Share

GPCD-2

Matahari bersinar sangat terang, hingga menembus tirai jendela kamar hotel yang di dalamnya. 

Sepasang pria dan wanita di kamar 170 itu masih berpelukan di bawah selimut dengan damai.

Sayangnya, suara dering ponsel membuat keduanya perlahan terganggu.

"Siapa yang menelepon sepagi ini? Apakah dia sudah bosan hidup di dunia ini!" 

Carlton mengumpat menyadari itu berasal dari ponselnya.

Namun alih-alih mengangkat panggilan, pria tampan itu justru memeluk Adelia seperti bantal.

Sementara itu, Adelia terkejut.

Seketika, dia menyadari bahwa Carlton memeluk erat tubuh telanjangnya. 

"Ini!" Adelia refleks langsung mendorong tubuh Carlton hingga berhasil melepaskan pelukannya. 

Gadis itu langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. "Tadi malam kita.... "

Carlton seketika menghela napas menyadari maksud Adelia.

Selain memuaskan, malam tadi memang begitu panjang dan tak terlupakan karena itu pertama baginya.

Hanya saja, Carlton baru ingat bahwa wanita di hadapannya ini adalah korban yang membuat pria itu benar-benar kesal pada dirinya sendiri. 

"Ya. Kita melakukannya.”

“Maaf, tadi malam aku sungguh tidak sadar akibat pengaruh obat perangsang yang diletakkan entah oleh siapa," ucap Carlton sembari menatap tubuh Adelia dengan tatapan kasihan. 

Karena dia terlalu dikuasai nafsu, seluruh tubuh gadis itu dipenuhi bekas merah buatan Carlton.

“Aku akan bertanggungjawab,” putusnya. 

Mendengar ucapan Carlton, Adelia tertegun.

Entah apa yang harus dilakukannya. Menyalahkan pria itu pun percuma sekarang.

Digerakkannya tubuh, berusaha untuk turun dari atas tempat tidur. Sayangnya. seluruh tubuh Adelia terasa sakit seolah habis dipukuli.

Dia benar-benar tidak tahan dengan rasa sakit itu! 

"Sakit sekali!" keluh Adelia yang tidak jadi menurunkan kakinya ke bawah. 

Mendengar itu, Carlton segera mendekati dirinya dan secepatnya memegang pinggang Adelia. 

"Kamu baik-baik saja? " tanyanya.

"Tangan kamu!” panik Adelia membuat Carlton langsung melepaskankan tangannya. 

"Maaf! Aku tadi hanya ingin menolong kamu, Babe." 

Keduanya sontak terdiam.

Carlton sendiri terus menatap Adelia. 

Entah mengapa, tangannya ingin merengkuh gadis itu lagi. “Shit! Bagaimana bisa aku ingin terus menyentuh wanita ini? Padahal, aku malas berurusan dengan wanita,” umpatnya dalam hati sembari menyugar rambutnya kasar.

Tahu bahwa dirinya tak akan tahan, Carlton lantas menjaga jarak dari Adelia yang masih berusaha untuk turun dari atas tempat tidur. 

Tring!

Ponsel Carlton kembali berbunyi, hingga menyadarkan pria itu.

"Aku akan membantumu nanti,” ucapnya, serius. 

Adelia yang terkejut, bahkan sampai mengangguk. 

***

"Bos! Anda di mana? Saya mencari Anda semalaman tapi saya tidak menemukan Anda! Lalu, apakah anda benar-benar... tidur dengan wanita yang disiapkan para rubah tua itu?" 

Suara asisten Carlton terdengar khawatir. Tadi malam, Carlton sudah dalam pengaruh obat perangsang saat dirinya mencari obat.Namun begitu tiba, pintu hotel pria itu sudah terkunci rapat. 

Carlton menahan senyumnya. "Tidak! Kamu tidak perlu merasa khawatir," jawabnya teringat kejadian tadi malam.

Entah mengapa, dia ingin menggoda Adelia tiba-tiba.

Terlebih kala dilihatnya wanita itu yang masih mencoba turun dari kasur.

"Babe! Tunggu aku untuk membantumu nanti!” godanya.

“Babe?” Sang asisten sontak terkejut mendengar ucapan bosnya. 

"Bos! Anda kenapa? Mengapa Anda terdengar sedikit genit sekali? Apakah Anda sembuh karena Anda tidur dengan wanita?" tanyanya yang semakin penasaran. 

"Ya! Semalam saya tidur dengan wanita—” 

"Hah? Anda serius?” potong sang asisten tanpa sadar. 

Hal ini sontak membuat Carlton melirik ke arah Adelia yang kini sudah turun dalam balutan selimut.

Dia tampak mengambil pakaiannya yang hancur akibat perbuatan pria itu tadi malam. 

"Ini! Baju aku robek begini... Bagaimana aku pulang nantinya?” lirih Adelia pedih.

Tanpa sadar, Carlton tertawa, hingga dia menyadari Adelia sudah menangis.

"Hei! Babe, kenapa kamu menangis?" tanyanya mendekati Adelia, “Apa aku perlu panggillan dokter atau.... " 

Namun belum selesai Carlton bicara, Adelia langsung mendorong dadanya. 

"Semua gara-gara kamu! Bajuku hancur bagaimana nanti aku pulang!" keluh Adelia yang terus menangis. 

Dia sungguh membenci dirinya yang sudah kotor dan tak berdaya saat ini. 

Carlton segera mengelus kepala Adelia lembut. "Jangan menangis lagi! Aku akan menyuruh Daffa untuk membeli pakaian baru untuk kamu," ucapnya yang kemudian kembali bicara dengan asistennya yang masih tersambung panggilan telepon bersamanya. 

"Daffa, belikan pakaian baru dan pakaian dalam untuk wanita saya! Jangan lupa, pakaian saya serta bawa beberapa kebutuhan wanita lainnya. Selain itu, bawa dokter kemari untuk memeriksa kondisi tubuh wanita saya," tegas Carlton membuat Daffa terkejut akan drama yang didengarnya pagi ini.

"Bos… wanita Anda? Anda... Anda sudah menganggap wanita itu menjadi wanita milik Anda?" bingungnya. 

Tut' tut' tut!

Alih-alih menjawab, Carlton justru mengakhiri panggilan telepon saat itu juga.  

"Bos!” pekiknya tak percaya. 

Apa ini benar-benar Carlton yang dikenalnya?! Pria itu antiwanita dan sangat dingin.

Tapi ini...?

Di sisi lain, pria yang membuat asistennya bingung setengah mati itu, masih terus menenangkan Adelia.

"Di sini dingin. Ayo, kita kembali ke ranjang dulu," ajaknya.

Adelia menggeleng. "Apa yang harus aku katakan? Aku... Aku.... " 

Ucapan wanita itu terhenti karena Carlton langsung menggendongnya tiba-tiba.

Pria itu bahkan tak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuh Adelia lepas semua.

Saking malunya, Adelia sampai menghentikan isak tangisnya dan membenamkan wajah di dada Carlton karena merasa sangat malu.

Hal ini sontak membuat Carlton mengerutkan kening.

“Kamu kenapa, be–” Ucapan Carlton terhenti kala menyadari tubuh Adelia sudah polos.

"Aaaa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status