"Jangan menungguku. Aku lembur malam ini."
Suara Albert di ujung telepon terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Elyssa, yang memegang ponsel dengan tangan gemetar, menatap meja makan yang sudah tertata rapi. Lilin-lilin kecil di atas meja berkelap-kelip, memancarkan cahaya hangat yang kontras dengan dinginnya jawaban suaminya.
"Lembur lagi, Mas? Apa kamu tau ini hari apa? Ini hari jadi—"
"Kamu bisa melihat sendiri di kalender. Aku gak punya banyak waktu, Elyssa. Aku sibuk!"
Belum sempat Elyssa melanjutkan kalimatnya, panggilan itu sudah terputus. Ponselnya kembali ke layar utama, menunjukkan foto dirinya dan Albert saat mereka menikah tiga tahun lalu, sebuah pengingat pahit tentang janji yang kini terasa kosong.
Malam itu terasa dingin dan mencekam.
Elyssa mematikan lilin satu per satu, seolah memadamkan harapan yang tersisa di hatinya. "Mau sampai kapan kamu giniin aku, Mas? Aku capek," lirihnya.
Air mata perlahan menetes membasahi pipi. Elyssa kembali mengingat masa-masa awal pernikahan mereka. Albert Han, suaminya, selalu bersikap romantis, memberikan perhatian kecil, bahkan untuk hal-hal sepele.
Namun, setelah Albert diangkat menjadi Direktur Keuangan, segalanya berubah. Albert semakin sibuk, jarang memberikannya waktu, dan bersikap dingin.
Awalnya Elyssa memaklumi. Ia berpikir mungkin perubahan sikap suaminya itu pengaruh terlalu lelah bekerja. Tapi genap setahun, Albert masih saja bersikap dingin dan seperti menghindarinya. Hal ini membuat Elyssa makin tersiksa oleh rasa sepi.
“Padahal hari ini anniversary kita, Mas, tapi kamu malah lupa,” gumamnya.
Akhirnya, Elyssa pun menikmati makan malam yang ia siapkan sendirian.
****
Keesokan paginya, Elyssa dan Albert menikmati sarapan bersama di meja makan. Suasana terasa sunyi dan dingin, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang beradu.
Elyssa, yang merasa tak nyaman dengan keheningan ini, akhirnya membuka suara. “Mas, kamu semalam pulang jam berapa? Aku nungguin sampai jam sebelas, tapi kamu belum pulang.”
Semalam, Elyssa memang menunggu kepulangan Albert, hingga ia ketiduran di sofa. Saat terbangun, ia masih berada di tempat yang sama, sedangkan Albert sudah terlelap di ranjang.
Hati Elyssa terasa perih. Ia teringat saat dulu, di mana Albert akan menggendongnya ke kamar, memindahkannya dengan hati-hati agar tidak terbangun. Tapi semalam, ia diabaikan, dibiarkan sendirian di sofa yang dingin.
"Harusnya kamu bangunin aku, Mas. Gak enak tau tidur di sofa. Badan aku jadi pegel," keluh Elyssa dengan suara manjanya, berharap Albert akan memperhatikannya.
Namun, Albert tidak merespon. Ia terus mengunyah makanannya, berpura-pura tidak mendengar.
"Mas?" panggil Elyssa lagi, suaranya terdengar ragu.
Albert menyahut, tapi dengan topik yang berbeda. “Nanti sore dandan yang cantik! Pakai baju yang paling bagus!”
Elyssa diam sejenak. Lalu ia spontan mengukir senyum. Ia berpikir kalau Albert akan mengajaknya makan malam, menggantikan hari kemarin untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka.
“Iya, Mas. Aku akan dandan yang cantik,” sahutnya. Senyumnya merekah, dengan mata penuh binar.
****
Sore itu, Elyssa sudah tampil memukau dalam balutan gaun malam. Potongan gaun yang elegan menampilkan lekuk tubuhnya dengan anggun, sementara aroma parfum musk yang memikat menyebar di udara. Ia begitu bahagia. Setelah sekian lama, akhirnya Albert meluangkan waktu untuknya, dan Elyssa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tepat pukul lima sore, suara mobil Albert terdengar. Elyssa bahkan sudah menunggu di depan pintu, bersiap menyambut sang suami.
“Akhirnya kamu pulang, Mas.”
Saat itu juga, Elyssa langsung mematung. Albert ternyata tidak sendirian. Seorang pria ikut bersamanya dengan sebuah koper.
Pria itu menatap Elyssa cukup lama dengan senyum di bibirnya. Senyum yang terasa hangat, berbeda dengan senyum Albert yang terkesan kaku.
“Ayo, silakan masuk!” seru Albert.
Elyssa lalu menarik Albert ke sisi lain, meninggalkan tamu yang masih melihat sekeliling rumah mereka.
“Mas, dia siapa?” bisiknya.
“Dia Sean, temanku waktu kuliah. Dia ini lagi nyari tempat tinggal sementara, jadi aku membawanya ke sini,” jelas Albert.
Elyssa mengernyit, heran. “Maksudmu, dia akan menumpang di sini?”
“Iya. Dia baru pindah ke kota ini karena kerjaan. Dan belum dapat tempat tinggal, makanya aku nawarin dia untuk nginap sementara di sini.”
Elyssa terlihat tidak suka. Ia merasa tidak nyaman jika ada orang asing tinggal bersamanya di rumah. “Harusnya kamu ngomong dulu sama aku, Mas.”
"Gak semuanya harus aku ngomongin sama kamu, Elyssa! Pendapatmu itu gak penting!”
Ucapan Albert terasa seperti pukulan, langsung menusuk hati Elyssa. Ia mematung saat melihat suaminya berbalik dan kembali berbincang dengan temannya.
Albert lalu membawa Sean ke kamar tamu. “Buat dirimu nyaman. Anggap saja rumah sendiri.”
“Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini. Pasti kubalas suatu hari nanti.”
“Haha. Jangan terlalu sungkan begini! Kau itu temanku!”
Elyssa terus berdiri di samping Albert, mencoba terlibat dalam percakapan mereka, tapi usahanya sia-sia.
Saat Albert dan Sean larut dalam obrolan mereka, perhatian Sean justru diam-diam beralih pada Elyssa. Penampilan wanita itu sungguh memukau, membuat Sean tak bisa menahan diri untuk meliriknya. Ia tersenyum, bukan karena cerita Albert, melainkan karena pemandangan yang ada di depannya: seorang istri yang tampak diabaikan, namun begitu mempesona.
“Oh ya, kamu istirahat aja dulu. Nanti kupanggil lagi kalau makan malam udah siap,” ujar Albert menyudahi percakapan.
Albert langsung menyuruh Elyssa segera menyiapkan makan malam.
Elyssa tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Harapannya untuk makan malam romantis dengan Albert hancur berantakan.
"Kenapa kamu nyuruh aku dandan kalau cuman buat nyambut temenmu?” tanya Elyssa dengan nada suara yang menahan kekecewaan. "Aku pikir kamu mau ngajak aku makan di luar, Mas.”
“Biar temanku tau kalau aku punya istri yang cantik! Oh ya, nanti masaknya yang enak! Jangan malu-maluin aku di depan dia!”
Elyssa hanya menghela napas. Lagi-lagi, Albert hanya ingin pamer.
“Iya, Mas. Tapi aku ganti baju dulu.”
Saat hendak berganti pakaian, Albert melarangnya. “Kamu mau masak pakai daster atau piyama lusuhmu itu? Jangan bodoh, Elyssa! Jangan buat aku malu! Istri seorang direktur keuangan harus selalu rapi dan cantik, terutama saat ada tamu!"
“Tapi kalau pakai gaun ini ribet, Mas.”
Elyssa tetap kekeh berganti pakaian dengan blouse yang tertutup dan celana kain panjang.
“Jangan buang waktu! Sebentar lagi jam makan malam!” tegur Albert, mulai kesal.
Elyssa hanya mengangguk pelan. Riasannya bahkan masih sempurna, tapi ia harus bertempur dengan bahan makanan di dapur.
Satu jam kemudian, Elyssa akhirnya selesai memasak. Ia kembali menemui suaminya di kamar untuk memanggilnya makan.
“Panggilkan Sean juga!”
Elyssa mengomel dalam hati. Tapi ia sudah tak berani membantah. Ia pun berjalan menuju kamar tamu dan mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka.
Elyssa sontak mematung. Di hadapannya, Sean berdiri hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Rambutnya basah, dadanya yang atletis terekspos jelas, dan bulir air masih membasahi kulitnya, membuatnya terlihat seksi dan maskulin.
Pemandangan itu membuat Elyssa merasa canggung dan panas. Seketika darahnya berdesir cepat. Bibirnya dengan kaku berkata, “M-maaf. Aku gak tau kamu baru kelar mandi.”
Elyssa makin salah tingkah karena Sean terus menatapnya tanpa berkedip. Tanpa aba-aba pria itu mengulurkan tangannya, mengusap pipi Elyssa dengan ibu jarinya.
Mendengar pertanyaan itu, Elyssa segera menjauhkan dirinya dari Sean. Ia tidak ingin terjebak lebih jauh dengan Sean.Sudah cukup ia menikmati perhatian-perhatian kecil dan juga sentuhan-sentuhan ringan dari Sean, ia tidak ingin jatuh lebih dalam. Ia masih memikirkan kesetiaannya dengan Albert, walaupun suaminya sendiri tidak pernah peduli padanya.Melihat respon Elyssa, Sean menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku sudah kelewat batas.”Elyssa hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya.“Sebaiknya kamu tidur, Elyssa. Udah malam. Begadang gak bagus buat kesehatan.”Elyssa mengangguk pelan. Setuju dengan Sean. “A-aku ke kamar duluan.” Ia bergegas melangkah dengan cepat meninggalkan Sean dengan deb
Keesokan paginya, Sean sudah bangun lebih dulu. Ia melangkah ke dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Elyssa.Sementara itu, di dalam kamar, Elyssa berdiam diri. Ia terlalu malu untuk keluar karena belum mandi. Keran shower di kamar mandinya rusak.Setelah beberapa waktu, akhirnya Elyssa memberanikan diri menemui Sean di dapur. "M-maaf mengganggu, apa kamu bisa membetulkan keran air di kamar mandiku? Sepertinya macet," tanyanya.Sean mengangguk. "Tentu. Kamu punya perkakas?""Ada di gudang."Setelah mengambil alat, Sean melangkah ke kamar mandi Elyssa, diikuti oleh wanita itu di belakangnya.Elyssa mengagumi Sean yang terlihat telaten saat memperbaiki keran.Sementara Sean sendiri agak kesulitan. "Sebentar ya. Agak keras," katanya.Elyssa hanya mengangguk kecil.Tanpa diduga, Sean justru merusak keran itu, membuat air menyembur ke mana-mana.Elyssa terkejut saat air itu menyembur ke arahnya, membasahi kaos putihnya."Astaga, maaf," seru Sean panik. Ia buru-buru membuka bajunya dan m
Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.Tok tok tok!Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum."Kamu udah makan?" tanya Sean.Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya."M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. A
Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.“Kamu lagi nyari apa?”Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu
Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahk
"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup."Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”Kemudian, Albert memperke