Share

3. Tawar Menawar

Penulis: Rich Ghali
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-23 12:54:15

“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. 

“Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. 

“Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. 

Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. 

Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. 

“Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. 

Lelaki itu hanya mengangguk dengan lembut. Terlihat berat melepas aku pergi, padahal ini hanya sebatas pertemuan, belum pamit untuk pergi selama enam bulan. 

Aku hanya bisa menggunakan taksi online. Sebab mobil kami sudah menjadi rongsokan setelah kecelakaan yang terjadi dulu. Dan hingga kini belum ada uang untuk membeli mobil baru.

[Kamu masih lama? Celoz sudah datang. Jangan beri kesan buruk untuk pertemuan pertama.] Pesan masuk datang dari Suya. 

[Bentar lagi nyampe.] Aku membalas. Kemudian menarik napas dengan dalam, mencoba menetralkan detak jantung yang terasa kian lama kian berdetak dengan cepat. Aku merasa begitu gugup, bercampur dengan rasa takut. 

Mobil berhenti ketika kami tiba di depan sebuah cafe tempat pertemuan yang telah diatur oleh Suya. Kubayar tagihan pada si supir, lalu turun dari mobil seraya melepas outer di badan. Setidaknya Mas Irsan berpikir bahwa aku masih mengenakan itu. 

Dengan langkah ragu, aku berjalan menghampiri Suya dan Celoz yang telah menunggu sejak tadi. Debar di dada semakin tidak karuan, sungguh aku benar-benar takut sekarang. 

Aku tidak pernah tidur dengan lelaki mana pun selain Mas Irsan. Jadi, itu cukup membuatku merasa ... entah. Takut, gugup, malu, semua bercampur menjadi satu. 

Lelaki itu langsung melempar senyum saat tatapan kami beradu. Ternyata ia lebih tampan ketika bertemu secara langsung. Ada lesung di kedua pipinya, menambah tingkat manis dari senyum yang ia punya. 

“Hai.” Celoz menyapa dengan akrab. 

“Ha-halo.” Aku menjawab dengan gugup seraya menarik kursi untuk duduk. 

Keringat dingin mulai menyerang. Aku telah bertemu dengan banyak orang, mengikuti banyak acara penting saat meeting, tapi pertemuan kali ini membuat nyaliku begitu menciut. Keberanian mendadak menghilang. 

“Kau terlihat sedikit pemalu.” Celoz berkomentar setelah ia mengamati beberapa saat. 

Aku hanya bisa tersenyum, lalu mengusap tengkuk demi menutupi kegugupan. Bahkan kencan pertama dengan Mas Irsan dulu tidak terasa segugup ini. 

“Kau suka gaya apa?” Ia bertanya seraya menaikkan alis kanan. Menatapku dengan begitu tajam. Tatapannya semakin membuat nyaliku menciut. 

Aku mengerutkan dahi, lalu menyipitkan mata. Mencoba mencerna arti dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. 

“Style ala Korea lumayan menarik sih. Sekarang juga lagi trend di kalangan anak muda.” Aku menjawab sedikit gugup. 

Celoz langsung terbahak mendengar jawaban yang telontar dari mulutku. Seolah itu adalah hal lucu yang patut ditertawakan. 

“Kau tidak suka Korea? Ah ya, aku lupa jika hanya anak muda yang berasal dari kaumku yang suka Korea. Lelaki lebih suka Hollywood bukan?” Aku balik bertanya. Semakin heran karena kini Suya ikut menertawakan. 

“Aku paling suka doggy style.” Suya ikut menimbrung, seolah memberitahu bahwa aku telah salah mengira. 

Sialan! 

Kurasakan wajahku memanas. Ia bertanya masalah ranjang di tempat seperti ini? Kami bahkan baru pertama kali bertemu. 

Ah ya, aku lupa jika pertemuan kami untuk membahas masalah kontrak perkawinan. 

“Aku suka gaya apa saja. Yang penting ukuran dan durasi.” Aku semakin gugup dibuatnya. Kurasa ini sangat memalukan. Membahas masalah ranjang di hadapan orang yang baru kukenal. 

Celoz mengangguk tanda mengerti. “Asetku cukup besar dan panjang.” Ia memberitahu tanpa kutanya. 

Ayolah! Berhenti membahas masalah ini! Aku merasa ini tema yang menggelikan untuk dibahas sekarang. 

“Apa nilai kontraknya bisa dinaikkan?” Aku mencoba mengalihkan pembahasan. Menawar agar bayaran bisa sedikit lebih tinggi lagi. 

“Kau ingin berapa? Jika kau bisa memuaskanku di atas ranjang, aku bisa menuruti angka yang kau sebutkan.” Lelaki itu menatapku dengan sorot yang sulit untuk diartikan. 

“Aku ingin 30 juta masuk ke rekeningku setiap bulan.” 

Lelaki itu lagi-lagi terbahak. Gigi grahamnya tampak setiap kali ia tertawa. 

“Kau meremehkanku dengan hanya meminta angka serendah itu? Kau cukup cantik untuk kuberi angka di 50 juta setiap bulan.” Ia menjawab dengan enteng. 

Aku sedikit terkejut saat mendengar nominal yang ia sebutkan. Jika begini, aku bisa resign dari tempat kerja. Sebab, uang darinya saja sudah cukup untuk menutupi semua kebutuhan. 

“Untuk kontrak berapa lama?” Aku menatapnya dengan lekat. 

“Untuk percobaan, kita pakai kontrak yang enam bulan terlebih dahulu. Jika aku suka dengan cara kerjamu, kita bisa perpanjang masa kontraknya nanti. Atau bahkan kita bisa menikah secara resmi jika aku memang merasa cocok.”  Ia menjawab dengan serius. 

Aku menatap Suya, meminta tanggapan darinya. Wanita itu mengangguk lembut sebagai jawaban. 

“Kapan kontraknya akan dimulai?” Aku ingin mengakhiri pertemuan ini secepatnya. 

Celoz tidak menjawab. Ia tampak tengah berpikir dengan sorot mata yang begitu fokus dalam menatapku. 

“Kapan suamimu meninggal?” Ia balik bertanya. 

Aku mengerutkan dahi, bingung ketika mendapat pertanyaan semacam itu. 

“Katanya kau ingin menjadi istri kontrak karena ditinggal mati suami dengan hutang di mana-mana.” Ia kembali menambahkan. 

Aku langsung menoleh pada Suya, menatap tajam sebagai bentuk protes atas info palsu yang telah ia berikan. 

Mas Irsan belum mati! Dan kuharap ia tidak akan mati secepat itu. 

“Lima bulan lalu.” Suya yang menjawah. “Kau tidak perlu cek kesehatan. Dia sehat lahir dan batin. Masalah hubungan ranjang, sudah lama ia tidak mendapatkan sentuhan. Jadi, kau akan beruntung karena ia akan bermain dengan sangat brutal nanti.” Wanita itu menambahkan. 

Aku semakin melotot pada Suya. Protes karena ia semakin mengada-ada. 

Celoz tersenyum, lalu manggut-manggut tanda mengerti. 

Aku hendak membantah, tapi langsung ditahan oleh Suya. Ia memberi isyarat agar aku mengikuti arus pembicaraan mereka. 

“Kapan kita bisa bertemu lagi untuk membahas lebih dalam masalah kontrak sekalian tanda tangan di atas materai?” Celoz menatapku. Sejak tadi ia tidak mengalihkan pandang sedikit pun, membuatku menjadi risih karena ditatap seperti itu. 

“Lebih cepat lebih baik, untuk pertemuan selanjutnya aku tidak bisa mendampingi karena harus balik ke kota tempat suamiku bekerja.” Suya ingin lepas tangan. 

Aku langsung menoleh, tidak berani jika bertemu dengan Celoz sendirian. 

“Besok kita bertemu lagi, aku minta semua data dirimu. Jika kau kabur saat kontrak belum usai, aku bisa mencarimu untuk minta penalti.” 

“Penalti?” Aku mengulang ucapannya.

“Iya. Ada penalti yang harus dibayar jika salah satu dari kita melanggar kontrak.” Dia menegaskan. 

“Jangan berlebihan. Kontrak seperti biasanya saja, aku sudah hapal masalah yang seperti ini. Tidak ada penalti untuk itu.” Suya membantah. 

“Memang tidak ada, tapi kali ini aku ingin. Karena aku melihat keraguan di matanya. Jadi, aku hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan kabur sebelum masa kontrak berakhir.” 

Celoz sedikit menakutkan! 

“Aku setuju.” Aku langsung menyetujui. Sebab, tiga ratus juta sudah pasti akan kudapatkan selama enam bulan menjadi istrinya. Itu sudah lebih dari cukup.

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rna
seruuuuuuuuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

  • Gairah Panas Suami Kontrak   51. Cerai

    Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga

  • Gairah Panas Suami Kontrak   50. Pendarahan

    Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den

  • Gairah Panas Suami Kontrak   49. Hampir Keguguran

    “Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”

  • Gairah Panas Suami Kontrak   48. Aku Menyerah

    Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status