Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel
Ekspresi Celoz selalu berubah ketika aku membahas mengenai Masalah Irsan. Sekarang aku tahu apa hal yang tidak ia sukai, setidaknya aku bisa meminimalisir kekesalannya.Mobil berhenti ketika kami tiba kembali di parkiran apartemen. Hari sudah mulai memasuki petang. Aku mengikuti setiap langkah lelaki itu menuju apartemen miliknya. “Kau masuklah dan tunggu di dalam. Aku akan segera kembali.” Celoz berucap setelah ia membukakan pintu untukku. “Kau mau ke mana?” Aku menahan pintu saat ia hendak menutup kembali. “Kau tidak perlu tahu.”“Setidaknya beritahu aku kode pintu, biar aku bisa keluar jika butuh sesuatu.” Aku menatap dengan penuh harap. Jika ia memberitahu kodenya, aku bisa kabur sewaktu-waktu jika seandainya ia memang seburuk yang ada dalam pikiranku. “Kau tidak butuh itu. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu di dalam sana.” Ia menutup pintu dengan cepat setelah berucap demikian. Aku dikurung sendirian. Aku berdecak kesal. Ternyata ia tidak mudah untuk dibodohi. Bahkan unt
Aku bersyukur tidak terjadi apa pun di antar kami hingga pagi ini. Celoz hanya tidur di ranjang, tidak ingin menyentuh sama sekali. Ia tampak begitu lelah, hingga masih terlelap saat aku terbangun dari tidur. Aku turun dari ranjang, memilah pakaian di lemari. Yang sekiranya paling tertutup di antara baju yang tergantung di sana. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Celoz masih larut dalam tidurnya saat aku keluar dari kamar mandi. Aku meraih ponsel yang mati sejak semalam, menyalakannya kembali. Ada banyak notif pesan masuk dari Mas Irsan. Dugaanku benar, dia mengira aku marah karena perdebatan semalam. Aku berjalan menuju luar, duduk dengan lembut di sofa sembari mengetik pesan balasan. [Hpku lowbat semalam, Mas. Maaf udah buat kamu khawatir.] Centang abu langsung berubah jadi biru. Tampaknya ia memang menunggu kabar dariku. [Aku gak bisa tidur karena mikirin kamu.] Pesan balasan langsung datang tidak sampai semenit kemudian. Aku menghela napas dalam. “Nina!” Celoz memanggil
Kurasakan kedua lutut gemetar saat ia mendekat dengan sabuk itu. Sabuk hitam panjang yang terbuat dari kulit. Rasa takut telah berada di puncak paling tinggi sekarang. Sedetik pun tidak kualihkan pandang darinya, berjaga-jaga jika ia ingin melecut dengan sabuk itu. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Aku menarik napas lega saat Celoz berbalik dan berjalan menuju televisi. Berpikir bahwa ia akan mengurungkan niatnya untuk bercinta. Ternyata dugaanku salah. Ia ke sana untuk memutar dvd. Menayangkan pertempuran hebat antara seorang wanita dengan tiga lelaki.Celoz kembali mendekat padaku, ia memaksa agar aku menonton video itu. Menahan wajahku agar tidak mengalihkan pandang sedikitpun dari layar televisi di depan sana. Perutku rasanya diaduk saat menonton tayangan wanita yang disiksa saat bercinta. Aku menutup mata, tidak sanggup menyaksikan semuanya. “Buka matamu!” Celoz membentak. Pipiku dicengkeramnya dengan kuat. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan jidat. Kini bukan hanya ka
“Buka pintunya, Nina!” Celoz mengetuk pintu agak keras. Aku tetap diam, tidak ingin membukakan. Semua hal yang telah ia lakukan, menciptakan rasa takut yang dalam. Mendengar suaranya saja bahkan membuat jantungku berdetak dengan sangat kencang. “Sayang, buka pintunya!” Kali ini ia menggunakan kata sayang di ujung namaku. Panggilannya begitu sopan memasuki lubang telinga. Begitu lembut membentur indra pendengaran. Namun, aku tetap memilih diam. Sama sekali tidak ingin membukakan. “Jangan buat aku marah, Nina!” Nada bicaranya mulai terdengar berubah. Kuusap wajah yang basah karena air mata. Menarik napas dalam, kemudian membuka pintu dengan pelan. Tatapan itu langsung menyambut dengan lembut. Senyum di bibirnya semakin membuatku merasa takut. “Kau baik-baik saja?” Ia bertanya seolah menaruh peduli, sementara luka lebam dan bengkak di tubuhku adalah hasil dari kekejamannya. Aku hanya diam, bahu masih naik turun karena isak yang tidak bisa dihentikan. Aku mundur saat Celoz mengang
“Sayang ....” Mas Irsan memanggil dengan lembut, sebab aku hanya diam sejak tadi. “Maaf, Mas. Aku gak bisa. Udah dulu ya, telfonnya aku matiin.” Aku tetap menolak untuk beralih ke panggilan video. Mata kian terasa memanas di tengah ruang dingin ber-AC. Menahan tangis sejak tadi agar Mas Irsan tidak disinggahi oleh rasa khawatir sama sekali. “Jangan dimatiin dulu, aku masih pengen ngobrol sama kamu. Kamu lanjutin aja tugas kamu, panggilannya jangan diputus.” Mas Irsan berucap dengan penuh harap. Kujauhkan ponsel dari wajah ketika isak tangis akhirnya pecah, tidak sanggup menahan diri untuk menahan sesak lebih lama lagi. Hening, tidak ada suara sama sekali. “Mas, obatnya diminum dulu.” Terdengar samar suara Reviana dari dalam ponsel ketika meminta Mas Irsan untuk meminum obat. Kuhela napas dengan dalam saat dada semakin terasa sesak. Harusnya aku yang berada di sana, mengingatkan dan memberikan ia butiran obat. Mengurus ia dengan sangat baik layaknya istri yang mengabdi pada suam
Celoz mengambil piama berbentuk kimono yang tergantung di lemari, kemudian memasangkannya ke tubuhku. Sebab, aku masih merasa nyeri jika mengenakan baju ketat. Ia benar-benar begitu perhatian. Memandikan, memasangkan baju, lalu menyuapi. Aku benar-benar dirawat dengan sangat baik olehnya. Seolah aku orang yang berharga baginya. Selalu menyempatkan diri untuk merawat di sela kesibukannya dalam bekerja. Entah bagaimana jalan pikiran lelaki itu. Ia yang menyiksa, ia juga yang menyembuhkan lukanya. Aku tidak tahu apa yang salah dengannya. Celoz menoleh jam berkali-kali sejak tadi. Ia menarik napas berat, kemudian berucap. “Aku harus berangkat kerja sekarang. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu.” Ia berpesan. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memberikan kecupan lembut di kening, kemudian beranjak pergi setelahnya. Tidak lupa ia mengunci pintu kamar agar aku tidak bisa ke mana-mana. Dering ponsel berbunyi sesaat setelah Celoz pergi. Aku meraih benda pipih itu, menatap nama
Celoz setengah menyeret menuju kamar. Aku berusaha menahan langkah, menolak saat ia meminta untuk berhubungan badan. Namun, cengkeramannya di pergelangan tangan tidak ingin dilepas sama sekali. “Selangkanganku masih terasa nyeri.” Aku memberikan alasan, berharap ia akan merasa kasihan. Sebab, memang masih tersisa sedikit rasa perih di sana ketika dibawa berjalan. “Aku akan pelan.” Ia membalas seraya terus menyeretku menuju kamar. Aku menggeleng, berusaha kabur saat ia hendak mengunci pintu kamar. Namun, langkahku kalah cepat. Ia mendorongku dengan kasar ke ranjang setelah pintu kamar terkunci dengan rapat. “Celoz, tolong tunggu sampai aku siap kembali.” Aku memohon dengan memelas. Jantung mulai berdegup dengan sangat cepat, disertai debaran dada yang tidak karuan. Kurasakan darah mulai berhenti mengaliri area wajah. Napas terdengar tidak beraturan saat Celoz melepas pakaiannya satu per satu, lalu melemparnya ke sembarang tempat. Aku berusaha turun dari ranjang, merangkak dengan