Joanna mencengkeram erat ponselnya, raut wajahnya perlahan mulai memerah menahan amarah. Dia yakin sekali lagi-lagi pelanggannya membatalkan karena adanya campur tangan Ethan. Ini bukan kali pertama dia mengalaminya.
Pandangan mata wanita itu berpindah menatap sekeliling ruang tunggu crew. Semua orang terlihat sibuk persiapan penerbangan, tapi saat ini Joanna tidak bisa fokus. Wanita itu langsung beranjak dari tempat duduknya, berjalan meninggalkan ruang crew.
“Joanna, kamu mau ke mana?” Rosa menghadang langkah kaki Joanna.
“Aku ada urusan sebentar,” jawabnya. “Jangan menghalangiku, Rosa!”
“Eh, tapi sebentar lagi kita ada briefing. Tahu sendiri kalau Captain Edo tidak suka ada yang datang ter—” Rosa terdiam saat Joanna melewatinya begitu saja, temannya yang satu itu selalu tidak bisa dibilangi. Rosa mengendikkan bahu, tidak ingin ambil pusing, yang terpenting dia sudah mengingatkan. “Kalau ada masalah biar ditanggung sendiri!”
Joanna berjalan cepat menuju ke ruang presdir maskapai. Kehadirannya di lorong lantai tertinggi itu membuat beberapa orang menatapnya bingung, tapi Joanna mengabaikan mereka semua.
“Pak Ethan ada?” tanya Joanna pada sekretaris yang duduk di balik meja.
Sekretaris itu mendongak, kaget saat melihat Joanna muncul. “Maaf, Mbak Joanna. Pak Ethan tidak ada.”
Pembohong, batin Joanna.
Dia tahu betul sekretaris itu akan ikut ke manapun Ethan pergi. Jika, sekretarisnya masih ada di situ, berarti Ethan ada di dalam. Wanita itu berjalan mendekat ke ruangan Ethan. Tiba-tiba saja dia dihadang.
“Mbak, sudah saya bilang Pak Ethan tidak ada. Silahkan titipkan pesan! Nanti saya sampaikan pada Pak Ethan,” kata sekretaris itu.
Joanna melempar tatapan sinis. “Kamu pikir aku anak kecil yang mudah dibohongi? Minggir!”
Alih-alih minggir, sekretaris itu justru menutup setiap langkahnya.
“PAK ETHAN! PAK ETHAN KELUAR!” teriak Joanna lantang.
“KELUAR PAK ETHAN!”
***
Dokumen yang ada di atas meja menumpuk membuat Ethan tidak bisa beranjak dari meja kerjanya, lelaki itu terlihat serius membolak-balik dokumen itu dan sesekali membubuhkan tanda tangan.
Ethan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, satu jam lagi dia ada meeting penting. Gerakan tangannya terhenti saat dia mendengar suara keributan dari luar. Lelaki itu menajamkan pendengarannya.
“KELUAR PAK ETHAN!”
Kali ini Ethan yakin sekali jika ada yang memanggilnya.
“Siapa yang berani membuat keributan?” geramnya merasa terganggu dengan suara itu.
Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya, berjalan cepat meninggalkan meja kerja. Dia tidak akan mengampuni orang yang sudah mengganggunya.
“Apa kerjanya, Anjas? Kenapa dia tidak bisa mencegah keributan?” Ethan tidak akan segan memberikan hukuman pada sekretarisnya.
Lelaki itu membuka pintu dengan cepat. Ethan terdiam saat melihat orang yang membuat keributan itu ternyata Joanna.
Wanita itu langsung terdiam, dia mendorong kasar sekretaris Ethan. Tanpa ragu berjalan mendekati Ethan. Sedangkan Ethan langsung melempar kode agar sekretaris itu kembali ke mejanya.
“Apa yang membawamu ke sini, Joanna? Kenapa sampai membuat keributan?” tanya Ethan dengan suara lembut. Rasa kesalnya hilang sudah, dia tidak keberatan dengan keributan yang dibuat oleh Joanna.
Joanna menatap tajam Ethan lantas memalingkan wajahnya, menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada yang melihatnya masuk ke ruang presdir. Semua orang bisa heboh jika tahu Joanna melakukannya. Merasa aman Joanna berjalan melewati Ethan dan masuk begitu saja.
Kedua sudut bibir Ethan tertarik ke atas membentuk seulas senyum lebar. Ethan segera menutup pintu dan menyusul Joanna yang sudah duduk di sofa tamu.
“Sepertinya kamu betah di sini,” ucap Ethan.
Joanna melempar tatap tajam. “Maksud anda apa? Kenapa ikut campur pekerjaan saya?” tanya Joanna langsung to the point.
Satu alis Ethan terangkat tinggi setelah mendengar pertanyaan wanita itu. “Ikut campur apa? Pekerjaan saya sudah banyak. Tidak ada waktu untuk mengurusi pekerjaanmu.”
“Omong kosong. Beberapa orang tiba-tiba membatalkan saya sepihak dan itu pasti ada campur tangan anda, Pak Ethan.”
“Oh, pekerjaan sampinganmu itu? Kenapa kamu lakukan itu, Joanna? Bukankah gaji dan tunjanganmu suka lebih dari cukup?” Ethan penasaran sekali dengan Joanna, entah kenapa dia ingin tahu semua tentang wanita itu.
“Pak Ethan tidak berhak ikut campur urusan saya. Tolong jangan ikut campur lagi!”
Ethan terkekeh pelan. “Wah, baru kali ini saya dapat ancaman dari seorang pramugari. Kamu sungguh menarik, Joanna. Berhentilah!”
“Tidak akan.”
“Apa yang kamu cari sebenarnya?” tanya Ethan. “Saya tidak suka kamu melakukan pekerjaan itu.”
“Kenapa? Ini tidak ada hubungannya dengan Pak Ethan,” balas Joanna lagi.
“Apa kamu tidak takut saya pecat, Joanna?” Ancam Ethan balik.
Joanna berdiri dari duduknya, menatap lelaki itu sebelum meninggalkan ruangan Ethan. “Saya tidak takut. Pecat saja! Saya tetap akan melakukan pekerjaan saya.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ethan, wanita itu berjalan keluar. Namun, baru beberapa langkah, wanita itu berhenti dan menoleh. “Saya akan lupakan kejadian malam itu, asalkan Pak Ethan tidak menganggu hidup saya lagi!”
“Kalau saya tidak mau?”
Alih-alih menjawab, Joanna justru meninggalkan ruangan Ethan.
Begitu pintu tertutup Joanna menarik napas panjang lantas menghembuskan perlahan. Berbicara dengan Ethan benar-benar menguras energinya.
Joanna harap kali ini lelaki itu tidak akan mengganggu hidupnya lagi.
***
Brian menyodorkan segelas kopi hangat di hadapan Joanna membuat wanita itu mendongak. Lelaki itu langsung duduk setelah Joanna mengambil kopi di tangannya.
“Terima kasih,” ujar Joanna.
Brian mengangguk, lelaki itu menyeruput kopi itu perlahan. “Bagaimana penerbanganmu hari ini, Joanna?”
“Tidak buruk,” balas Joanna.
“Apa kamu mengalami kesulitan? Katakan padaku jika kamu mengalaminya! Aku akan membantumu,” ujar Brian dengan raut wajah serius.
Sekali lagi Joanna menggeleng. “Tidak ada. Kenapa?”
“Belakangan ini aku lihat kamu banyak murung. Yakin tidak ada masalah?”
Joanna tersentak kaget, dia tidak menyangka ada yang memperhatikannya, belakangan memang dia tidak bersemangat. “Tidak ada, Brian.”
“JOANNA! JOANNA, ASTAGA!”
Suara teriakan itu membuat itu membuat Joanna menoleh, satu alisnya terangkat tinggi melihat Rosa berjalan cepat ke arahnya sambil membawa buket bunga.
“Wah, siapa yang memberimu bunga, Rosa?” tanya Brian.
Rosa menatap Brian, terlalu fokus pada Joanna membuatnya tidak menyadari keberadaan Brian. “Eh, hai Captain Brian.”
“Untukmu, Joanna.”
Joanna menatap kebingungan buket bunga itu dan seketika semua mata tertuju ke arahnya. “Dari siapa? Apa kamu tidak salah orang?”
Rosa langsung meletakkan buket bunga itu di atas pangkuan Joanna. “Aku tidak tahu. Salah satu polisi Bandara memberiku ini dan memintaku memberikan padamu.”
Brian menatap Joanna. “Mungkin dari kekasihmu, Joanna,” ujarnya ragu. Selama ini yang dia tahu, Joanna tidak punya kekasih atau mungkin diam-diam wanita itu memilikinya.
“Aku tidak punya kekasih,” jawab Joanna. Dia masih bingung memikirkan siapa orang yang memberikan itu padanya.
“Wah, pasti dari pengagum rahasiamu, Joanna. Sudah pasti itu!” seru Rosa heboh.
Siapa? pikir Joanna bingung.
Joanna mengernyit saat dia melih mobil Ethan siap di depan rumah. Padahal harusnya mobilnya yang ada di sana. "Masuklah, Joanna! Aku akan mengantarmu." Joanna tersentak kaget saat dia mendengar suara Ethan. Belum hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja Ethan menarik pergelangan tangannya. "Maksudnya apa?" tanya Joanna bingung. Dia berusaha menarik tangannya, tapi nyatanya tenaga Joanna tidak cukup kuat. "Mulai hari ini aku yang mengantarmu," tegas Ethan tanpa menoleh ke belakang. "Nggak mau," tolak Joanna. "Lepaskan aku, Ethan!" Lelaki itu baru melepaskan Joanna saat mereka sudah ada di dekat mobil. Rizal langsung mendorong tubuh Joanna masuk ke dalam mobil dan dia menyusul masuk, tidak membiarkan Joanna keluar lagi. "Apa-apaan ini? Koperku?" tanyanya panik. Bibi sudah membawa kopernya turun terlebih dahulu, dia takut kopernya tertinggal di dalam rumah. "Sudah ada di bagasi," jawab Ethan. "Jalan, Pak!" Joanna semakin panik saat mobil itu berjalan. "Pak hentikan
Ethan menatap Joanna yang tertidur pulas di sampingnya. Sayang sekali Joanna melewatkan pemandangan indah dari balik jendela pesawat pribadi Ethan. Tak lama setelah pesawat itu lepas landas, Joanna langsung tertidur pulas. "Joanna, bangun!" Ethan menggoyang-goyangkan lengan Joanna setelah pesawat itu berhasil mendarat dengan sempurna. Tak kunjung bangun, Ethan mendekatkan wajahnya. Namun, tiba-tiba wanita itu menarik tubuhnya menjauh. Joanna memasang tampang waspada. "Apa yang kamu lakukan, Ethan?" Ethan menjauhkan tubuhnya lantas dia berdiri dan mengulurkan tangannya. "Aku hanya ingin membangunkanmu, Joanna. Ayo, turun!" Spontan Joanna menyambut uluran tangan Ethan dan mereka berjalan meninggalkan pesawat. Di bawah sana sebuah mobil hitam sudah menunggu. "Selamat pagi, Pak Ethan. Selamat pagi, Bu Joanna," sapa sopir itu. "Pagi, Pak," balas Joanna. Joanna masuk ke dalam mobil dan diikuti oleh Ethan. Mobil itu langsung melaju begitu mereka masuk. HOEK! Joann
Ethan melonggarkan pelukannya saat dia mendengar suara napas teratur, dia menunduk lantas tersenyum kecil ketika melihat Joanna tertidur pulas di pelukannya. "Cantik," gumam lelaki itu spontan. Ethan menarik selimut lebih tinggi, tidak ingin Joanna kedinginan dan lelaki itu kembali mendekap erat istrinya. Untuk pertama kalinya mereka tidur di ranjang yang sama. Tak butuh waktu lama, Ethan ikut tertidur pulas. *** Sepasang mata yang terpejam itu perlahan-lahan mulai terbuka. Joanna mengernyit merasakan pelukan erat itu, wanita itu menyingkirkan tangan Ethan sehingga dia bisa bebas. Joanna mendongak, menatap Ethan yang sudah tertidur pulas. "Kenapa dia masih ada di sini?" Joanna meringis saat sudah tidak tahan lagi menahan buang air kecil, dia menyibak selimut dan langsung menuju ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama bagi Joanna berada di dalam kamar mandi. Dia kembali ke tempat tidurnya. Namun, Joanna hanya berdiri di samping ranjang. Wanita itu menggigit bibir bawa
"Selamat malam, Tuan Ethan! Selamat malam, Nyonya Joanna," sapa bibi yang ada di dapur. Bibi senang sekali melihat kedua majikannya sudah mulai akur, tidak seperti saat mereka pertama kali masuk ke dalam rumah ini. "Malam, Bi," balas Joanna. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya bibi. "Tidak usah, Bi. Saya mau masak nasi goreng," ujar Ethan. Bibi menatap majikannya tak percaya, selama bekerja di rumah Ethan baru kali ini bibi melihat Ethan turun langsung ke dapur. Detik berikutnya dia tersenyum tipis melihat Ethan kembali menggandeng istrinya. "Baik, Tuan. Saya permisi dulu." Joanna hanya bisa pasrah saat Ethan menarinya menuju meja bar mini. Dia juga tidak tahu kenapa ngidam dimasakkan oleh suaminya. Jujur saja, Joanna lebih nyaman jika Ethan menolak permintaannya dan dia bisa bebas memasak dengan bibi. "Duduk sini dulu!" perintah Ethan. Tangan lelaki itu terulur mengusap perut Joanna. Tubuh wanita itu menegang saat melihat senyum tipis Ethan, tatapan mata lelaki
"Joanna lihat yang mama bawa!" Pandangan mata Joanna berpindah mengikuti arah telunjuk mertuanya. Wanita itu langsung takjub melihat tumpukan perlengkapan bayi. "Ini semua mama belikan khusus untuk cucu mama. Semoga saja kamu suka, Joanna," ujar wanita paruh baya itu sambil tersenyum lebar. Usia kandungannya belum menginjak lima bulan, tapi mertuanya sangat antusias menyambut anaknya lahir. Diterima dengan baik oleh keluarga Ethan membuat Joanna justru merasa bersalah karena nantinya dia akan meninggalkan keluarga Ethan. "Ma, tapi aku lahiran masih lama. Apa tidak terlalu dini mama belikan semua ini?" tanya Joanna dengan hati-hati takut menyinggung mertuanya. Dengan semangat wanita paruh baya itu menggeleng. "Tentu saja tidak. Mama tidak tahan untuk belanja printilan untuk cucu mama." "Terima kasih banyak, Ma." Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendapatkan kehangatan dari seorang ibu. Wanita paruh baya itu mengusap perut Joanna lantas berpindah mengusap lengan mena
"DURHAKA KAMU ETHAN!" Teriakan itu sama sekali tidak membuat keputusan Ethan goyah. Dia memberi kode pada dua petugas keamanan segera menyeret mertuanya meninggalkan ruang kerjanya. "Lepas! Lepaskan aku!" pinta lelaki paruh baya itu saat dua orang itu menyeretnya paksa. "Apa kalian tidak tahu siapa aku? Hah?" Dengan panik lelaki itu kembali menatap Ethan, berharap menantunya berbaik hati mengurungkan niatnya. Dia pikir datang menemui menantunya adalah jalan keluar terbaik, tapi ternyata dia salah besar. Yang ad justru Ethan menolak permintaannya. "Ethan apa begini caramu memperlakukan mertuamu? Apa gunanya kaya kalau kamu tidak punya sopan santun?" Ethan berjalan cepat menutup pintu ruangan kerjanya, tapi sebelum ditutup Ethan menatap mertuanya. "Aku tidak akan mengeluarkan sepeserpun untuk ayah. Jadi, jangan berharap lebih, Ayah!" "Benar-benar kurang ajar kamu, Ethan. Dengar! Dengarkan aku! Aku menyesal membiarkan kamu menikah dengan putriku yang berharga." Teriakan mertuan