“Ma, jangan gegabah begini ambil keputusan. Miranda janji akan carikan Darren calon istri yang setara dengan keluarga kita. Miranda nggak mau punya menantu dengan latar belakang nggak jelas, apalagi cuma hidup di panti asuhan,” ucap Mamanya Darren dengan nada tinggi. Wajahnya memerah karena emosi yang ditahannya sejak tadi.
Tak pernah terbayangkan sedikitpun kalau dia akan memiliki calon menantu yang asal-usulnya tidak jelas. Mau ditaruh di mana wajahnya bila teman-teman sosialitanya mengetahui Ia memiliki menantu yang dibesarkan di panti asuhan. Miranda belum sanggup menahan malu. Tapi sayangnya ucapan itu langsung dibalas dengan tatapan tajam dari Nyonya Amira. Wanita paruh baya itu memandang anak semata wayangnya tanpa rasa takut sama sekali, lalu berkata dengan kalimat yang menohok, “Sementara kau sibuk banget mikirin nama baik keluarga, coba tanya dirimu sendiri—apa yang sudah kau lakukan di masa lalu? Mama dan Papa bahkan sudah jelas-jelas melarangmu menikahi sopirmu sendiri, tapi apa? Kau tetap menikah sama Andika, kan, Miranda! Sekarang, giliran anakmu mau menikah sama perempuan yang dia pilih, kau malah mau batalkan semuanya cuma karena asal-usulnya yang tidak jelas? Apa kau sudah gila? Atau jangan-jangan, kau benar-benar ingin Mama serahkan semua harta keluarga Atmaja ke dinas sosial?” bentaknya penuh emosi. Dia sudah muak dengan sikap Putri semata wayangnya ini. Dia tidak akan membiarkan sang Putri bersikap arogan lagi. “Jangan ungkit masa lalu, Ma. Ini beda. Mas Andika punya keluarga, sementara dia hidup di panti asuhan. Itu jelas berbeda, mama,” sanggah Mamanya Darren cepat. Nyonya Amira menggeleng. Sang anak hanya mampu melihat kesalahan orang lain, kejelekan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bercermin. “Beda dari mana? Semuanya sama. Dan sekarang Mama, dari hati yang paling dalam, menyetujui pilihan Darren. Mama lihat Nayla anaknya sangat baik. Dia manis, cantik, masih muda, dan Mama yakin dia juga pintar. Darren pasti melihat sesuatu dalam dirinya. Kita seharusnya menghargai itu,” ucap Neneknya Darren sambil menatap Nayla dengan senyum hangat. Semakin sang Mama membela wanita kampung di hadapannya ini, semakin membuat Miranda naik darah. Sementara itu, wajah Nayla mulai pucat. Ini bukan pernikahan yang ia inginkan. Menikah dengan pria yang bahkan tidak ia kenal sebelumnya, terlebih sekarang harus menghadapi penolakan dari kedua orang tua Darren, jelas membuatnya makin bingung. ‘Harusnya Pak Darren ikut aja sama keputusan Mamanya, bukan malah diam begini,’ batin Nayla kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. “Terserah Mama lah. Miranda males banget ngomong sama Mama. Lihat saja nanti, Mama pasti nyesel sama keputusan ini,” ucap Miranda penuh amarah. Dengan kesal, ia menarik tangan suaminya dan mengajaknya pergi dari restoran. “Pergilah. Kami nggak butuh restumu,” sahut Nyonya Amira dingin. Setelah kepergian Miranda, ia pun mengalihkan fokusnya ke Nayla yang sejak tadi hanya duduk diam dan menunduk. “Terima kasih ya, Nayla. Sudah mau menikah sama cucu nenek. Dia sebenarnya baik, cuma ya itu… ngomongnya irit. Tapi Nenek yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya sambil menyentuh tangan Nayla lembut. Nayla hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum hambar. Tak ada kata yang keluar, karena perasaannya masih campur aduk. Antara sedih, bingung, dan pasrah. “Nenek akan urus semua keperluan pernikahan kalian. Dan minggu depan, kalian harus sah jadi suami istri. Setelah itu, seluruh harta keluarga Atmaja akan resmi jadi atas nama Darren,” kata sang nenek tanpa keraguan sedikitpun. “Baik, Nek,” jawab Darren singkat. Neneknya tersenyum puas. “Kalau begitu, besok Nenek mau shopping bareng calon cucu menantu Nenek. Kasih alamat tinggalmu ya, biar sopir bisa menjemput ke sana,” tambah Nyonya Amira sambil melirik Nayla. “Baik, Nek,” Darren yang menjawab. Mereka pun melanjutkan makan malam hanya bertiga saja, tanpa Miranda dan suaminya. Tapi suasana tetap terasa kikuk. Nayla masih tidak nyaman. Perasaan tidak enak itu terus mengganggu pikirannya. Ia harus menikah dengan pria asing, di saat luka karena dikhianati kekasihnya masih menganga, perih dan sakit, saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau Bima berhubungan badan dengan pembantunya. Rasa sakit itu mungkin akan bertahan lama. Tapi Nayla sadar, ia sudah terlalu jauh melangkah dan tak bisa mundur lagi. Pilihannya sekarang hanya satu—maju dan hadapi semuanya. Setelah makan malam selesai, Darren yang mengantar Nayla kembali ke hotel. Kali ini, Darren sendiri yang menyetir tanpa bantuan sopir. Sesampainya di lobi hotel, Darren memarkirkan mobil tepat di depan pintu masuk. Nayla buru-buru membuka pintu dan turun dari mobil, tetapi langkahnya terhenti saat Darren ikut turun dan mengekor di belakangnya. “Kamu mau ke mana?” tanya Nayla sambil menatap Darren heran. “Aku udah sampai, bisa ke kamar sendiri kok.” “Ya, aku juga mau ke kamar,” jawab Darren santai, lalu berjalan lebih dulu ke dalam hotel tanpa menoleh lagi. Nayla hanya bisa memelototi punggung pria itu dengan kesal. Bener-bener bikin emosi! Namun, setelah sampai di dalam kamar, Nayla justru kesandung sepatu miliknya yang sempat ia taruh sembarang di dekat pintu. Alhasil ia hampir terjatuh kalau saja Darren tidak buru-buru menangkap tubuhnya. Tubuh Nayla mendarat di pelukan Darren. Wajah mereka sangat dekat, bahkan Nayla bisa merasakan hembusan napas pria di hadapannya. Darren memiringkan wajahnya, menyentuh lembut bibir Nayla dengan bibirnya. Jantung keduanya berdetak lebih kencang dari biasanya. “Manis sekali bibir ini,” Darren membantin.Setibanya di Bandara Changi, Singapura, Darren dan Nayla langsung disambut oleh seorang pria berpakaian serba hitam yang sudah menunggu mereka di pintu kedatangan dengan papan nama bertuliskan “Mr. & Mrs. Atmaja.” Tanpa banyak bicara, pria itu mempersilakan mereka mengikuti ke arah parkiran. Sebuah mobil mewah jenis MPV dengan interior elegan dan kabin yang nyaman telah siap mengantar mereka.Perjalanan dari bandara menuju pelabuhan memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Sepanjang perjalanan, Nayla lebih banyak diam, matanya sibuk memandangi pemandangan kota Singapura yang begitu rapi dan bersih. Sesekali, matanya bertemu dengan pantulan Darren yang duduk di sebelahnya, sama-sama diam namun sesekali mencuri pandang ke arah Nayla.Begitu tiba di pelabuhan, mata Nayla langsung membelalak tak percaya. Di depannya, sebuah kapal pesiar raksasa tengah bersandar megah. Warnanya putih mengilap dengan beberapa tingkat seperti hotel bintang lima terapung. Nama kapal tersebut tertera de
“Maaf saya mengganggu,” ucap salah satu pramugari.“Tidak apa-apa. Istri saya masih kurang puas tadi malam.”Jawaban Darren membuat Nayla melotot. Apalagi dia pramugari itu tertawa kecil. Nayla buru-buru pindah di sebelah Darren.Lalu terdengar suara kalau pesawat yang mereka tumpangi akan segera menuju Bandara di Singapura. Pramugari memastikan kalau sabuk pengaman sudah terpasang. Mereka juga menyiapkan sarapan untuk pengantin baru itu.Setelah beberapa saat diam, suara Darren kembali terdengar."Setelah kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan atau apa yang akan kamu kerjakan?" tanya Darren. Saat ini pesawat sudah berada di ketinggian ribuan kaki. Sudah beberapa waktu mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan itu datang begitu saja, memecah keheningan dan membuat Nayla yang duduk di sebelahnya menoleh cepat."Bahkan saya baru sehari menjadi istri Pak Darren, Bapak sudah menanyakan apa yang akan saya lakukan setelah bercerai. Mana mungkin saya bisa memik
“Kamu ini, Miranda! Mulutmu itu lho, nggak pernah bisa dikontrol. Mama kadang nggak percaya kalau Mama benar-benar ngelahirin kamu. Apa jangan-jangan kamu tertukar di rumah sakit waktu masih bayi?” ujar Nyonya Amira sambil menatap putrinya yang duduk di seberang meja makan.Bayu yang duduk tak jauh dari mereka menahan senyum. Tangannya meraih cangkir kopi, pura-pura menyeruput agar tidak terdengar suara cekikikannya. Bagaimanapun, wajah Miranda dan Nyonya Amira memang sangat mirip. Pipinya, bentuk hidungnya, bahkan sorot mata mereka tak bisa bohong—bagai pinang dibelah dua.Miranda mendengus, wajahnya merengut. Ia menaruh garpunya dengan suara cukup keras ke atas piring, menandakan kesal yang mulai memuncak. “Mama tuh yang terlalu manjain Darren. Perempuan itu sengaja banget bujuk Darren biar mau nikah sama dia. Padahal Miranda tahu betul, wanita itu sudah tunangan dan sebentar lagi mau nikah. Tapi dia malah milih Darren—jelas karena Darren lebih kaya. Mama jangan tutup mata, perempu
“Nek, kerjaan Darren sangat banyak di kantor. Jadi Darren rasa, kami tak membutuhkan bulan madu untuk saat ini. Mungkin nanti, ketika pekerjaan Darren sudah tidak terlalu banyak jelang akhir tahun,” ucap pria tampan itu sambil menyodorkan kembali tiket bulan madu di atas kapal pesiar yang sebelumnya diberikan sang nenek.Wajah wanita berusia senja itu tetap tersenyum lembut. Tak terlihat sama sekali kalau beliau sedang marah atas penolakan sang cucu. Karena nyonya Amira yakin, dirinya yang akan selalu menjadi pemenang. Nyonya Amira melirik Bayu yang duduk di samping Papanya Darren.“Apa gunanya kamu punya asisten, Sayang, kalau tidak bisa mengambil alih pekerjaanmu? Serahkan saja semua pada Bayu. Nenek yakin, dia pasti bisa meng-handle semuanya,” balas sang nenek tenang, tatapannya lembut mengarah ke cucu laki-laki kesayangannya, seolah tak ingin menerima penolakan.“Kau bisa diandalkan kan, Bayu?” Nyonya Amira bertanya pada asisten sang cucu.Dengan jawaban mantap, Bayu pun berkata,
Tak butuh waktu lama, Darren keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambutnya masih setengah basah, dan aroma sabun masih menempel di kulitnya."Sana mandi. Bau tahu," ucapnya datar.Pandangan matanya langsung tertuju ke arah sofa. Nayla sudah duduk di sana dengan pakaian lengkap. Di sampingnya, bantal dan selimut sudah tertata. Sepertinya, perempuan itu memilih tidur di sofa daripada kembali ke ranjang yang baru saja mereka pakai bersama.Wajah Nayla tampak pucat. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Tanpa menanggapi ucapan Darren, dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Langkahnya pelan, sedikit tertahan. Sesekali dia meringis, menahan rasa sakit yang masih terasa di tubuh bagian bawah.Darren memperhatikan langkahnya, lalu pandangannya beralih ke ranjang. Ada noda merah yang masih terlihat jelas di seprai putih. Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan."Jadi Bima belum sempat menyentuhnya," gumamnya sambil mengangguk kecil. “Atau jangan-jang
Karena sudah tak tahan, Darren pun akhirnya melakukan penyatuan. Hentakan pertama, tidak berhasil menembus gawang Nayla. Bahkan dia sampai mencoba sebanyak 5 kali. Dan percobaan ke-6, Darren berhasil menjebol selaput darah sang istri.“Sakiiiiiiiit,” pekik Nayla. Matanya terpejam, dia menggigit bantal yang ada di sampingnya. Air mata sudah keluar dari kedua sudut matanya. Tubuhnya terasa terbelah ketika Darren berhasil melakukan tugasnya.Sementara itu, Darren shock bukan main. Wanita yang disangkanya tidak perawan, ternyata masih perawan. “Ternyata dia masih perawan,” gumam Darren. Jantungnya berdetak dengan kencang, meski ini adalah haknya sebagai seorang suami, namun, tetap saja niat awalnya dia ingin hubungan mereka tanpa hubungan intim seperti ini. Pengingat 2 tahun lagi mereka akan berpisah. Setelah Nayla mulai tenang. Darren yang tak menyia-nyiakan waktunya. Dia menghentak Nayla dengan gerakan maju mundur di atas tubuh wanita itu. Yang tersisa adalah kenikmatan yang tak bisa