Raka berdiri sebentar, masih memandangi jalanan kosong di depannya, lalu memutar bola matanya malas.“Bocah juga tingkahnya lebih masuk akal daripada laki-laki itu,” gumamnya sambil membuka pintu mobil sendiri.Ia duduk di kursi kemudi, melepas kacamata hitamnya, dan menyandarkan punggung ke jok. Diam sebentar, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tidak enak dilihat kalau kamu bukan orang yang dia tunggu.Dua menit berlalu. Tidak ada suara apa pun selain suara kipas AC mobilnya yang langsung menyala begitu mesin dinyalakan.Setelah melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 09.12 pagi, Raka akhirnya melajukan mobil keluar dari area villa. Tidak terburu-buru, tapi jelas tujuannya sudah pasti. Ia menyetir dengan santai, melewati tikungan tajam dan jalan kecil yang menurun. Meski orang itu tidak membalas pesan yang ia kirim, tapi setidaknya orang itu pasti akan datang. Tangannya sesekali meraih botol air mineral, lalu meneguk sedikit sambil memikirkan sesuatu.Restoran yang akan ia data
“Dad,” panggil Raja, berdiri di sebelah Darren yang sibuk membenahi kausnya.Sejak bangun tidur, Darren dan Raja sudah seperti pasangan bapak-anak yang baru reuni setelah terpisah bertahun-tahun. Mereka jogging bareng walaupun Raja ikut joging dengan digendong di pundak sang Daddy, sarapan bareng, bahkan rebutan channel TV pagi-pagi. Darren benar-benar total. Apa pun dilakukan supaya Raja makin lengket dengannya. Termasuk nyuapin anaknya bubur ayam padahal si bocah bisa makan sendiri.“Iya, Boy,” jawab Darren sambil mengusap kepala anak semata wayangnya yang rambutnya sudah rapi disisir ke samping, gaya khas bocah anak mama. Tapi tetap saja lucu dan tentunya sangat tampan.“Jadi ya, Dad…” suara Raja seperti sedang merayu, matanya melirik-lirik ke arah sang mama yang sedang mengecek koper.Belum sempat Darren menjawab, Nayla langsung menyambar pembicaraan dengan suara tinggi.“Mau ke mana lagi kalian? Mau janjian ngapain?”Mbak Siti dan dua penjaga villa yang lagi sibuk masukin koper
“Dad,” panggil Raja.“Apa, sayang?” Tangan Darren masih menggaruk pelan tubuh sang anak yang mulai gatal.“Tapi Raja suka sama cokelat dan es krim,” ucapnya. Dia berharap sang Daddy yang dianggapnya hanya sebatas kawan baru tidak melupakan janjinya, membelikan Raja freezer es krim. “Iya kalau Raja sudah-sudah” “Sudah apa, Mas?” Sambar Nayla. “Alergi itu tidak ada obat yang bisa menyembuhkan secara permanen.”“Iya sayang, iya,” jawab Darren.Istrinya tenang mendengar jawabannya, tapi justru sang anak bibirnya maju 2 senti. Darren hanya membuang napas berat. Dia tak mau memancing kemarahan istrinya lagi. Sisa waktu mereka harus dilewati dengan penuh kebahagiaan.Nayla membuka pintu kamar utama dan menuju ke kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti ketika matanya tanpa sengaja menangkap isi tas Darren yang sedikit terbuka di sisi tempat tidur. Ada benda kecil menyembul di antara pakaian. Sebuah kalender buku. Dia mendekat. Tangan kirinya mengambil kalender itu, pelan, seolah takut meru
“Aku minta maaf, sayang. Aku kira asal anak diem aja udah bagus. Jadi aku kasih apapun yang Raja sukai. Aku benar-benar minta maaf.”Darren berdiri kikuk di samping sang istri, satu tangan menyentuh belakang lehernya, mencoba terlihat lebih santai meski wajahnya penuh rasa bersalah. Dia tahu istrinya marah besar. Sejak pulang dari acara peresmian tadi, Nayla memasang wajah sangar. Bahkan Raja yang biasanya cerewet pun jadi ikut-ikutan sepi, mungkin karena aura sang mama udah kayak bom waktu.Nayla berjalan menuju pintu kamar sambil menghentak-hentakkan kaki. Bukan langkah biasa, ini langkah orang yang ingin menghancurkan sesuatu tapi masih menahan diri. Darren tahu betul ritme langkah itu. Dan itu bukan pertanda baik.“Maafin Daddy ya, Ma,” suara Raja terdengar dari belakang, pelan, bikin Darren ikut menoleh.“Gak akan,” balas Nayla cepat, tanpa menoleh sedikit pun. “Penyakit Raja bisa kambuh kalau terlalu lama sama Daddy.”Darren sempat celingukan, berusaha mencari celah. Dia merasa
Maria berjalan menjauhi posisi sebelumnya lalu dia berdiri di dekat meja panjang berisi makanan ringan. Tangannya sibuk memegang gelas kosong, tapi wajahnya mulai berubah. Awalnya biasa aja, tapi sekarang matanya makin sering mengerjap. Leher terasa panas. Dada juga ikut sesak. Dia mengatur napas pelan-pelan, tapi tetap aja nggak ngaruh. Ada sensasi aneh yang nggak bisa dijelasin, dan itu datang dari dalam tubuhnya.“Kenapa sih aku ini?” gumamnya.Pelan-pelan dia menyandarkan punggung ke dinding. Suara musik pesta yang tadinya terdengar jelas, sekarang hanya terdengar seperti sayup-sayup saja. Fokusnya mulai buyar. Pakaian yang dia pakai mendadak terasa sempit. Gaunnya yang biasanya bikin dia menjadi perempuan penuh percaya diri sekarang malah bikin dirinya gerah.Maria menyapu wajahnya menggunakan telapak tangan. Keringat mulai muncul di pelipis. Napasnya mulai berat. Dia merasa ruangan itu terlalu penuh, terlalu panas pokoknya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Padahal tadi d
“Aku sama sekali tidak percaya kalau kamu berhasil melakukannya. Secara di sini ada Pak Darren, jangan mimpi kau, Maria.” Maria tersenyum kecut karena kemampuannya diragukan oleh Bima. “Sudah kubilang akan ku tunjukan kemampuanku. Kau siapkan saja tenagamu untuk tidur dengannya, dan siapkan mental kalau Darren akan memecatmu.” Bima tertawa, “aku tak peduli kalau dipecat, asal Nayla bisa kembali dalam pelukanku. Aku punya banyak uang untuk memulai bisnis,” balasnya penuh percaya diri. Maria ikut tertawa, pria ini punya tekad yang kuat untuk memiliki Nayla, pikirnya. “Kau tunggu di sini, biar kubuktikan ucapanku.” Maria melangkah ke area dekat bar, tempat beberapa pelayan bolak-balik bawa minuman di nampan. Dia berdiri agak menyamping, pura-pura menyesap wine sambil matanya mengamati satu per satu pelayan yang lewat. Nggak butuh waktu lama sampai dia nemu target yang cocok—pelayan cowok, sekitar dua puluhan, keliatan polos dan agak kikuk pas nyusun gelas. Maria langsung