“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti.
“Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. “Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. “Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. Lelaki itu hanya mengangguk dengan lembut. Terlihat berat melepas aku pergi, padahal ini hanya sebatas pertemuan, belum pamit untuk pergi selama enam bulan. Aku hanya bisa menggunakan taksi online. Sebab mobil kami sudah menjadi rongsokan setelah kecelakaan yang terjadi dulu. Dan hingga kini belum ada uang untuk membeli mobil baru.[Kamu masih lama? Celoz sudah datang. Jangan beri kesan buruk untuk pertemuan pertama.] Pesan masuk datang dari Suya. [Bentar lagi nyampe.] Aku membalas. Kemudian menarik napas dengan dalam, mencoba menetralkan detak jantung yang terasa kian lama kian berdetak dengan cepat. Aku merasa begitu gugup, bercampur dengan rasa takut. Mobil berhenti ketika kami tiba di depan sebuah cafe tempat pertemuan yang telah diatur oleh Suya. Kubayar tagihan pada si supir, lalu turun dari mobil seraya melepas outer di badan. Setidaknya Mas Irsan berpikir bahwa aku masih mengenakan itu. Dengan langkah ragu, aku berjalan menghampiri Suya dan Celoz yang telah menunggu sejak tadi. Debar di dada semakin tidak karuan, sungguh aku benar-benar takut sekarang. Aku tidak pernah tidur dengan lelaki mana pun selain Mas Irsan. Jadi, itu cukup membuatku merasa ... entah. Takut, gugup, malu, semua bercampur menjadi satu. Lelaki itu langsung melempar senyum saat tatapan kami beradu. Ternyata ia lebih tampan ketika bertemu secara langsung. Ada lesung di kedua pipinya, menambah tingkat manis dari senyum yang ia punya. “Hai.” Celoz menyapa dengan akrab. “Ha-halo.” Aku menjawab dengan gugup seraya menarik kursi untuk duduk. Keringat dingin mulai menyerang. Aku telah bertemu dengan banyak orang, mengikuti banyak acara penting saat meeting, tapi pertemuan kali ini membuat nyaliku begitu menciut. Keberanian mendadak menghilang. “Kau terlihat sedikit pemalu.” Celoz berkomentar setelah ia mengamati beberapa saat. Aku hanya bisa tersenyum, lalu mengusap tengkuk demi menutupi kegugupan. Bahkan kencan pertama dengan Mas Irsan dulu tidak terasa segugup ini. “Kau suka gaya apa?” Ia bertanya seraya menaikkan alis kanan. Menatapku dengan begitu tajam. Tatapannya semakin membuat nyaliku menciut. Aku mengerutkan dahi, lalu menyipitkan mata. Mencoba mencerna arti dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Style ala Korea lumayan menarik sih. Sekarang juga lagi trend di kalangan anak muda.” Aku menjawab sedikit gugup. Celoz langsung terbahak mendengar jawaban yang telontar dari mulutku. Seolah itu adalah hal lucu yang patut ditertawakan. “Kau tidak suka Korea? Ah ya, aku lupa jika hanya anak muda yang berasal dari kaumku yang suka Korea. Lelaki lebih suka Hollywood bukan?” Aku balik bertanya. Semakin heran karena kini Suya ikut menertawakan. “Aku paling suka doggy style.” Suya ikut menimbrung, seolah memberitahu bahwa aku telah salah mengira. Sialan! Kurasakan wajahku memanas. Ia bertanya masalah ranjang di tempat seperti ini? Kami bahkan baru pertama kali bertemu. Ah ya, aku lupa jika pertemuan kami untuk membahas masalah kontrak perkawinan. “Aku suka gaya apa saja. Yang penting ukuran dan durasi.” Aku semakin gugup dibuatnya. Kurasa ini sangat memalukan. Membahas masalah ranjang di hadapan orang yang baru kukenal. Celoz mengangguk tanda mengerti. “Asetku cukup besar dan panjang.” Ia memberitahu tanpa kutanya. Ayolah! Berhenti membahas masalah ini! Aku merasa ini tema yang menggelikan untuk dibahas sekarang. “Apa nilai kontraknya bisa dinaikkan?” Aku mencoba mengalihkan pembahasan. Menawar agar bayaran bisa sedikit lebih tinggi lagi. “Kau ingin berapa? Jika kau bisa memuaskanku di atas ranjang, aku bisa menuruti angka yang kau sebutkan.” Lelaki itu menatapku dengan sorot yang sulit untuk diartikan. “Aku ingin 30 juta masuk ke rekeningku setiap bulan.” Lelaki itu lagi-lagi terbahak. Gigi grahamnya tampak setiap kali ia tertawa. “Kau meremehkanku dengan hanya meminta angka serendah itu? Kau cukup cantik untuk kuberi angka di 50 juta setiap bulan.” Ia menjawab dengan enteng. Aku sedikit terkejut saat mendengar nominal yang ia sebutkan. Jika begini, aku bisa resign dari tempat kerja. Sebab, uang darinya saja sudah cukup untuk menutupi semua kebutuhan. “Untuk kontrak berapa lama?” Aku menatapnya dengan lekat. “Untuk percobaan, kita pakai kontrak yang enam bulan terlebih dahulu. Jika aku suka dengan cara kerjamu, kita bisa perpanjang masa kontraknya nanti. Atau bahkan kita bisa menikah secara resmi jika aku memang merasa cocok.” Ia menjawab dengan serius. Aku menatap Suya, meminta tanggapan darinya. Wanita itu mengangguk lembut sebagai jawaban. “Kapan kontraknya akan dimulai?” Aku ingin mengakhiri pertemuan ini secepatnya. Celoz tidak menjawab. Ia tampak tengah berpikir dengan sorot mata yang begitu fokus dalam menatapku. “Kapan suamimu meninggal?” Ia balik bertanya. Aku mengerutkan dahi, bingung ketika mendapat pertanyaan semacam itu. “Katanya kau ingin menjadi istri kontrak karena ditinggal mati suami dengan hutang di mana-mana.” Ia kembali menambahkan. Aku langsung menoleh pada Suya, menatap tajam sebagai bentuk protes atas info palsu yang telah ia berikan. Mas Irsan belum mati! Dan kuharap ia tidak akan mati secepat itu. “Lima bulan lalu.” Suya yang menjawah. “Kau tidak perlu cek kesehatan. Dia sehat lahir dan batin. Masalah hubungan ranjang, sudah lama ia tidak mendapatkan sentuhan. Jadi, kau akan beruntung karena ia akan bermain dengan sangat brutal nanti.” Wanita itu menambahkan. Aku semakin melotot pada Suya. Protes karena ia semakin mengada-ada. Celoz tersenyum, lalu manggut-manggut tanda mengerti. Aku hendak membantah, tapi langsung ditahan oleh Suya. Ia memberi isyarat agar aku mengikuti arus pembicaraan mereka. “Kapan kita bisa bertemu lagi untuk membahas lebih dalam masalah kontrak sekalian tanda tangan di atas materai?” Celoz menatapku. Sejak tadi ia tidak mengalihkan pandang sedikit pun, membuatku menjadi risih karena ditatap seperti itu. “Lebih cepat lebih baik, untuk pertemuan selanjutnya aku tidak bisa mendampingi karena harus balik ke kota tempat suamiku bekerja.” Suya ingin lepas tangan. Aku langsung menoleh, tidak berani jika bertemu dengan Celoz sendirian. “Besok kita bertemu lagi, aku minta semua data dirimu. Jika kau kabur saat kontrak belum usai, aku bisa mencarimu untuk minta penalti.” “Penalti?” Aku mengulang ucapannya.“Iya. Ada penalti yang harus dibayar jika salah satu dari kita melanggar kontrak.” Dia menegaskan. “Jangan berlebihan. Kontrak seperti biasanya saja, aku sudah hapal masalah yang seperti ini. Tidak ada penalti untuk itu.” Suya membantah. “Memang tidak ada, tapi kali ini aku ingin. Karena aku melihat keraguan di matanya. Jadi, aku hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan kabur sebelum masa kontrak berakhir.” Celoz sedikit menakutkan! “Aku setuju.” Aku langsung menyetujui. Sebab, tiga ratus juta sudah pasti akan kudapatkan selama enam bulan menjadi istrinya. Itu sudah lebih dari cukup.“Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya. Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. “Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. Terdengar helaan napas berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya
Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan
“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray
Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Ekspresi Celoz selalu berubah ketika aku membahas mengenai Masalah Irsan. Sekarang aku tahu apa hal yang tidak ia sukai, setidaknya aku bisa meminimalisir kekesalannya.Mobil berhenti ketika kami tiba kembali di parkiran apartemen. Hari sudah mulai memasuki petang. Aku mengikuti setiap langkah lelaki itu menuju apartemen miliknya. “Kau masuklah dan tunggu di dalam. Aku akan segera kembali.” Celoz berucap setelah ia membukakan pintu untukku. “Kau mau ke mana?” Aku menahan pintu saat ia hendak menutup kembali. “Kau tidak perlu tahu.”“Setidaknya beritahu aku kode pintu, biar aku bisa keluar jika butuh sesuatu.” Aku menatap dengan penuh harap. Jika ia memberitahu kodenya, aku bisa kabur sewaktu-waktu jika seandainya ia memang seburuk yang ada dalam pikiranku. “Kau tidak butuh itu. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di dalam sana.” Ia menutup pintu dengan cepat setelah berucap demikian. Aku dikurung sendirian. Aku berdecak kesal. Ternyata ia tidak mudah untuk dibodohi. Bahkan unt