Share

Bab 6

Author: Nadira Dewy
last update Last Updated: 2024-12-19 12:03:54

Malam itu menjadi malam pertama bagi Emily dan William untuk tidur di ranjang yang sama sejak dua tahun pernikahan mereka.

Suasana kamar yang sunyi hanya diiringi suara pendingin ruangan membuat Emily merasa canggung sekaligus gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini.

Emily bergumam pelan, “Bagus juga kalau William buta. Aku mau pakai baju tidur model apa saja, dia tidak mungkin bisa melihat, kan?”

Dengan santai, Emily mengambil pakaian tidur yang biasa ia gunakan, model yang terbuka dan cukup seksi.

Meski ia tahu ada batasan tertentu dalam perjanjian mereka, tapi itu hanya berlaku di luar rumah.

Di rumah sendiri, tentu saja ia merasa bebas.

Emily berbaring di sebelah William, merasa lebih tenang karena yakin pria itu tidak akan menyadari apa pun.

Namun, ia tidak tahu bahwa kehadirannya memberikan dampak yang tidak biasa pada William.

William berdehem mengusir perasaan tak nyaman.

Wangi parfum lembut Emily, gerakan tubuhnya di kasur, hingga kehangatan yang datang dari sisi tempat tidur.

Wajah William perlahan memerah tanpa ia sadari.

Emily, yang sekilas melihat perubahan itu, mengernyit heran. “William, kau baik-baik saja?” tanyanya sambil bangkit, mendekatkan punggung tangannya ke dahi William untuk memeriksa suhu tubuhnya.

William tersentak kecil, berusaha menenangkan dirinya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meski jelas suaranya terdengar tidak biasa.

“Kalau begitu, kenapa wajahmu memerah?” tanya Emily lagi, kali ini lebih penasaran.

William menghela napas pelan, mencoba memberikan alasan yang tidak mencurigakan. “Benarkah? Mungkin... pendingin ruangan kurang terasa dingin. Bisa kau tambahkan suhunya sedikit?”

Emily mengerutkan alis. “Tapi sudah cukup dingin untukku. Kalau terlalu dingin nanti aku kedinginan.”

William hanya tersenyum tipis, tidak mengatakan apa pun.

Meski merasa berat hati, akhirnya bangkit dan menyesuaikan suhu pendingin ruangan sesuai permintaan William.

Pemilik rumah adalah raja, ia pun harus tahu diri.

Saat kembali ke tempat tidur, Emily melirik William dengan bingung.

Pria itu memang buta, tetapi mengapa ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekurangan fisik itu?

Nampak seperti orang yang normal.

Ah, tidak mungkin.

Emily menggelengkan kepalanya, mencoba menyingkirkan pikiran aneh yang mulai muncul.

“Selamat malam, William,” gumam Emily, berbaring dengan hati yang masih berdebar karena perasaan campur aduk yang tidak ia pahami.

William tersenyum samar, meskipun matanya tetap terpejam. “Selamat malam, Emily. Tidurlah dengan tenang.”

Malam semakin larut, suhu ruangan terasa menusuk meski selimut tebal telah membungkus tubuh Emily.

Pakaian tidur yang terbuka membuatnya menggigil, dan ia sadar bahwa hawa dingin itu terlalu sulit diabaikan.

Tanpa berpikir panjang, ia mendekati sisi ranjang William dan tanpa sadar masuk ke dalam pelukannya.

Hangat, nyaman, dan tidak ingin lepas.

William, yang sejak tadi belum bisa tidur, terkejut merasakan tubuh mungil Emily mendekat.

Wangi tubuhnya menguar lembut, menggetarkan sesuatu di dalam hati William.

Dalam pencahayaan redup, senyum kecil terukir di wajah pria buta itu.

“Dia benar-benar tidak waspada sama sekali, ya?” bisiknya.

Ia tahu Emily mungkin hanya mencari kehangatan, tapi tetap saja, kedekatan ini membuat jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin, jika Emily tidak tidur lelap, ia pasti bisa mendengarnya.

Tangan William bergerak perlahan, seakan takut menyadarkan Emily.

Ia merapatkan pelukan, mencoba memberikan kenyamanan bagi wanita yang ada di pelukannya itu.

Namun, dalam diam, perasaannya semakin tak terbendung.

Bagaimana William bisa tidur dengan situasi seperti ini?

Emily merasa tubuhnya hangat dan nyaman, semakin mengeratkan pelukannya. Kakinya naik memeluk kaki William. Ia memejamkan matanya lebih dalam, tanpa menyadari bahwa detak jantung pria yang memeluknya berdebar tak karuan.

William tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, meski ia tetap berusaha menahan gejolak di hatinya. “Tidurlah yang nyenyak, Emily,” bisiknya pelan, memastikan suaranya tidak membangunkan Emily.

Lelah terus merasakan gugup, William mencoba menutup matanya.

Namun, sesuatu terjadi.

Srett!

“Ugh!” keluh William. Kaki Emily bergerak, menindih bagian intinya.

William memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri.

Perlahan menurunkan kaki Emily, berharap wanita itu tidak bangun.

“Tenangkan dirimu, William...” ucapnya, pelan sekali.

Setelah pergulatan sengit dengan pikirannya sendiri dan Emily yang di bawah alam sadar, akhirnya William pun mulai tertidur.

****

Emily membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang tidak biasa di sekelilingnya.

Saat kesadarannya sepenuhnya kembali, ia terkejut mendapati dirinya berada di ujung sisi tempat tidur William.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah posisi tubuhnya, kaki dan tangannya melingkar erat memeluk pria itu, seolah-olah ia tidak tahu malu.

“A–apa ini?” Wajah Emily memerah, malu.

Segera Emily melepaskan pelukannya, tapi gerakannya malah membuat William terbangun.

“Emily?” suara lembut William terdengar, bercampur kantuk.

Emily tersentak, lalu buru-buru menjauh sedikit. “Aku… maafkan aku!” katanya terbata-bata, wajahnya tak mampu menutupi rasa malunya.

William mengerutkan alis, meski ia tidak bisa melihat, ia merasakan Emily bergerak dengan canggung. “Ada apa, Emily? Kau terdengar panik.”

Emily menggelengkan kepala meski tahu William tidak akan bisa melihat. “Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya… aku tidak sengaja deh pokoknya.”

William tersenyum kecil, “Tidak sengaja apa, Emily?”

Emily semakin gelagapan. “Aku… aku… hanya bermimpi buruk dan mungkin… tanpa sadar aku memelukmu. Aku tidak bermaksud—”

“Sepertinya, memelukku adalah kesalahan bagimu, Emily,” kata William lirih.

Kata-kata William membuat Emily terkejut.

Tidak bisa begini, William tidak boleh terus salah paham padanya.

“Aku tidak menganggap begitu, kok. Aku cuma takut kau tidak nyaman saja. Sumpah deh, William!”

William menghela napas ringan, senyumnya masih tergambar di wajahnya.

“Sejak kapan kau begitu peduli dengan kenyamanan ku, Emily?” tanya William.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Siapa yang tidak ingin nyaman walaupun cuma sekedar sandaran tidur apalagi suami istri halal
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 322

    Langkah Elle mantap memasuki gedung galeri, suara hak sepatunya menggema lembut di lantai marmer. Seperti biasa, aura elegan dan wibawa yang mengiringi kehadirannya berhasil menyita perhatian banyak tamu. Namun, kali ini ada yang agak berbeda. Elle hanya datang sendiri. Setelah hubungannya dengan Lavine terkuak, gadis itu justru datang tanpa Lavine di sisinya, seolah diam-diam membenarkan rumor yang selama ini bergulir bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Gaun malam berwarna gelap yang membalut tubuhnya menambah kesan dingin dan tegas. Namun, senyuman sopan tetap ia berikan kepada tamu-tamu yang menyapanya, seolah tidak ada yang salah. Tatapan penuh tanya, bisikan-bisikan lirih, dan pandangan yang mencoba menebak-nebak alasan Lavine tidak terlihat bersamanya, semuanya tidak ia hiraukan. Elle terus berjalan, memba

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 321

    Lavine menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai, satu tangan memegang ponsel yang masih terhubung dengan panggilan dari Ramon. Di seberang sana, suara Ramon terdengar meninggi, penuh kemarahan dan kekecewaan yang tidak terbendung lagi. “Aku sudah berikan aset, uang, bahkan dukungan di belakang layar untukmu, Lavine! Dan sekarang kau bilang tidak bisa membantuku masuk ke galeri Zero? Setidaknya hubungi William, atau hubungi Elle! Mereka bisa mengatur satu undangan untukku, kan?!” Lavine terkekeh pelan, nadanya dingin namun tenang. “Ayah pikir setelah berita-berita busuk yang beredar soal aku, mereka akan begitu saja membuka pintu untuk orang yang masih keluarga ku? Ayah terlalu percaya diri sekali. Keluarga Elle tidak bisa Ayah perlakukan seperti anak buah Ayah sendirian.” “Jangan main-main denganku, Lavine!” bentak Ramon. “Kalau kau tidak bisa memberi manfaat, maka semua yang kuberika

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 320

    Rayn berdiri mematung, rahangnya mengeras saat mendengar pengakuan Ramon barusan. Kata-kata ayahnya itu terasa seperti tamparan keras yang menghantam sisi kepalanya. “Ayah memberikan aset… dan uang… untuk pria brengsek itu?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Ramon tajam penuh luka. Ramon menghela napas berat, tidak menampik. “Itu juga demi kelangsungan hubungan bisnis kita dengan keluarga Elle. Demi masa depan kita juga, Rayn. Itulah kenapa harusnya kau tidak mengusik Lavine dulu!” Rayn mengepalkan tangannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Masa depan siapa? Masa depanku, atau masa depan dia?” Suaranya bergetar, antara kemarahan dan rasa terbuang yang tak mampu ia bendung. “Jadi, Ayah sudah memilih dia. Anak haram yang bahkan tidak tumbuh di rumah ini. Ayah pikir dia lebih pantas dari pada aku yang anak sah di keluarga ini?” “Rayn, jangan—” “Aku ini anak kandung Ayah, aku anak sah!” seru Rayn, matanya berkaca-kaca. “Bukan dia! Tapi sekarang Ayah bahk

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 319

    Berita tentang Lavine semakin meluas dan tidak terkendali. Foto dirinya saat tengah duduk di kafe outdoor, mengenakan pakaian santai, menikmati semangkuk mi instan cup sambil merokok tersebar luas di media sosial. Banyak akun anonim maupun publik ikut menyebarkan gambar itu disertai narasi yang menyudutkan dan menghina. Komentar-komentar tajam dan menyudutkan mengalir deras di kolom tanggapan. “Inikah pria yang melamar gadis konglomerat bernama Elle? Makan mi instan di kafe dan merokok seolah hidup tidak punya arah.” “Dia berpenampilan seperti preman. Bahkan aku sampai tidak berani menebak kapan dia terakhir mandi.” “Dasar pria pemalas! Mau hidup enak dengan menumpang ke perempuan kaya! Dia benar-benar tidak tahu malu.” “Pantas saja wajahnya tidak pernah muncul di acara besar, ternyata dia tidak punya apa-apa.” Lavine dijuluki dengan berbagai sebutan kasar, sampah masyarakat, penumpang kelas elit, pengangguran tampan, hingga manipulator cinta. Banyak yang menuduhnya mendek

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 318

    Lavine sedang duduk santai di balkon apartemennya bersama Elle, menyeruput teh hangat dari cangkir putih polosnya. Udara pagi itu sejuk, suasananya pun begitu tenang hingga detik Elle menyodorkan ponselnya ke arah Lavine. “Jangan terlalu santai. Ini… kau lihat sendiri,” ucap Elle pelan, namun jelas terdengar serius. Lavine menerima ponsel itu tanpa banyak curiga, namun begitu matanya menangkap judul berita di layar, tubuhnya refleks tersentak. Teh yang baru saja masuk ke mulutnya langsung disemburkan ke udara, nyaris mengenai meja kecil di depan mereka. Brep...! “Apa-apaan ini?” serunya, nyaris tidak percaya dengan apa yang dibacanya. “Wah, aku jadi artis, ya?” “Lavine, Tunangan Elle yang Tidak Layak, Latar Belakang Miskin dan Tak Diketahui!” “Elle dari Keluarga William Menerima Lamaran dari Sampah Sosial?” Kalimat demi kalimat yang terpampang di artikel itu menghujam sepe

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 317

    Begitu sampai di negaranya, Rayn duduk terdiam di kursi belakang mobil mewah yang datang untuk menjemputnya. Kepalanya masih terasa berat akibat perjalanan dan hari-hari melelahkan yang baru saja ia lewati selama proses kepulangannya. Namun rasa lelah itu langsung lenyap saat ponselnya menyala, sebuah notifikasi berita dan pesan pribadi masuk hampir bersamaan. “Pria bernama Lavine Melamar Putri kebanggaan keluarga William, Elle atau ‘Merielle Jenn William’ Lamaran Penuh Kejutan dan Cinta.” Judul itu terpampang jelas di layar ponsel barunya. Rayn membaca cepat isi artikelnya. Foto Lavine, dengan setelan sederhana namun elegan, sedang menyematkan cincin di jari manis Elle, terlihat diambil dari jarak jauh. Di bawahnya, komentar netizen dan media pujian terhadap hubungan rahasia mereka memenuhi kolom berita.

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 316

    Di sudut belakang sebuah toko roti yang mulai gelap karena menjelang malam, Rayn berjongkok sambil memunguti sisa roti yang tidak laku dan dibiarkan dalam kotak kardus, sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah. Roti-roti itu sudah mulai keras, dingin, sebagian bahkan sudah mengering. Tapi Rayn tidak punya pilihan lagi. Dengan tangan gemetar dan tubuh yang lusuh, dia menyobek satu roti, lalu menyuapkannya ke mulut. Rasanya hambar, bahkan pahit karena bercampur dengan rasa malu dan luka yang tidak kasat mata. Air matanya mengalir deras diam-diam. Dulu, dia terbiasa duduk di restoran mahal, memesan makanan tanpa melihat harganya lagi. Kini, dia berjongkok di trotoar kotor, makan seperti pengemis. Tidak ada lagi teman, tidak ada keluarga, tidak ada siapa pun yang mencarinya. Dunia yang dulu merasa akrab, kini memunggunginya dengan acuh. Sambil mengunyah roti y

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 315

    Malam itu, Lavine mengajak Elle makan malam di sebuah restoran outdoor yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Suasana tempat itu hangat dan intim, diterangi cahaya lampu gantung yang menggantung di antara pepohonan kecil, menampilkan keindahan yang begitu sempurna. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma masakan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling area makan menjadi aroma yang justru menyenangkan hati. Lavine menarik kursi untuk Elle sebelum duduk di hadapannya. Mereka saling tersenyum, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan belakangan ini. Maklum saja, masalah datang silih berganti hingga waktu tenang seperti ini seperti sesuatu yang begitu mahal. “Senang sekali rasanya bisa duduk tenang seperti ini,” ucap Elle pelan, menatap Lavine dengan tatapan yang hangat. Lavine mengangguk sambil menyesap air mineralnya. “Aku juga. Kadang, hal sederhana seperti ini justru yang paling berarti

  • Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta   Season 2 : Bab 314

    Lavine melangkah keluar dari rumah Ramon dengan senyum tipis yang penuh dengan arti. Angin sore itu menyentuh wajahnya, seolah ikut merayakan kemenangan kecil yang baru saja diraihnya. Tanpa Ramon sadari, ia telah mengambil sedikit keuntungan yang lumayan. Di dalam genggamannya, ia membawa berkas-berkas legal yang menunjukkan kepemilikan atas beberapa aset strategis, tanah, saham, dan sejumlah besar dana yang ditransfer ke rekening bisnisnya hari itu juga. Ramon, meski keras kepala, akhirnya memilih untuk berkorban demi satu hal saja, menjalin hubungan baik dengan keluarga Elle. Bagi Lavine, itu langkah yang menarik juga terlambat, tapi tidak sia-sia untuknya. Ia tahu, Ramon bukan pria yang akan memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi seperti ini. Namun Lavine juga bukan anak yang mudah dijatuhkan begitu saja. “Aku tidak akan membuang peluang ini," gumamnya pelan, memandangi cakrawala yang mulai menguning indah. “Kalau si Ramon ingin menebus masa lalu, biar saja di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status