Share

Bab 4 | Merasakan Bibirmu

Arion merasa tubuhnya semakin panas, bahkan saat ini dia merasa waktu berjalan begitu lambat. Kamarnya pun terasa begitu jauh dari seharusnya.

“Kenapa sangat lama!” ketusnya dengan suara begitu—berat. Penglihatan Arion pun kini semakin memudar, tertutup kabut gairah.

“Sebentar lagi,” sahut wanita itu. Mungkin kurang lebih sepuluh langkah lagi mereka tiba di paviliun milik Arion. Jarak yang sebenarnya cukup dekat, tapi terasa sangat jauh. lagi pula jika menghubungi anggota keluarga yang lain, pasti akan membuat suasana menjadi luar biasa heboh. Jadi menurutnya, ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Napas mereka berdua sama-sama terasa begitu berat, sehingga hembusan napas mereka saling bersahutan di dalam tiap langkah mereka. “Yon?”

“Hmm??”

“Kita sudah tiba,” ucap Emily pelan.

Emily menekan tombol password pintu pavilion Arion.

Bip bip bip

Pintu terbuka, mereka berdua melangkah masuk, “Huft…” sang wanita melihat tangga yang ada di depan sana. “Aku bersyukur, kau menyediakan lift disini!” tukasnya penuh syukur. Dia tidak harus membawa Arion naik ke kamarnya yang berada di lantai atas.

Damn! Kenapa dia begitu wangi…” pikir Arion. Sejak tadi dia berusaha menahan gejolak gairah yang begitu tinggi dalam tubuhnya. Gairah panas membalut tubuhnya, tapi akal sehatnya masih berusaha untuk berkompromi.

Sungguh dia tidak peduli lagi, saat ini dia hanya ingin mengguyur kepalanya dengan air dingin sebleum dia benar-benar hilang control dalam dirinya. Dia takut bisa menerkam wanita ini kapan saja.

“Antar aku ke kamar mandi saja!” ujar Arion begitu tiba di dalam kamarnya.

“Hah? Kau serius Yon? Saat ini tubuhmu sangat panas, kamu bisa sa—"

“Lakukan saja apa yang aku katakan, Emily.” potong Arion, tegas. Tidak ingin dibantah.

“Hmm, baiklah.”

Mereka berdua pun berjalan masuk ke dalam kamar mandi. “Kamu bisa sendiri?”

Arion menatap Emily tajam, “Memangnya kamu mau menemaniku sampai kedalam? Apa kau gila?!” jawab Arion ketus. Hal itu Arion lakukan bukan tanpa alasan.

Emily menarik napas dalam, “Aku hanya mengkhawatirkanmu!” sahut Emily tidak kalah ketusnya. Kemudian berlalu meninggalkan Arion.

“Ck!” decak Emily kesal, kemudian dia melangkah keluar dari kamar Arion, tapi baru saja tangannya menyentuh handel pintu. Emily lagi-lagi menghela napas pelan, tidak tega membiarkan Arion dalam keadaan seperti itu. Lagi pula mendapatkan Arionyang ketus adalah makanan sehari-harinya.

“Arggh!” kesalnya pada diri sendiri yang tidak bisa meninggalkan Arion dalam keadaan seperti itu. “Hah! Anggap saja kamu sedang bekerja amal, Em!”

“Kamu selalu saja lemah dengan si pria kulkas itu!” ucapnya, lalu membuka blazer yang ia kenakan, meninggalkan dirinya hanya memakai tanktop berwarna hitam. Rambutnya yang tadi ia urai, dikuncirnya dengan tinggi. Membawa Arion rasanya sungguh melelahkan dan menguras tenaganya.

Emily melangkah menuju lemari pakaian Arion, menyiapkan pakaian pria itu seperti biasa. Sudah tugasnya tiap pagi sebagai sekretaris Arion menyiapkan segala hal untuk pria itu. Mulai dari pakaian hingga sarapan.

Jadi segala tata letak pavilion ini ia ketahui dengan sangat jelas olehnya. Wanita cantik itu memilih pakaian yang nyaman untuk Arion kenakan, bahkan sampai dalaman pun semuanya disiapkan oleh Emily.

Setelah menyiapkan pakaian, Emily menoleh sebentar ke arah kamar mandi. “Sepertinya dia akan sedikit lebih lama, apa aku ke dapur saja dulu?” gumamnya pelan, lalu memilih untuk turun ke dapur untuk mengambil segelas susu hangat.

Di saat Emily sedang sibuk di luar, Arion mengguyur kepalanya di bawah shower dengan air dingin. Tetapi semua itu tidak memberikan efek yang signifikan, bahkan air yg dingin itu tidak dapat meredam panas di tubuhnya.

Shit! Dasar perempuan gila! Apa yang sudah dia masukan ke minumanku?!” geram Arion, dirinya terus saja mengutuk Tasha—salah satu model diperusahaannya. Tasha juga merupakan salah satu anak dari rekan Daddynya—Austin.

Pria bertubuh atletis itu membuka seluruh pakaiannya, membasuhnya dengan air dingin dari shower. “Damn! Sebaiknya aku langsung tidur!” gumam Arion yang berpikir kalau Emily sudah keluar dari kamar dan pavilliunnya.

Lima belas menit pria itu mendinginkan kepalanya lalu segera mengeringkan rambut dan tubuhnya dengan handuk, lalu dililitkan di pinggangnya yang kokoh. Arion berjalan keluar kamar mandi dan melihat pakaiannya sudah tersedia di atas tempat tidur, sedikit senyuman tipis terukir di sudut bibirnya, “Dia selalu saja seenaknya!” gumamnya pelan.

Pria itu memijit pelipisnya, lalu melepaskan handuknya. Membuangnya dengan asal. Tubuhnya yang tegap dan sempurna terekspos sempurna tanpa sehelai benangpun. Arion mengenakan celana pendek rumahannya. Tidak sengaja dia menoleh kearah nakas, dia mendapati segelas susu.

“Ck! Dia pikir aku anak kecil?!” gumam Arion mendumel tetapi dirinya tetap meneguk susu tersebut hingga tandas.

“Hmm jauh lebih baik,” Arion naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Matanya seketika menajam melihat sosok yang sedang berbaring di sofa bench yang tepat berhadapan dengan kasurnya. Sofa bench itu ia letakkan di dekat jendela, membuat dirinya tadi melihat ke arah tersebut.

“E-emily?” gumam Arion dengan suara serak dan beratnya. “Damn! Kenapa dia masih disini?”

Arion terpaksa bangun kembali dari tidurnya, berjalan perlahan menuju Emily yang saat ini sedang berbaring.

Pria itu berlutut, bukan langsung membangunkan Emily, melainkan dirinya melihat Emily yang tengah tertidur pulas. Kulit putih bersih Emily begitu terpancar dan bersinar, membuat Arion tanpa sadar menaikkan tangannya, membelai lembut kulit wajah Emily, memperbaiki anak rambut yang menutupi kecantikan Emily.

“Cantik…” gumamnya pelan. Selama ini dia selalu memperhatikan Emily, namun karena keegoisannya, dia selalu menganggap Emily hanya sekretaris dan anak dari bawahan Daddy dan Mommynya.

Mereka sudah bersahabat sejak kecil, dia tidak ingin merusak persahabatan itu dengan adanya hubungan asmara, lagi pula dia tahu kalau Reynard menaruh hati kepada Emily.

Dia berusaha menahan perasaannya, dikuburnya tunas tersebut sebelum benar-benar tumbuh menjadi sebuah Bunga dan mengakar ke dalam hatinya. Itulah alasan membuat dirinya selalu bersikap dingin kepada Emily dan memberikan batas.

Arion mengarahkan ibu jarinya, mengusap bibir Emily yang begitu ranum dan mengkilap. Bibir tersebut terlihat begitu lezat. Ingin sekali ia merasakannya, napasnya terasa semakin berat saat pandangan turun ke bagian leher Emily, membuat jakunnya bergerak begitu kasar.

Damn! Ini pasti pengaruh obat yang aku minum!” elak Arion.

Tapi matanya tidak dapat lepas dari bibir basah Emily yang berwarna orange segar itu. Tanpa sadar pria itu mengusapnya sedikit kasar dan kepalanya semakin turun mendekat. “Aku janji hanya akan mengecupnya.” Ucapnya memperingati dirinya sendiri.

Dan dengan napas beratnya, Arion benar-benar menyentuh bibir Emily. “Astaga ini begitu lembut!”

Emily yang mendapatkan sentuhan tiba-tiba itu langsung membelalakkan matanya mendapati pria kulkas yang ia kenali saat ini sedang mengecup bibirnya tanpa izin. “A-arion?!” pekik Emily.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
wooooooooo
goodnovel comment avatar
Dina Khiriana Khiriana
iy kak sama selalu ngikut mamazan
goodnovel comment avatar
Duma Candrakasi Harahap
emily,,,ank ny della sekertaris ny steve y klo gk salah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status