Share

3. Tawar Menawar

“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. 

“Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. 

“Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. 

Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. 

Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. 

“Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. 

Lelaki itu hanya mengangguk dengan lembut. Terlihat berat melepas aku pergi, padahal ini hanya sebatas pertemuan, belum pamit untuk pergi selama enam bulan. 

Aku hanya bisa menggunakan taksi online. Sebab mobil kami sudah menjadi rongsokan setelah kecelakaan yang terjadi dulu. Dan hingga kini belum ada uang untuk membeli mobil baru.

[Kamu masih lama? Celoz sudah datang. Jangan beri kesan buruk untuk pertemuan pertama.] Pesan masuk datang dari Suya. 

[Bentar lagi nyampe.] Aku membalas. Kemudian menarik napas dengan dalam, mencoba menetralkan detak jantung yang terasa kian lama kian berdetak dengan cepat. Aku merasa begitu gugup, bercampur dengan rasa takut. 

Mobil berhenti ketika kami tiba di depan sebuah cafe tempat pertemuan yang telah diatur oleh Suya. Kubayar tagihan pada si supir, lalu turun dari mobil seraya melepas outer di badan. Setidaknya Mas Irsan berpikir bahwa aku masih mengenakan itu. 

Dengan langkah ragu, aku berjalan menghampiri Suya dan Celoz yang telah menunggu sejak tadi. Debar di dada semakin tidak karuan, sungguh aku benar-benar takut sekarang. 

Aku tidak pernah tidur dengan lelaki mana pun selain Mas Irsan. Jadi, itu cukup membuatku merasa ... entah. Takut, gugup, malu, semua bercampur menjadi satu. 

Lelaki itu langsung melempar senyum saat tatapan kami beradu. Ternyata ia lebih tampan ketika bertemu secara langsung. Ada lesung di kedua pipinya, menambah tingkat manis dari senyum yang ia punya. 

“Hai.” Celoz menyapa dengan akrab. 

“Ha-halo.” Aku menjawab dengan gugup seraya menarik kursi untuk duduk. 

Keringat dingin mulai menyerang. Aku telah bertemu dengan banyak orang, mengikuti banyak acara penting saat meeting, tapi pertemuan kali ini membuat nyaliku begitu menciut. Keberanian mendadak menghilang. 

“Kau terlihat sedikit pemalu.” Celoz berkomentar setelah ia mengamati beberapa saat. 

Aku hanya bisa tersenyum, lalu mengusap tengkuk demi menutupi kegugupan. Bahkan kencan pertama dengan Mas Irsan dulu tidak terasa segugup ini. 

“Kau suka gaya apa?” Ia bertanya seraya menaikkan alis kanan. Menatapku dengan begitu tajam. Tatapannya semakin membuat nyaliku menciut. 

Aku mengerutkan dahi, lalu menyipitkan mata. Mencoba mencerna arti dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. 

“Style ala Korea lumayan menarik sih. Sekarang juga lagi trend di kalangan anak muda.” Aku menjawab sedikit gugup. 

Celoz langsung terbahak mendengar jawaban yang telontar dari mulutku. Seolah itu adalah hal lucu yang patut ditertawakan. 

“Kau tidak suka Korea? Ah ya, aku lupa jika hanya anak muda yang berasal dari kaumku yang suka Korea. Lelaki lebih suka Hollywood bukan?” Aku balik bertanya. Semakin heran karena kini Suya ikut menertawakan. 

“Aku paling suka doggy style.” Suya ikut menimbrung, seolah memberitahu bahwa aku telah salah mengira. 

Sialan! 

Kurasakan wajahku memanas. Ia bertanya masalah ranjang di tempat seperti ini? Kami bahkan baru pertama kali bertemu. 

Ah ya, aku lupa jika pertemuan kami untuk membahas masalah kontrak perkawinan. 

“Aku suka gaya apa saja. Yang penting ukuran dan durasi.” Aku semakin gugup dibuatnya. Kurasa ini sangat memalukan. Membahas masalah ranjang di hadapan orang yang baru kukenal. 

Celoz mengangguk tanda mengerti. “Asetku cukup besar dan panjang.” Ia memberitahu tanpa kutanya. 

Ayolah! Berhenti membahas masalah ini! Aku merasa ini tema yang menggelikan untuk dibahas sekarang. 

“Apa nilai kontraknya bisa dinaikkan?” Aku mencoba mengalihkan pembahasan. Menawar agar bayaran bisa sedikit lebih tinggi lagi. 

“Kau ingin berapa? Jika kau bisa memuaskanku di atas ranjang, aku bisa menuruti angka yang kau sebutkan.” Lelaki itu menatapku dengan sorot yang sulit untuk diartikan. 

“Aku ingin 30 juta masuk ke rekeningku setiap bulan.” 

Lelaki itu lagi-lagi terbahak. Gigi grahamnya tampak setiap kali ia tertawa. 

“Kau meremehkanku dengan hanya meminta angka serendah itu? Kau cukup cantik untuk kuberi angka di 50 juta setiap bulan.” Ia menjawab dengan enteng. 

Aku sedikit terkejut saat mendengar nominal yang ia sebutkan. Jika begini, aku bisa resign dari tempat kerja. Sebab, uang darinya saja sudah cukup untuk menutupi semua kebutuhan. 

“Untuk kontrak berapa lama?” Aku menatapnya dengan lekat. 

“Untuk percobaan, kita pakai kontrak yang enam bulan terlebih dahulu. Jika aku suka dengan cara kerjamu, kita bisa perpanjang masa kontraknya nanti. Atau bahkan kita bisa menikah secara resmi jika aku memang merasa cocok.”  Ia menjawab dengan serius. 

Aku menatap Suya, meminta tanggapan darinya. Wanita itu mengangguk lembut sebagai jawaban. 

“Kapan kontraknya akan dimulai?” Aku ingin mengakhiri pertemuan ini secepatnya. 

Celoz tidak menjawab. Ia tampak tengah berpikir dengan sorot mata yang begitu fokus dalam menatapku. 

“Kapan suamimu meninggal?” Ia balik bertanya. 

Aku mengerutkan dahi, bingung ketika mendapat pertanyaan semacam itu. 

“Katanya kau ingin menjadi istri kontrak karena ditinggal mati suami dengan hutang di mana-mana.” Ia kembali menambahkan. 

Aku langsung menoleh pada Suya, menatap tajam sebagai bentuk protes atas info palsu yang telah ia berikan. 

Mas Irsan belum mati! Dan kuharap ia tidak akan mati secepat itu. 

“Lima bulan lalu.” Suya yang menjawah. “Kau tidak perlu cek kesehatan. Dia sehat lahir dan batin. Masalah hubungan ranjang, sudah lama ia tidak mendapatkan sentuhan. Jadi, kau akan beruntung karena ia akan bermain dengan sangat brutal nanti.” Wanita itu menambahkan. 

Aku semakin melotot pada Suya. Protes karena ia semakin mengada-ada. 

Celoz tersenyum, lalu manggut-manggut tanda mengerti. 

Aku hendak membantah, tapi langsung ditahan oleh Suya. Ia memberi isyarat agar aku mengikuti arus pembicaraan mereka. 

“Kapan kita bisa bertemu lagi untuk membahas lebih dalam masalah kontrak sekalian tanda tangan di atas materai?” Celoz menatapku. Sejak tadi ia tidak mengalihkan pandang sedikit pun, membuatku menjadi risih karena ditatap seperti itu. 

“Lebih cepat lebih baik, untuk pertemuan selanjutnya aku tidak bisa mendampingi karena harus balik ke kota tempat suamiku bekerja.” Suya ingin lepas tangan. 

Aku langsung menoleh, tidak berani jika bertemu dengan Celoz sendirian. 

“Besok kita bertemu lagi, aku minta semua data dirimu. Jika kau kabur saat kontrak belum usai, aku bisa mencarimu untuk minta penalti.” 

“Penalti?” Aku mengulang ucapannya.

“Iya. Ada penalti yang harus dibayar jika salah satu dari kita melanggar kontrak.” Dia menegaskan. 

“Jangan berlebihan. Kontrak seperti biasanya saja, aku sudah hapal masalah yang seperti ini. Tidak ada penalti untuk itu.” Suya membantah. 

“Memang tidak ada, tapi kali ini aku ingin. Karena aku melihat keraguan di matanya. Jadi, aku hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan kabur sebelum masa kontrak berakhir.” 

Celoz sedikit menakutkan! 

“Aku setuju.” Aku langsung menyetujui. Sebab, tiga ratus juta sudah pasti akan kudapatkan selama enam bulan menjadi istrinya. Itu sudah lebih dari cukup.

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status