Emily pun membuang napas, menunjukkan ekspresi yang begitu yakin, “Sekarang. Mulai sekarang, aku akan mempedulikan kenyamanan mu.”
Tidak membalas, William hanya tersenyum tipis. “Sudahlah...” Emily bersiap untuk bangkit. “Aku akan pergi ke dapur, coba membuat sarapan untuk kita.” “Baiklah, aku akan mencicipi masakan mu dengan bersemangat,” ungkap William. Emily pun tersenyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Di dapur, Emily membuka lemari es dan memeriksa isinya. Matanya tertuju pada sepotong ikan segar yang tersimpan rapi. “Baiklah,” gumamnya pelan. “Aku akan mencoba membuat menu sarapan ala Eropa.” Emily tidak terlalu pandai memasak, tetapi ada semangat baru dalam dirinya. Ia ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk William. Dengan cepat, ia mengumpulkan bahan-bahan sederhana, ikan, lemon, mentega, dan beberapa bumbu. Tangannya bergerak cekatan saat ia menyiapkan bahan-bahan itu. “William dulu pernah bilang, dia tidak butuh sesuatu yang sempurna, hanya sesuatu yang tulus,” pikir Emily sambil tersenyum. Setelah beberapa menit, aroma harum mulai memenuhi dapur. Emily memasak dengan penuh perhatian, memastikan rasa dan tampilan masakannya cukup menarik, meski suaminya tak bisa melihatnya. Saat selesai, ia menata piring dengan hati-hati, meletakkan ikan panggang sederhana dengan taburan parsley segar di atasnya. Ia memandang hasil kerjanya dengan rasa puas sebelum membawa piring itu ke meja makan. “Semoga dia suka,” katanya pada dirinya sendiri. Emily membuka pintu kamar dengan hati-hati, membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri. Namun, begitu masuk, ia mendapati tempat tidur kosong. ‘William pasti ada di kamar mandi’, pikirnya. Ia meletakkan cangkir di meja kecil di sudut ruangan dan duduk di sofa dekat jendela. Matanya tertuju pada tirai yang melambai pelan karena angin pagi. “Dulu, begitu bangun tidur aku langsung mencari ponsel untuk melihat pesan dari Hendrick,” Emily membuang napas, “kalau bukan William, istri sepertiku pasti sudah dibuang ke sungai untuk makanan buaya.” Sambil menunggu, pikirannya mulai melayang. “Ngomong-ngomong, bagaimana ya caranya William mandi dengan kondisi matanya yang buta?” Pertanyaan itu menyelinap di benaknya, membuatnya berpikir lebih dalam. Namun, dengan cepat, Emily menggelengkan kepalanya, seolah berusaha mengusir pikiran itu. ‘Aku tidak boleh terus-menerus berfokus pada kekurangannya,’ gumamnya dalam hati. Ia tidak ingin kekurangan William menjadi alasan untuk kembali membenci pria itu. William mungkin buta, tetapi ia adalah pria paling tulus yang pernah ada dalam hidup Emily. Lamunannya terhenti ketika suara pintu kamar mandi terbuka. Emily menoleh, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok William yang keluar hanya dengan handuk melilit pinggangnya. Pemandangan pagi yang luar biasa indahnya! Cahaya pagi yang masuk melalui jendela mempertegas dada bidang dan kulit bersih William. Emily tertegun sesaat, menelan ludah tanpa sadar. “Wah... dada William itu... aku jadi ingin pegang,” bisiknya pelan. William berjalan perlahan dengan ekspresi datar. Tangannya terulur, meraba lemari pakaian yang ada di dekat tempat tidur. Dengan gerakan yang tenang, ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian. Emily memperhatikan dalam diam, melihat bagaimana William dengan mudah mengambil setelan yang serasi. Ia pun tersenyum tipis, takjub. Pasti para pelayan sudah menyusun semua pakaian William dengan rapi agar memudahkan dia, pikirnya. Tapi, senyuman itu perlahan memudar, berganti dengan rasa bersalah yang menusuk hati. ‘Semua pelayan itu sudah aku pecat. Aku caci maki mereka, aku lempar mereka keluar dari rumah ini hanya karena... aku benci pada William.’ Emily menggigit bibir bawahnya, menyayangkan sikapnya yang begitu kekanak-kanakan. Dulu, kebencian membutakan segalanya. Ia bahkan sempat menyusun rencana-rencana licik untuk membuat William terus berada dalam posisi tertekan, berharap pria itu akhirnya menyerah dan menuruti semua keinginannya. Kini, semua itu terasa begitu bodoh dan konyol. Lamunannya buyar ketika William tiba-tiba membalikkan tubuhnya, menghadap langsung ke arah Emily. “Ya ampun... Siksaan pagi yang tidak bisa dilawan,” bisik Emily, tak berdaya. Mata pria itu kosong, tetapi tubuhnya memancarkan aura tenang yang khas. Emily coba memalingkan wajah sejenak, malu ketahuan memperhatikannya terlalu lama. Ah, tapi William kan buta! Emily kembali menatap ke arahnya, lagi-lagi tak bisa menahan kekagumannya sampai-sampai wajahnya merah sekali. Namun, sebelum ia sempat menguasai diri, William menanggalkan handuk yang melilit pinggangnya, membuat Emily terdiam kaku di tempatnya. Pipinya semakin memanas, dan ia segera memalingkan pandangan ke arah lain. “William, apa yang dia lakukan?!” gerutu Emily. “Aku malu, tapi aku penasaran. Ah, tapi William kan tidak tahu aku di dalam kamar.” Emily tersenyum, kembali melihat ke arah William. Glek! Wajah Emily semakin memerah. “B–besarnya...” William mendengar suara Emily yang keceplosan bicara, membuat Emily melotot kaget dan menutup mulutnya. “Emily, kau di sini?” tanya William.Ruangan rapat utama dipenuhi para eksekutif dan kepala divisi. Suasana tegang, sebagian besar dari mereka masih menyangsikan kemampuan Greyson. Bagi sebagian orang, dia hanyalah ‘anak bos’ yang belum teruji. Tapi hari itu, mereka akan melihat sesuatu yang berbeda. Greyson masuk dengan jas rapi, rambut tersisir bersih, dan langkah mantap. Tatapannya tajam, wajahnya serius. Ia membuka laptopnya, menyapa semua orang dengan tenang. “Selamat pagi. Mulai hari ini, saya akan bekerja langsung di bawah arahan Ayah saya, untuk dua tahun ke depan. Dan saya tidak datang ke sini untuk main-main lagi.” Beberapa orang bertukar pandang, sebagian masih skeptis. Tapi Greyson tidak goyah. Greyson mulai ikut dalam setiap rapat penting, menganalisis laporan keuangan, bahkan terjun langsung ke lapangan untuk memahami bisnis secara menyeluruh. Ia tid
Suasana rumah yang biasanya tenang berubah drastis. Teriakan William menggema dari kamar utama, nadanya bukan sekadar panik, melainkan ketakutan yang dalam, seperti pria yang baru saja melihat dunianya runtuh di depan matanya. “Emily! Sayang, bangun! Jangan seperti ini! Emily! Jangan menakuti ku!” Greyson yang sedang berada di ruang kerjanya di lantai atas langsung berdiri, memegang. Napasnya seketika tercekat. Ia belum pernah mendengar ayahnya, sosok yang selalu tenang dan tangguh itu berteriak dengan suara seperti itu. Ia melesat menuruni tangga dan menerobos pintu kamar orang tuanya tanpa izin. Di sana, ia melihat ayahnya bersimpuh di samping tempat tidur, memeluk tubuh Emily yang terkulai lemah, tidak sadarkan diri. Wajah William penuh air mata, tangannya gemetar saat menyentuh wajah istrinya. “Ayah! Apa yang terjadi?!”
Pagi hari menyambut mereka dengan cahaya lembut yang masuk melalui jendela kayu klasik hotel bergaya renaisans di tepi kanal. Lavine membuka mata lebih dulu, lalu menoleh dan menatap Elle yang masih tertidur di sampingnya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum penuh syukur dan rasa takjub yang begitu luar biasa. Beberapa menit kemudian, Elle terbangun. Ia mendapati Lavine menatapnya dengan penuh cinta. “Good morning, Sayangku?” sapa Lavine. Elle menggeliat. Wajahnya sampai memerah membuat Lavine terkekeh. “Apa?” tanya Elle sambil menyembunyikan wajahnya dengan selimut. “Aku cuma mengagumi wajah cantik istriku saja,” bisik Lavine. “Cih! Gombal saja sepagi ini,” ujar Elle. Lavine tersenyum. Ia langsung membawa Elle ke dalam pelukannya. “Hari ini kita mau pergi ke luar atau di kamar saja, Sayang?” Pertanyaan itu membuat Elle merinding. Di kamar saja?
Ramon tengah terduduk di sofa ruang tamunya yang mulai terasa kosong. Beberapa furnitur sudah dijual diam-diam untuk menutupi biaya hidup mereka selama dua bulan terakhir ini. Kini, surat pemberitahuan penjualan rumah sudah tiba, lengkap dengan tanda tangan pengacara. Rumah itu akan segera dilelang, dan hasilnya akan dibagi dua. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, baik hartanya, maupun pernikahannya dengan Casandra. Casandra berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap, matanya merah karena menangis, tapi juga penuh dengan kemarahan. “Jadi... kau benar-benar menggugat ceraiku?” tanyanya, suaranya nyaris gemetar. Ramon mengangguk tanpa menatapnya. “Perusahaan kita sudah hancur, Casandra. Aku sudah coba segala cara, tapi semuanya berakhir sia-sia. Dan kita… kita juga sudah tidak punya alasan untuk tetap bersama, bukan? Aku tidak sanggup menghadapai sikap mu, begitu juga dengan
Beberapa hari setelah kemarahan besar Ramon, berita mulai bermunculan bukan tentang Lavine, melainkan tentang Rayn dengan narasi yang buruk. Salah satu media besar yang sebelumnya diam, tiba-tiba merilis artikel panjang investigasi berjudul, “Uang Kotor di Balik Serangan terhadap Dunia Seni. Siapa Dalang yang Sebenarnya?” Artikel itu menyebutkan aliran dana mencurigakan yang dikaitkan dengan salah satu keluarga pebisnis kaya. Nama Rayn pun muncul, bersama bukti dokumen dan testimoni dari jurnalis bayaran yang kini memilih untuk bicara karena tekanan hukum yang jelas. Media sosial meledak. Netizen yang sebelumnya ikut terpancing isu palsu tentang Lavine kini berbalik arah, “Jadi semua itu cuma fitnah buatan kakak tirinya sendiri? Dia pasti sangat iri.” “Zero tetap terbaik. Rayn harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya!” “Dia terlihat seperti seorang pengecut. Dia pasti sangat iri dengan kesuksesan yang dirai
Lampu kristal raksasa bergemerlap di langit-langit ballroom mewah. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan. Dekorasi bernuansa emas-putih memantulkan cahaya dengan indah, menambah aura eksklusif dari pesta pernikahan Elle dan Lavine. Para tamu berdatangan satu per satu, kolektor lukisan internasional, pengusaha, sosialita, hingga sesama seniman yang pernah bekerja dengan Lavine. Mereka berdesakan di lobi hotel, menanti giliran untuk masuk ke ruangan utama.Tamu undangan kelas atas dari William dan Emily pun ikut berdatangan. “Lihat, itu Lavine. Dan Elle. Mereka benar-benar seperti pasangan dari cerita dongeng,” bisik salah satu tamu dengan kagum. Lavine dan Elle berdiri di pelaminan. Keduanya tersenyum, menyapa satu per satu tamu yang menghampiri. Meski wajah mereka cerah, sorot mata keduanya menyiratkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Bukan hanya karena pesta hari itu, tapi karena seluruh perjalanan