Home / Rumah Tangga / Gairah Panas Suami Kontrak / 4. Tanda Tangan Kontrak

Share

4. Tanda Tangan Kontrak

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-06-23 12:54:41

“Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya. 

Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. 

“Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. 

Terdengar helaan napas  berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. 

Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya yang tidak lagi sempurna, tapi hingga kini tidak ada satu panggilan kerja pun yang menghubunginya. 

“Setelah enam bulan ini, masa sulit kita bakalan berlalu, Mas.” Aku berusaha meyakinkan. Memberikan genggaman untuk menguatkan. 

Tidak ada respons sama sekali. Mas Irsan hanya diam. Sorot mata itu tidak bisa berbohong bahwa ia masih berat melepaskan. Ada banyak ketakutan yang bisa kulihat di balik mata itu. Entah ketakutan akan apa. 

“Aku janji bakal setia, Mas.” Suaraku bergetar berucap. “Aku akan sering mengirim kabar, hubungi aku kalau kamu rindu.” Ada rasa bersalah dalam dada saat berucap demikian. Bahkan aku telah ingkar sebelum janji itu terucap. Mungkin hatiku bisa utuh untuknya, tapi tidak dengan fisik. Ada Celoz yang akan menikmati apa yang selama ini hanya ia yang bisa menikmati. 

Sejenak tidak ada suara sama sekali. Sengang, Mas Irsan tetap memilih diam. 

Bunyi bel rumah memecah keheningan. Aku tersenyum seraya bangkit berdiri, lalu pamit untuk membukakan pintu pada tamu yang datang. 

“Permisi, Bu, lagi nyari orang buat jadi pengasuh, ya?” Seorang wanita muda langsung bertanya setelah pintu kubukakan untuknya. 

Aku mengangguk mengiyakan, lalu mempersilakan ia untuk masuk agar kami bisa bicara banyak di dalam. 

“Sebelumnya sudah ada pengalaman?” Kuperhatikan ia secara saksama, meneliti dari gerak-geriknya. Sebab, aku butuh orang yang benar-benar bisa dipercaya. 

“Saya pernah jadi pengasuh lansia selama dua tahun, Bu.” Ia menjawab dengan penuh kesopanan. 

Sepertinya ia orang baik-baik. 

“Panggil mbak saja, jangan ibu. Lagian tampaknya kita seumuran.” 

Wanita itu mengangguk dengan lembut. 

“Perkenalkan dirimu!” Aku meminta, ingin tahu lebih jauh tentangnya. 

Ia mulai bercerita, namanya Reviana. Usia kami hanya berjarak tiga tahun saja, berasal dari salah satu desa di Surabaya. Berhenti bekerja setelah lansia yang ia asih meninggal dunia. 

“Kalau boleh tau, saya diminta buat ngasuh siapa, ya, Mbak?” Ia menatap sekitar. Rumah memang tampak sepi beberapa bulan ini, karena Mas Irsan tidak lagi seceria dulu. Ia lebih sering murung dan tidak ada semangat sama sekali. Itulah sebabnya aku sangat ingin ia segera sembuh, sebab kecelakaan itu telah merenggut semuanya. 

“Suami saya.” Aku menjawab dengan cepat, lalu bangkit berdiri dan beranjak menuju kamar. 

Mas Irsan tampak menatap ke luar jendela. Tatapan itu terlihat kosong, menerawang jauh ke depan sana. 

“Mas ....” Aku memanggil dengan lembut. 

Lelaki itu menoleh, menatapku dengan sorot entah. 

Aku tersenyum, lalu mendekat. Mendorong kursi rodanya keluar dari kamar untuk bertemu dengan Reviana. Menjelaskan semua pekerjaan yang akan ia lakukan. Menyiapkan apa pun keperluan dan kebutuhan Mas Irsan.

Namun, Mas Irsan menolak. “Aku bisa urus diriku sendiri.” Dari nada bicaranya, ia terdengar sedikit kesal. 

Aku menghela napas kasar. Tahu bahwa ia tersinggung dan merasa tidak berguna. Ia merasa tidak ada harga diri sejak aku yang bekerja sendiri untuk mencukupi kebutuhan rumah. 

“Aku tau kamu bisa urus diri sendiri, Mas. Aku minta Revi bekerja di sini buat nemanin kamu. Membantu kamu biar kamu gak kesusahan. Dia yang bakalan masak dan nyuciin baju kamu. Dia bakalan gantiin tugas aku, bukan buat gantiin tugas kamu.” Aku berusaha memberikan pengertian. 

Namun, ia tetap menolak. Berkata tidak membutuhkan bantuan siapa pun. 

Setelah berusaha memberikan pengertian untuk beberapa saat, akhirnya ia setuju juga. Namun dengan satu syarat, Reviana tidak boleh masuk ke dalam kamarnya. 

Aku setuju, setidaknya ia bisa menerima bantuan wanita itu. 

****

“Mas, aku ke luar sebentar. Mau bahas masalah keberangkatan.” Aku pamit pada Mas Irsan. Kali ini mengenakan pakaian yang sedikit tertutup agar ia merasa dihargai. 

Tidak ada jawaban, lelaki itu memilih diam. 

Aku berjalan mendekat, mengecup pipinya, lalu hendak berangkat pergi. Namun, lenganku langsung dicekal olehnya. 

“Mana cincinmu?” Mas Irsan menatap jemariku yang tampak polos tanpa ada cincin nikah sama sekali. 

Aku terdiam, tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Sebab, cincin itu telah kugadaikan kemarin untuk membayar semua tagihan, juga memenuhi bekal Mas Irsan sebelum aku pergi. Apalagi Reviana akan mulai bekerja besok. 

Mas Irsan melepas cincin miliknya, lalu melingkarkan cincin itu ke jari manisku. 

“Aku gak mau ada yang menggodamu karena mengira kau belum menikah.” Ia berucap dengan nada yang tidak seperti biasanya. 

Aku merasakan sesuatu di dada, perasaan yang belum pernah datang menyapa sebelumnya. Sikap Mas Irsan membuatku merasa ... entah. Aku tidak bisa menjabarkan perasaan ini. Kini aku tahu apa maksud dari keresahan yang selama ini kutangkap di balik wajahnya. Ia takut, takut aku tergoda dengan lelaki lain. 

“Kamu yang terbaik, Mas. Gak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.” Aku berucap dengan tegas. Hatiku terasa hangat saat ia mengecup jemariku dengan begitu lembut. 

Aku gegas berangkat setelah terdengar bunyi klakson dari halaman depan, pertanda taksi online yang kupesan telah datang. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju tempat tujuan. Celoz telah mengirim pesan beberapa kali sejak tadi, memberitahu bahwa ia sudah sampai dan tidak ingin menunggu lama. 

Aku lekas keluar setelah tiba di tempat tujuan. Membayar tagihan dan lekas berjalan dengan cepat menuju Celoz yang melambaikan tangan di sudut cafe. Kali ini pertemuan kami ia yang mengatur, mengajak bertemu di tempat yang lebih mewah dari sebelumnya. 

Aku hanya memesan minuman saat Celoz menawarkan. Sebab, harganya cukup menguras kantong, dan aku tengah ingin berhemat. 

“Aku yang menawarkan, jadi aku yang akan membayar.” Ia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan. 

Aku menolak, berkata bahwa tidak ingin makan. Jadi, ia mengalah dan hanya memesan minuman saja. 

“Aku ingin membaca kontraknya.” Aku ingin pertemuan ini cepat berakhir, tidak ingin basa-basi dan lekas memberikan data diri padanya, termasuk alamat rumahku. 

“Jangan buru-buru, kita tidak mengejar waktu.” Ia tampak sengaja ingin menunda membahas kontrak itu. 

“Usiamu 28 tahun? Aku pikir kau lebih muda dari itu.” Ia berkomentar saat membaca data diriku. “Kau ulang tahun minggu lalu? Waah, aku harus menyiapkan hadiah untukmu.” Ia lagi-lagi berkomentar. 

“Bisa aku lihat kontraknya sekarang? Aku masih ada urusan setelah ini.” Aku kembali meminta agar ia menyerahkan kontraknya. 

Celoz menatapku dengan tajam, seolah ingin menerkam. “Kau akan lebih cantik jika dadamu sedikit lebih terbuka dari itu.” Tatapannya turun ke bawah, tepat ke arah dada. Cepat, segera kututup bagian itu dengan kedua telapak tangan. 

Aku sedikit takut untuk melanjutkan, sebab Celoz begitu menakutkan. Namun, kuyakinkan diri bahwa tidak akan terjadi apa-apa. 

Demi Mas Irsan, aku harus bisa! 

Lelaki itu akhirnya menyerahkan kontrak yang kuminta. Kubaca satu persatu kalimat yang tertera di sana. Tidak ada yang aneh, semuanya tampak normal. Namun, ada satu hal yang membuatku menjadi ragu ketika membaca kalimat rela disetubuhi dengan keadaan dan posisi apa pun. 

“Aku tidak suka lewat belakang.” Aku berkomentar pada Celoz seraya menunjuk poin yang tidak kusetujui. Bagiku itu sedikit menjijikkan, sebab lubang itu tempat keluarnya kotoran. 

“Oke.” Hanya itu yang ia ucapkan. 

Selebihnya tidak ada yang membuatku merasa terganggu. Ada banyak perjanjian yang harus kubaca. Benar, ia memasukkan penalti di sana. Jika aku kabur sebelum kontrak berakhir, maka aku harus membayar padanya dua kali lipat dari perjanjian kami. 

Aku setuju, kurasa aku akan bertahan selama enam bulan. 

Kutandatangi kontrak itu setelah membaca semua poin yang ada. Ia ikut menandatangani. 

Minggu depan kontrak akan dimulai. Aku akan tinggal bersamanya di kota besar ibu kota Jakarta. Yang jaraknya hanya dua jam perjalanan dari tempat tinggalku bersama Mas Irsan. Aku harus berhati-hati agar tidak ketahuan. 

Setelah semuanya deal, aku bangkit hendak pulang. 

“Akan aku antar.” Celoz menawarkan. 

“Aku bisa pulang sendiri.” Aku menolak, sebab tidak ingin ia melihat Mas Irsan nanti. 

“Kau sudah tanda tangan kontrak, jadi kau tidak bisa membantah apa pun yang aku inginkan.” Ia menekan kalimatnya. Menunjukkan poin di mana menyebutkan bahwa aku harus menuruti semua kemauannya setelah kontrak ini ditandatangani hingga kontrak berakhir. 

Aku tidak bisa menolak, menuruti kemauannya untuk pulang bersama. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rna
semakin penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

  • Gairah Panas Suami Kontrak   51. Cerai

    Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga

  • Gairah Panas Suami Kontrak   50. Pendarahan

    Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den

  • Gairah Panas Suami Kontrak   49. Hampir Keguguran

    “Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”

  • Gairah Panas Suami Kontrak   48. Aku Menyerah

    Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status