapannya menusuk, rahangnya mengeras. Dia berdiri tegap seperti ingin menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong.Maria malah menyilangkan tangan di dada sambil menatap Miranda seolah dia baru saja mendengar lelucon basi. “Oh, gitu?” ujarnya santai. “Kalau gitu, coba jelasin ini.”Dia mengeluarkan ponselnya, menekan layar, dan seketika terdengar suara rekaman.Suara Raka Aditama, jelas sekali, sedang berbicara dengan Miranda. Intonasinya menunjukkan mereka membicarakan sesuatu yang tidak layak dilakukan seorang ibu pada bisnis putranya sendiri—tentang kerja sama yang melibatkan kebakaran gudang Atmaja Group. Sejahat itulah Miranda rela menghancurkan bisnis putranya demi menjauhkan Darren dari Nayla.Wajah Miranda langsung berubah. Matanya membulat, tubuhnya sedikit mundur, seperti tidak percaya apa yang dia dengar. Itu suara dirinya
Setelah tiba di kantor Atmaja Group lebih awal dari biasanya, Darren masuk masih memakai maskernya. Bayu mengikutinya sambil membawa beberapa berkas tebal yang sudah dipersiapkan sejak semalam. Di wajah Darren, tidak ada sedikit pun ekspresi santai. Semuanya kaku dan serius. Para staf yang mereka lewati hanya berani menunduk, menyapa seadanya. Situasi di perusahaan memang sedang memanas, dan semua orang tahu bahwa rapat dewan pagi ini akan menentukan langkah besar selanjutnya.Lift berhenti di lantai yang dituju. Darren melangkah keluar lebih dulu, sepatu kulitnya menjejak lantai marmer dengan suara yang terdengar jelas di lorong sepi. Pintu ruang rapat sudah terbuka, menunggu. Semua anggota dewan direksi sudah hadir, duduk rapi di kursi masing-masing. Beberapa dari mereka tampak tegang, menunggu kabar yang akan disampaikan.“Selamat pagi,” ucap Darren singkat sambil duduk di kursi depan menghadap seluruh peserta rapat. Bayu menaruh map di hadapannya, lalu duduk di dekat Darren, siap
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian kerja, Darren keluar dari kamar tamu dengan rambut yang masih sedikit basah. Kemeja biru tua sudah rapi di badannya, dasi hitam terikat sempurna, dan jas tergantung di lengannya. Dia melangkah menuju ruang depan, tapi langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan di halaman.Di bangku taman depan, Marcella dan Bayu duduk bersebelahan sambil tertawa ngakak. Bukan sekadar senyum tipis, tapi tawa lepas yang sampai bikin tubuh mereka sedikit membungkuk. Darren langsung mengerutkan dahi dan berdecak kesal. Sangat kesal.“Ck… pasti aku yang diomongin. Awas aja kalian,” gumamnya dalam hati. Dia yakin betul, kalau dua orang itu ketawa bareng, pasti topiknya dirinya. Marcella benar-benar seperti wartawan, cepat sekali dia menyampaikan kabar tentang kejadian di rumah ini, pikir Darren.Dia memalingkan wajah, menoleh ke dapur. Dari sana, aroma sandwich tuna menyeruak, langsung menusuk hidungnya. Darren otomatis tersenyum kecil, percaya diri kalau itu d
Darren menghela napas panjang sambil menatap tangga. Kepalanya masih terasa berat, tapi dia pikir tidur di kamarnya sebentar bisa sedikit membantu. Baru saja kakinya mau menginjak anak tangga pertama, suara Nayla terdengar memotong langkahnya.“Mau ke mana kamu?” suaranya terdengar sangat tegas, tanpa embel-embel “Mas” seperti biasanya. Darren langsung tahu, ini tanda bahaya. Dan dia sangat yakin kalau istrinya saat ini sedang marah.“Mau ke kamar, Sayang,” jawab Darren, mencoba tersenyum.“Enggak ada. Kamu tidur di lantai bawah. Semua baju-bajumu sudah aku pindahkan ke kamar dekat ruang keluarga. Sekarang kamu tidur di sana atau kembali ke apartemenmu.” Nayla tidak main-main dengan ucapannya. Ia benar-benar sedang marah pada suaminya. Dan yang membuat Nayla kesal, Darren diantar pulang oleh seorang wanita cantik dan berpenampilan sangat seksi. Wanita itu bilang hanya membantunya untuk sampai di rumah. Meskipun Nayla masih bingung bagaimana perempuan itu bisa mengetahui alamat rumah
Darren mengerjap pelan, merasa seluruh badannya seperti baru digilas sesuatu yang berat. Kepala berdenyut hebat, seperti ada marching band yang latihan di dalam otaknya. Begitu mencoba menggerakkan rahang, dia sadar ada yang nggak beres — rasanya kaku, kebas, dan pipinya perih seperti habis digesek amplas.Dia memaksa membuka mata lebih lebar, tapi pemandangan pertama yang muncul bukanlah lampu rumah sakit atau wajah dokter. Semua yang dia lihat putih memang, tapi bukan putih steril rumah sakit — lebih ke plafon rumah yang lampunya terlalu terang. Saat kesadaran mulai terkumpul, dia sadar kalau posisinya sekarang adalah… terkapar di sofa ruang tamu.Suara cekikikan terdengar jelas. Darren kenal betul suara itu. Cuma ada satu orang yang berani ketawa lepas di hadapannya tanpa takut dimakan hidup-hidup — Marcella. Dia mendongak sedikit, mencoba mencari sumber suara. Benar saja, Marcella duduk manis di meja makan, sementara Nayla mondar-mandir di sekitarnya.“Aku di mana?” tanyanya lingl