Share

5. Mas, Sentuh Aku!

Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. 

Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. 

Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja.  

Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. 

Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. 

Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan gairah. 

Ia kembali melakukan hal serupa. Namun, kali ini ia berusaha menelusup dari ujung dress. Hendak mengelus pahaku tanpa ada kain sebagai penghalang. 

“Hentikan!” Aku membentak. Segera kutarik tangannya dari sana. Aku merasa panas sekarang, setelah telapak tangan kasar itu  bersentuhan dengan kulit pahaku. 

Elusannya hanya sebentar, tapi meninggalkan kesan yang begitu dalam. Aku merasa sangat terangsang. 

Celoz tertawa setelah kembali mendapatkan penolakan. Seolah ia menyukai ekspresi takut dan tidak suka yang aku tunjukkan. 

“Kau tampak semakin cantik dengan pipi memerah seperti itu.” Ia malah memberikan pujian. 

Aku membuang muka, menatap ke luar jendela dengan jemari saling tertaut. Mencoba mengenyahkan rasa takut. 

Tangannya kembali menyerang, kini ke bagian dada. Aku harus menepis tangannya berulang kali, tapi tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menginginkan dan menikmati. Namun, tidak bisa membiarkan tangannya bermain di sana lebih lama setelah kilatan senyum Mas Irsan lewat di pikiran. 

Semakin lama aku berada di di mobil bersama Celoz, semakin aku merasa tersiksa. 

“Aku turun di sini.” Aku berucap dengan suara gemetar saat kami hampir tiba di rumah. Sungguh, aku benar-benar sudah tidak tahan duduk di dekatnya. Tangannya selalu bergerilya ke mana-mana. Aku takut pertahananku akan runtuh dibuatnya. 

“Rumahmu yang mana?” Ia menghentikan laju mobil setelah aku meminta. 

“Rumahku yang itu, tapi aku tidak bisa pulang sekarang karena masih ada urusan. Kau pulanglah, pasti ada banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan.” Aku menunjuk salah satu rumah dengan asal. Berharap ia akan percaya dan lekas pergi secepatnya. 

Aku lekas turun dan berjalan dengan cepat menuju arah yang berlawanan dengan rumah. Beberapa saat mobil putih itu masih bertengger di sana ketika aku menoleh sekilas. 

Ponsel dalam tas bergetar, aku merogoh untuk meraih benda pipih itu. Membaca pesan masuk yang datang dari Celoz. Ada sebuah foto yang ia kirim, foto rumah yang tadi kutunjuk dan akui sebagai rumahku. Entah rumah siapa itu.

[Aku jemput minggu depan di sini. Kau tidak perlu bawa apa-apa.] Begitu keterangan yang menyertai foto itu. 

 Pesan hanya kubaca dan tidak berniat untuk membalasnya. Menit berikutnya mobil itu melewatiku dengan kecepatan tinggi. Suara bising dari mobilnya masih tertinggal saat bokong mobil itu bahkan telah menghilang dari pandangan. 

Aku kembali berbalik setelah memastikan Celoz benar-benar pergi. Berjalan cepat menuju rumah, sebab tiba-tiba ada rasa rindu yang menyelinap masuk ke dalam rongga dada. Rindu pada sentuhan Mas Irsan. 

“Mas!” Aku memanggil dengan nada sedikit tinggi saat tiba di rumah. Membuka pintu yang tidak pernah terkunci ketika aku pergi, lalu menutupnya kembali. 

Kulempar handbag ke atas sofa, melepas hight heels dan membuangnya secara asal, lalu sedikit berlari mencari Mas Irsan. Dia tidak ada di kamar. 

“Sayang!” Aku memanggil seraya mencari ke tempat lain. 

Setelah menelusuri semua sudut rumah, akhirnya kudapati ia tengah duduk termenung di teras belakang. Ia pasti mendengar panggilan yang aku gemakan, tapi memilih diam. 

“Mas ....” Aku kembali memanggil, kali ini napas sudah tidak terkontrol dengan baik. 

Lekas kupeluk lelaki itu dari belakang. Aku harus membungkuk saat tengkuknya kukecup dengan lembut. Aroma wangi yang menguar dari tubuhnya semakin meningkatkan libido yang telah bangkit sejak tadi. 

Mas Irsan membalas mengecup jemariku. Diusapnya lenganku dengan begitu lembut. Aku bisa merasakan ada cinta di setiap elusan yang ia berikan. 

“Mas, sentuh aku.” Aku meminta dengan penuh harap. Sedikit memelas. 

Tanpa menunggu jawaban, langsung kudorong kursi rodanya menuju kamar. Membantu ia untuk pindah dari kursi roda ke ranjang. 

“Terjadi sesuatu padamu? Kenapa kau tiba-tiba minta disentuh?” Mas Irsan bertanya dengan heran. Kening itu tampak begitu berkerut, menatap dengan heran. 

Aku tidak menjawab, segera kulepas dress dan semua perintilan hingga tidak ada yang tersisa di badan. Sebab, kurasakan bagian bawah telah basah karena begitu terangsang. 

“Nina, ada apa denganmu?” Mas Irsan semakin bingung saat ia kudorong dengan sedikit kasar. Lalu kunaiki tubuhnya dengan cepat. 

“Mas, sentuh aku.” Lagi, aku mengulang kalimat yang sama. Suaraku terdengar semakin gemetar dengan jelas. Kuarahkan kedua telapak tangannya menuju dada. 

“Sayang.” Ia memanggil dengan lembut. “Aku akan menyentuhmu jika aku bisa, bahkan tanpa kau minta.” Suaranya terdengar lemah, tapi penuh penekanan. 

Aku menatap manik matanya dengan dalam. Nafsu telah berada di puncak paling tinggi sekarang. Sungguh, aku tidak bisa menahannya untuk kali ini. 

Kukecup bibir Mas Irsan dengan lembut. Perlahan kecupan itu berubah menjadi lumatan yang begitu brutal. Kugigit bibirnya sedikit kasar karena tidak ada balasan. Mas Irsan membuka mulut setelah bibirnya mendapat gigitan. Lidahku mulai menerobos masuk, mengukur luas mulutnya yang sudah lama tidak kumasuki dengan lidahku. 

Tangan kanan Mas Irsan kubawa ke bawah. Meminta ia untuk memainkan yang telah basah di bawah sana. Namun, ia tarik kembali tangan itu. 

“Nina.” Mas Irsan memanggil dengan lembut saat lumatan kulepas setelah stock oksigen menipis. Sepasang mata indah itu seolah protes akan apa yang telah kulakukan terhadapnya. 

Kurasakan mata memanas seketika. Aku menjatuhkan diri tepat di sisi kanannya. Lalu, menangis di sana. Sebab, tidak mampu menahan nafsu hingga memaksanya seperti itu. 

Mas Irsan menyamping. Ia membawaku ke dalam dekapan. Berusaha menenangkan. Diusapnya wajahku yang telah basah oleh air mata dan keringat. 

“Maafkan aku.” Ia merasa bersalah untuk permintaan yang tidak bisa ia kabulkan. 

Aku menghentikan tangisan. Menatap sepasang matanya dengan sangat dalam. Mata yang hanya berjarak beberapa senti dariku itu, masih saja menatap dengan penuh cinta. 

Aku membalas dekapannya. Semakin merapatkan tubuh dan menempelkan wajah di lehernya. Kemudian kembali menangis di sana. Merasa bersalah karena telah membuat ia kembali merasa gagal menjadi seorang suami. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status