"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.
Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."
Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"
Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup.
"Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.
Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”
Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.
Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.
Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”
Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”
Kemudian, Albert memperkenalkan ulang Sean kepada Elyssa. “Kamu udah tau nama temanku, kan? Kami ini udah temenan dari kuliah, bahkan pernah satu proyek bareng pas awal berkarir. Dan sekarang dia diterima di perusahaan Mandala sebagai Kepala Manajer. Sebelumnya dia bekerja di….” Albert melirik ke Sean. “Di mana perusahaanmu sebelumnya? Aku lupa!”
Fokus Sean tidak lagi pada obrolan. Matanya terus mencuri pandang ke arah Elyssa.
Begitu pun dengan Elyssa yang sesekali melirik Sean dan mendapati pria itu memandangnya dengan tatapan yang tidak biasa.
‘Kenapa dia menatapku seperti itu?’ batinnya.
Albert, yang tidak peka, terus berbicara tanpa menyadari bahwa perhatian temannya sudah beralih sepenuhnya ke istrinya.
“Kalau gak salah ingat, kemarin kamu kerja di Surabaya, kan?” ulang Albert.
Sean tersentak. Ia kembali fokus pada obrolan. “Benar. Kemarin aku bekerja di Surabaya. Aku hanya menginjakkan kaki di Jakarta saat ada kunjungan. Itupun tidak sering.”
“Nah, dengar itu, Sayang! Sean ini masih asing sama Jakarta. Dia juga gak punya kerabat di sini. Jadi mengertilah! Aku sebagai teman hanya ingin membantu! Setidaknya sampai dia menemukan apartemen yang cocok.”
Elyssa sempat terkejut saat Albert memanggilnya ‘Sayang’. Panggilan manis itu sudah sangat lama tidak ia dengar, bahkan ia hampir lupa. Albert memang hanya akan menggunakan panggilan romantis seperti itu jika ada orang lain di dekat mereka.
Setelah makan malam, Albert langsung masuk ke kamar, membiarkan Elyssa sendirian membereskan meja makan.
Sudah sejak lama Elyssa terbiasa membereskan semuanya sendiri. Albert menolak mempekerjakan ART, beralasan ia tidak suka kehadiran orang asing. Namun, Elyssa tahu, alasan sebenarnya adalah Albert ingin memastikan Elyssa menjalankan perannya sebagai istri, yang baginya hanyalah pengurus rumah tangga.
Elyssa sendiri memakluminya. Toh, itu memang tugasnya.
Saat hendak mencuci piring, Elyssa tersentak saat mendengar suara pria. Ia berbalik ternyata itu Sean.
“Biar aku bantu ya.”
Elyssa tidak menolak. Ia hanya tersenyum dan membiarkan Sean ikut bersamanya mencuci piring di wastafel. Jujur, ia juga kelelahan jika harus membereskan semua pekerjaan seorang diri.
“Kalau kamu capek, istirahat aja. Sisanya biar aku yang urus.”
Elyssa menatap Sean penuh arti. Baru kali ini ia mendapat perhatian. Bukan dari suaminya, justru dari pria lain. Tapi entah kenapa, ia merasa senang akan hal itu.
Jantung Elyssa kembali berdebar. Ia buru-buru menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan yang tidak seharusnya ada.
'Tidak. Kenapa aku senang mendapatkan perhatiannya? Ini salah,' bisiknya dalam hati.
“Biar aku aja yang beresin. Aku gak enak biarin tamu yang nyuci piring,” ujar Elyssa.
Sean tetap kekeh membantu Elyssa. “Justru aku yang gak enak sama kamu. Aku cukup tau diri sebagai orang yang menumpang di rumahmu.”
Elyssa merasa canggung dan gugup berada sedekat itu dengan Sean. Ia memutuskan untuk berhenti mencuci piring, membiarkan Sean melanjutkan pekerjaannya, dan buru-buru masuk ke kamar.
Di dalam kamar, Elyssa melihat Albert sudah pulas tertidur di ranjang. Kesepian kembali merayap. Ia tidak punya waktu untuk mengobrol dengan suaminya sendiri. Kehidupan mereka hanya diisi dengan Albert yang bekerja tanpa henti, dan pulang hanya untuk tidur, tidak pernah benar-benar ada untuknya.
Elyssa pun berganti pakaian. Seperti biasa, ia mengenakan piyama tanpa lengan dan celana pendek sebatas paha. Ia tidak ragu memakai pakaian seksi karena berpikir hanya ada dirinya dan Albert di rumah. Elyssa lupa, kini ada Sean yang menumpang tinggal.
Tengah malam, Elyssa yang haus kembali ke dapur. Ia tidak sadar kalau Sean juga berada di sana.
Elyssa berjalan santai, membuka kulkas dan mengambil botol minum. Saat meneguk air, Sean menghampirinya.
“Belum tidur?”
Elyssa sontak terkejut. “Uhuk!” Air yang masih belum ditelan Elyssa pun menyembur dan membasahi Sean. Matanya sontak membulat. “M-maaf! Aku gak sengaja!”
Sean sendiri pun ikut terkejut saat Elyssa menyemburnya.
Elyssa panik bukan main. Buru-buru ia menaruh gelasnya dan mengambil beberapa lembar tisu. Ia lalu mengelap wajah dan badan Sean yang basah karenanya.
Sean menahan pergelangan tangan Elyssa. “Gapapa. Biar aku aja,” katanya sambil tersenyum.
Elyssa kembali membeku. Senyum di wajah Sean terasa seperti sengatan listrik, sama seperti sentuhan tangannya yang hangat di kulitnya.
Hati Elyssa berdesir, merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Kamu gapapa, kan?”
Elyssa tersentak saat Sean kembali berbicara, seolah baru tersadar dari mimpi. Ia tersenyum, wajahnya memanas karena gugup. “Aku gapapa. Emm, kalau gitu, aku balik ke kamar.”
Sean bisa merasakan kegugupan itu dan membalasnya dengan senyum lembut yang membuat Elyssa semakin salah tingkah. “Oke. Mimpi yang indah ya.”
Hati Elyssa tak karuan. Ia melangkah menjauh, tapi rasa penasaran membuatnya kembali menoleh. Ia melihat Sean melepas kaosnya yang basah. Pemandangan dada atletis pria itu kembali membuat napasnya tertahan.
Di dalam kamar, Elyssa berbaring, matanya terpejam, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Bayangan senyum Sean, perhatiannya, dan suara lembutnya terus berputar di benaknya.
Tepat saat itu, Albert terbangun dan bergegas ke kamar mandi. Ketika kembali, ia melihat Elyssa duduk di tepi ranjang, tatapannya menyiratkan hasrat yang dalam. Bahkan saat ini istrinya sudah berganti pakaian, memakai lingerie transparan.
Sentuhan Sean tadi telah memicu hasrat yang telah lama mati. Elyssa tidak tahan lagi. Ia merindukan belaian suaminya, ia ingin disentuh, ingin bercinta, ingin merasakan kembali gairah yang sudah lama hilang.
Elyssa menatap Albert dengan pancaran penuh kerinduan. “Mas…,” gumamnya pelan. Ia berharap suaminya peka.
Mendengar pertanyaan itu, Elyssa segera menjauhkan dirinya dari Sean. Ia tidak ingin terjebak lebih jauh dengan Sean.Sudah cukup ia menikmati perhatian-perhatian kecil dan juga sentuhan-sentuhan ringan dari Sean, ia tidak ingin jatuh lebih dalam. Ia masih memikirkan kesetiaannya dengan Albert, walaupun suaminya sendiri tidak pernah peduli padanya.Melihat respon Elyssa, Sean menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku sudah kelewat batas.”Elyssa hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya.“Sebaiknya kamu tidur, Elyssa. Udah malam. Begadang gak bagus buat kesehatan.”Elyssa mengangguk pelan. Setuju dengan Sean. “A-aku ke kamar duluan.” Ia bergegas melangkah dengan cepat meninggalkan Sean dengan deb
Keesokan paginya, Sean sudah bangun lebih dulu. Ia melangkah ke dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Elyssa.Sementara itu, di dalam kamar, Elyssa berdiam diri. Ia terlalu malu untuk keluar karena belum mandi. Keran shower di kamar mandinya rusak.Setelah beberapa waktu, akhirnya Elyssa memberanikan diri menemui Sean di dapur. "M-maaf mengganggu, apa kamu bisa membetulkan keran air di kamar mandiku? Sepertinya macet," tanyanya.Sean mengangguk. "Tentu. Kamu punya perkakas?""Ada di gudang."Setelah mengambil alat, Sean melangkah ke kamar mandi Elyssa, diikuti oleh wanita itu di belakangnya.Elyssa mengagumi Sean yang terlihat telaten saat memperbaiki keran.Sementara Sean sendiri agak kesulitan. "Sebentar ya. Agak keras," katanya.Elyssa hanya mengangguk kecil.Tanpa diduga, Sean justru merusak keran itu, membuat air menyembur ke mana-mana.Elyssa terkejut saat air itu menyembur ke arahnya, membasahi kaos putihnya."Astaga, maaf," seru Sean panik. Ia buru-buru membuka bajunya dan m
Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.Tok tok tok!Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum."Kamu udah makan?" tanya Sean.Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya."M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. A
Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.“Kamu lagi nyari apa?”Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu
Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahk
"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup."Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”Kemudian, Albert memperke