"Apa Pak Darren menyuruhmu datang ke sini hanya untuk menghinaku?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nayla tanpa menoleh sedikit pun ke arah Siska. Suaranya datar dan penuh kekecewaan. Dia melangkah keluar dari kamar hotel tanpa menunggu jawaban. Pintu kamar ditutup, lalu dia berjalan menuju lobi, mendahului Siska yang masih sibuk merapikan tas tangannya. Nayla bisa mendengar umpatan kesal dari mulut perempuan itu. High heels sekitar dua belas sentimeter yang dipakai Siska berdetak nyaring di lantai koridor, berusaha mengejar langkah Nayla yang hanya memakai sepatu flat. Perbedaan alas kaki membuat Nayla berjalan lebih cepat dan meninggalkan Siska di belakang. Mereka masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan lobi hotel, lalu meluncur menuju sebuah pusat perbelanjaan yang cukup elit. Tak lama, mereka tiba di sebuah salon kecantikan dengan desain interior modern dan langganan para artis papan atas. Namun tentu saja Nayla tidak mengetahuinya. Karena dia belum pernah menginjakkan kaki di salon kecantikan. Siska langsung menghampiri pemilik salon, seorang pria bertubuh ramping dan berperawakan seperti seorang wanita bernama Merry. Tatapannya ramah, dan gerak tubuhnya luwes saat menyambut mereka, membuat Nayla semakin risih. "Apa yang bisa kubantu, baby?" tanya Merry pada Siska sambil tersenyum hangat. "Tolong hempaskan semua kuman di tubuh wanita ini. Buat dia tampil cantik. Manjakan dia dengan semua fasilitas yang ada di salon ini. Nanti akan ada orang yang mengantar gaun untuknya. Dan sekitar jam lima sore, aku akan jemput dia lagi. Pastikan saat itu penampilannya sudah rapi." Mata Nayla membulat. "Sampai jam lima sore? Aku harus apa saja di sini?" "Ya tidur," jawab Siska, ketus tanpa menoleh. Merry hanya terkekeh. Suaranya renyah, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi yang canggung. "Kau tenang saja, aku akan membuatmu tampil secantik bidadari," ujarnya sambil mencolek dagu Nayla pelan. Namun Nayla buru-buru menarik diri untuk menjauh, canggung karena ini kali pertama dia berada di tempat seperti ini, dan berhadapan dengan pria bertulang lunak. Siska langsung berpamitan dan meninggalkan mereka, kembali ke kantor tanpa menunggu respons apa pun. “Ayo Baby. Aku akan memanjakan mu seperti seorang ratu,” ujar Merry. Nayla bergidik ngeri. Darren berdiri mematung di depan restoran saat mobil berhenti di pelataran. Matanya tertuju pada sosok yang turun dari dalamnya. Nayla, wanita muda yang ia paksa menjadi istri kontraknya. Untuk beberapa detik, dia tidak bisa berkata apa-apa. Gaun merah marun yang membingkai tubuh Nayla tampak pas, riasan wajah natural, dan rambut panjang yang dibiarkan terurai semakin membuat Nayla terlihat seperti wanita berkelas. Perban putih yang menempel di dahi Nayla memang masih terlihat jelas, namun anehnya, itu tidak mengurangi pesonanya sedikit pun. Justru membuat penampilannya terlihat sangat sempurna. Cantik tanpa make up berlebihan. Darren sempat lupa menarik napas. Jantungnya berdetak terlalu cepat, dan otaknya masih berusaha memproses bahwa wanita di depannya ini adalah orang yang sama dengan yang kemarin menabrak mobilnya. Dia baru sadar Nayla sudah berdiri tepat di hadapannya, menatap tanpa ekspresi. Mungkin bingung kenapa pria itu hanya diam saja. "Apa kita akan terus-terusan berdiri di sini, Pak?" tanya Nayla. Suara lembut itu membuat Darren tersentak. Dia buru-buru berdehem, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak masuk akal. "I-iya. Ayo, kita masuk," ucapnya sambil memberi isyarat. Mereka berjalan berdampingan memasuki restoran. Langkah Nayla tampak sedikit terburu-buru mengimbangi langkah panjang Darren, meski sepatu high heels yang dikenakannya mungkin belum sepenuhnya nyaman. Lift membawa mereka ke lantai paling atas. Meja panjang yang sudah direservasi oleh Siska terlihat dari kejauhan, lengkap dengan dekorasi tatanan yang elegan. Tidak ada pengunjung lain di lantai 3 restoran itu, karena Darren memang menyewanya secara penuh untuk pertemuan malam ini. Setelah duduk, Darren bertanya, “apa kamu sudah mengerti dengan maksud pesanku?” “Sudah Pak,” jawab Nayla, melihat Darren melotot ke arahnya, Nayla meralat ucapannya, “sudah, sayang.” Setelah berkata demikian, Nayla mendengus karena geli harus memanggil Darren dengan sebutan sayang di hadapan orang lain. Terlebih, sebentar lagi kedua orang tua Darren dan sang nenek akan tiba di sana. Dan benar saja dugaannya, kedua orang tuanya datang bersama seorang wanita berusia senja yang sangat Darren sayangi berjalan mendekat ke arah meja. Nayla dan pria itu berdiri menyambut kedua orang tua Darren dan neneknya. “Ma, Pa, Nek, perkenalkan, ini Nayla, calon istri Darren.” Nayla mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kedua orang tua Darren dan juga neneknya. Namun yang memberi sambutan hangat hanya neneknya Darren. “Cantik sekali calon cucu menantuku,” pujinya, disusul dengan mengusap lembut lengan Nayla. Sementara mamanya Darren menatap tak suka ke arah Nayla. Mereka kembali duduk. Darren dan Nayla duduk berdampingan dan berhadapan dengan keluarganya Darren. Demi apa pun, Nayla sangat gugup. “Siapa nama besar keluargamu?” tanya mamanya Darren. “Miranda,” tegur neneknya Darren. Mamanya Darren memutar bola mata malas. “Kita harus tahu asal-usulnya, Ma. Jangan sembarangan memilih calon mantu,” jawabnya. Lalu, mamanya Darren kembali menatap Nayla, membuat Nayla menjadi gugup. “Sa–saya tidak tahu siapa keluarga saya. Sa–saya hidup di panti asuhan.” “Apaaaaaaa? Di panti asuhan?” Kedua orang tua Darren terkejut bukan main. Sang mama menatap ke arah Darren. “Apa kau sudah gila, Darren? Seorang putra mahkota, pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Atmaja, akan menikahi seorang perempuan yang asal-usulnya tidak jelas. Hidup di panti asuhan pula! Mau ditaruh di mana muka keluarga kita, Darren?!” serunya kesal. Tak pernah terbayangkan sedikit pun dalam benaknya akan memiliki menantu dari kalangan bawah. Sebetulnya, kedua orang tuanya sudah menyiapkan calon istri untuk Darren, tapi sang anak selalu menolak perjodohan itu. Dan sekarang, datang membawa wanita yang asal-usulnya tidak jelas. “Rencana pernikahan ini dibatalkan! Mama, Papa, dan Nenek tak sanggup menahan malu atas wanita pilihanmu ini, Darren!” serunya. Neneknya Darren membuka suara. “Apa bedanya denganmu? Seorang wanita berkelas lebih memilih menikahi supir pribadinya,” sindir neneknya Darren. Suasana di sana mendadak menjadi tegang. Kedua tangan Nayla saling meremas di bawah meja. Di satu sisi, ia bahagia karena kehadirannya ditolak oleh mamanya Darren. Namun, di sisi lain, dia tak terima direndahkan hanya karena asal-usulnya yang tidak jelas. “Tapi, Ma, perempuan macam ini hanya mengincar harta keluarga kita! Pokoknya, aku tidak merestui Darren menikahi gembel ini!” serunya. Saat mamanya Darren berdiri dari duduknya dan hendak mengajak suami serta mamanya pergi, justru neneknya Darren memilih untuk tetap diam di tempat. “Nenek merestui hubungan kalian. Pernikahannya akan dilaksanakan minggu depan. Nenek tidak peduli dari mana asal-usul calon istrimu. Yang penting, kau menikah, hidup bahagia, serta bisa memberikan Nenek cucu yang banyak.” “Tapi, Ma—” ucapan mamanya Darren terjeda. “Ini sudah menjadi keputusan Mama. Mama yang punya hartanya. Waktu Darren hanya tinggal satu bulan lagi. Bila dalam satu bulan dia belum juga menikah, maka seluruh harta keluarga Atmaja akan Mama serahkan ke dinas sosial.” “Tapi dia gembel, Ma,” ucap mamanya Darren. Neneknya Darren tersenyum. “Tapi Mama menyukainya.” Jawaban itu membuat darah mamanya Darren mendidih.Lama tak mendapat balasan dari kekasihnya, Marcella akhirnya menghela napas panjang. Jantungnya sempat berdebar-debar menunggu kabar, tetapi saat layar ponselnya tetap hening, dia mulai paham. Ia tidak ingin memaksa Bayu menjawab di tengah situasi yang pasti sedang rumit. Dengan hati-hati, dia mengetik pesan lagi untuk kekasihnya.“Di sana pasti lagi rame ya. Ya sudah lain kali saja aku nelepon ya. Sekarang aku mau pergi ke rumah Nayla, ada janji sama Raja mau jalan ke mall. Kalau kamu pulang hati-hati ya di jalan, sampai jumpa nanti sayang.”Jari-jarinya sempat ragu menekan tombol kirim. Ada rasa cemas, tapi dia memilih untuk percaya. Meski tanpa restu orang tua Bayu, Marcella tak pernah berhenti berharap. Baginya, Bayu adalah satu-satunya yang membuat hidupnya berarti.Pesan dari Marcella membuat Bayu sedikit lega. Dadanya yang sejak semalam sesak, terasa lebih ringan meski hanya sebentar. Senyum kecil muncul di wajahnya, namun seketika juga hilang saat ia sadar bahwa barusan ia tel
Bayu kembali menyalakan mesin mobilnya. Hatinya benar-benar hancur. Semua harapan yang ia bawa dari kota, semua niat baik untuk meminta restu, ternyata dibalas dengan penolakan keras, bahkan sumpah buruk yang keluar dari mulut orang yang selama ini ia junjung tinggi.Sepanjang jalan, Bayu hanya bisa menatap kosong ke arah depan. Lampu-lampu jalan berkelebatan di matanya, tapi pikirannya melayang jauh. “Kenapa orang tua bisa setega itu pada anaknya sendiri?” batinnya. Ia menelan ludah, mencoba menguatkan diri, tapi perasaan sesak di dadanya tidak juga pergi.Sejak kecil, Bayu selalu berusaha jadi anak penurut. Ia belajar keras, mengikuti semua perintah, bahkan saat harus mengorbankan mimpinya sendiri. Semua ia lakukan agar orang tuanya bangga padanya. Tapi hari ini, seakan semua itu tidak pernah berarti. Hanya karena ia mencintai seorang perempuan bernama Marcella, tiba-tiba ia dianggap anak durhaka.Air matanya mengalir lagi tanpa bisa ia tahan. Ia merasa sendirian di dunia. Ia punya
“Maaf, Bu. Bayu tak bisa memenuhi permintaan Ibu. Bayu berhak bahagia dengan wanita yang Bayu cintai. Kalau memang Ibu dan Bapak tetap tak memberi restu, maka Bayu akan tetap menikahi Marcella. Maafkan Bayu, Bu, karena belum bisa memenuhi keinginan Ibu untuk menikahi wanita pilihan Ibu,” ucap Bayu dengan suara berat.Perkataan itu membuat ruang tamu rumah keluarga besar itu terasa tegang. Wajah sang ibu merah padam, matanya melotot, bibirnya bergetar menahan amarah. Baru saja selesai bicara, langkah berat terdengar dari arah pintu.“Bayu, jadi kamu lebih mementingkan kebahagiaan wanita itu ketimbang kebahagiaan orang tuamu?” bentak bapaknya Bayu, yang baru masuk ke ruang tamu. Suaranya begitu keras dan pria paruh baya itu sampai memukul meja hingga membuat vas bunga di meja sedikit bergetar.Bayu membeku di tempatnya. Kedua tangannya mengepal, wajahnya menunduk menahan perasaan tak menentu. Ia sudah menduga akan seperti ini, tapi mendengar sendiri kata-kata itu dari mulut bapaknya mem
Weekend ini Bayu akhirnya meminta izin pada Darren, atasannya di kantor, untuk pulang kampung. Ia bilang baru akan kembali ke kota hari Minggu malam. Darren tentu saja memberikan izin anak buahnya untuk pulang kampung. Sebab setelah perusahaan Atmaja Group membaik, mereka jarang sekali lembur. Bayu tampak lega, meski raut wajahnya tetap menyimpan kecemasan.Sebetulnya Marcella ingin ikut bersama kekasihnya pulang. Ia bahkan sempat menyiapkan barang-barang kecil kalau-kalau Bayu mengizinkan. Namun Bayu menolak dengan tegas. Ia meyakinkan Marcella bahwa urusan dengan ibunya harus ia hadapi sendiri. “Aku ingin menyelesaikan konflikku dulu dengan Ibu. Kalau semua berjalan lancar, aku akan segera membawamu pulang untuk menemui keluargaku,” kata Bayu tanpa keraguan sedikitpun.Marcella sempat terdiam. Ia tahu kalau dirinya tidak pernah mendapatkan restu dari kedua orang tua Bayu. Meski dirinya bukan berasal dari keluarga miskin, latar belakangnya yang sebatang kara membuat orang tua Bayu
“Mas, kita kasih hadiah apa ya pada Marcella dan Bayu?” tanya Nayla pada suaminya.Malam itu kamar mereka temaram dengan cahaya lampu tidur berwarna kuning lembut. Suasana terasa tenang setelah sepanjang hari rumah dipenuhi hiruk pikuk. Raja sudah tidur lebih dulu, sehingga hanya ada mereka berdua di atas ranjang. Nayla yang sedang hamil lebih suka tidur dengan posisi miring, sementara Darren baru saja menutup laptopnya dan menaruh di meja samping tempat tidur.Pertanyaan Nayla membuat Darren menoleh. Ia tahu istrinya sudah lama ingin membicarakan soal itu, hanya saja tertunda karena kesibukan Darren hari ini. “Bagaimana kalau kita hadiahkan mereka rumah, Sayang?” tanya Darren sambil mengusap lengan istrinya.Mata Nayla membesar. “Ide yang bagus, Mas. Aku setuju, bahkan sangat setuju. Ngomong-ngomong, mereka belum beli rumah kan untuk persiapan pernikahannya, kan?” Nayla sedikit mengangkat kepalanya, mencoba mengingat obrolannya dengan Marcella beberapa waktu lalu.Darren menggeleng.
“Mama oh Mama, kenapa Mama nakal. Raja bilang nggak mau nasi, tetapi Mama kasih…”Suara Raja sudah terdengar jelas dari halaman depan rumahnya. Anak itu berjalan sambil menyanyikan lagu karangan sendiri dengan penuh semangat. Liriknya yang penuh sindiran, tapi justru membuat siapa pun yang mendengarnya ingin tertawa.Nayla yang duduk di ruang tamu bersama Marcella menoleh ke arah pintu. Baru beberapa bait Raja nyanyikan, tawa mereka berdua sudah tak terbendung. Marcella sampai menutup mulut dengan tangannya karena tak kuat menahan geli.“Raja kenapa?” tanya Marcella sambil terkekeh. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu keponakan kecilnya itu. Sejak sibuk mengelola butik milik Miranda, waktunya banyak tersita. Tenaga dan pikirannya sudah habis terkuras, sehingga kesempatan untuk main ke rumah sahabatnya semakin jarang. Maka setiap kali berhasil meluangkan waktu, Marcella tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkerama dengan keponakan dan sahabat baiknya itu.“Dia nggak