Matahari bersinar sangat terang, hingga menembus tirai jendela kamar hotel yang di dalamnya.
Sepasang pria dan wanita di kamar 170 itu masih berpelukan di bawah selimut dengan damai.
Sayangnya, suara dering ponsel membuat keduanya perlahan terganggu.
"Siapa yang menelepon sepagi ini? Apakah dia sudah bosan hidup di dunia ini!"
Carlton mengumpat menyadari itu berasal dari ponselnya.
Namun alih-alih mengangkat panggilan, pria tampan itu justru memeluk Adelia seperti bantal.
Sementara itu, Adelia terkejut.
Seketika, dia menyadari bahwa Carlton memeluk erat tubuh telanjangnya.
"Ini!" Adelia refleks langsung mendorong tubuh Carlton hingga berhasil melepaskan pelukannya.
Gadis itu langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. "Tadi malam kita.... "
Carlton seketika menghela napas menyadari maksud Adelia.
Selain memuaskan, malam tadi memang begitu panjang dan tak terlupakan karena itu pertama baginya.
Hanya saja, Carlton baru ingat bahwa wanita di hadapannya ini adalah korban yang membuat pria itu benar-benar kesal pada dirinya sendiri.
"Ya. Kita melakukannya.”
“Maaf, tadi malam aku sungguh tidak sadar akibat pengaruh obat perangsang yang diletakkan entah oleh siapa," ucap Carlton sembari menatap tubuh Adelia dengan tatapan kasihan.
Karena dia terlalu dikuasai nafsu, seluruh tubuh gadis itu dipenuhi bekas merah buatan Carlton.
“Aku akan bertanggungjawab,” putusnya.
Mendengar ucapan Carlton, Adelia tertegun.
Entah apa yang harus dilakukannya. Menyalahkan pria itu pun percuma sekarang.
Digerakkannya tubuh, berusaha untuk turun dari atas tempat tidur. Sayangnya. seluruh tubuh Adelia terasa sakit seolah habis dipukuli.
Dia benar-benar tidak tahan dengan rasa sakit itu!
"Sakit sekali!" keluh Adelia yang tidak jadi menurunkan kakinya ke bawah.
Mendengar itu, Carlton segera mendekati dirinya dan secepatnya memegang pinggang Adelia.
"Kamu baik-baik saja? " tanyanya.
"Tangan kamu!” panik Adelia membuat Carlton langsung melepaskankan tangannya.
"Maaf! Aku tadi hanya ingin menolong kamu, Babe."
Keduanya sontak terdiam.
Carlton sendiri terus menatap Adelia.
Entah mengapa, tangannya ingin merengkuh gadis itu lagi. “Shit! Bagaimana bisa aku ingin terus menyentuh wanita ini? Padahal, aku malas berurusan dengan wanita,” umpatnya dalam hati sembari menyugar rambutnya kasar.
Tahu bahwa dirinya tak akan tahan, Carlton lantas menjaga jarak dari Adelia yang masih berusaha untuk turun dari atas tempat tidur.
Tring!
Ponsel Carlton kembali berbunyi, hingga menyadarkan pria itu.
"Aku akan membantumu nanti,” ucapnya, serius.
Adelia yang terkejut, bahkan sampai mengangguk.
***
"Bos! Anda di mana? Saya mencari Anda semalaman tapi saya tidak menemukan Anda! Lalu, apakah anda benar-benar... tidur dengan wanita yang disiapkan para rubah tua itu?"
Suara asisten Carlton terdengar khawatir. Tadi malam, Carlton sudah dalam pengaruh obat perangsang saat dirinya mencari obat.Namun begitu tiba, pintu hotel pria itu sudah terkunci rapat.
Carlton menahan senyumnya. "Tidak! Kamu tidak perlu merasa khawatir," jawabnya teringat kejadian tadi malam.
Entah mengapa, dia ingin menggoda Adelia tiba-tiba.
Terlebih kala dilihatnya wanita itu yang masih mencoba turun dari kasur.
"Babe! Tunggu aku untuk membantumu nanti!” godanya.
“Babe?” Sang asisten sontak terkejut mendengar ucapan bosnya.
"Bos! Anda kenapa? Mengapa Anda terdengar sedikit genit sekali? Apakah Anda sembuh karena Anda tidur dengan wanita?" tanyanya yang semakin penasaran.
"Ya! Semalam saya tidur dengan wanita—”
"Hah? Anda serius?” potong sang asisten tanpa sadar.
Hal ini sontak membuat Carlton melirik ke arah Adelia yang kini sudah turun dalam balutan selimut.
Dia tampak mengambil pakaiannya yang hancur akibat perbuatan pria itu tadi malam.
"Ini! Baju aku robek begini... Bagaimana aku pulang nantinya?” lirih Adelia pedih.
Tanpa sadar, Carlton tertawa, hingga dia menyadari Adelia sudah menangis.
"Hei! Babe, kenapa kamu menangis?" tanyanya mendekati Adelia, “Apa aku perlu panggillan dokter atau.... "
Namun belum selesai Carlton bicara, Adelia langsung mendorong dadanya.
"Semua gara-gara kamu! Bajuku hancur bagaimana nanti aku pulang!" keluh Adelia yang terus menangis.
Dia sungguh membenci dirinya yang sudah kotor dan tak berdaya saat ini.
Carlton segera mengelus kepala Adelia lembut. "Jangan menangis lagi! Aku akan menyuruh Daffa untuk membeli pakaian baru untuk kamu," ucapnya yang kemudian kembali bicara dengan asistennya yang masih tersambung panggilan telepon bersamanya.
"Daffa, belikan pakaian baru dan pakaian dalam untuk wanita saya! Jangan lupa, pakaian saya serta bawa beberapa kebutuhan wanita lainnya. Selain itu, bawa dokter kemari untuk memeriksa kondisi tubuh wanita saya," tegas Carlton membuat Daffa terkejut akan drama yang didengarnya pagi ini.
"Bos… wanita Anda? Anda... Anda sudah menganggap wanita itu menjadi wanita milik Anda?" bingungnya.
Tut' tut' tut!
Alih-alih menjawab, Carlton justru mengakhiri panggilan telepon saat itu juga.
"Bos!” pekiknya tak percaya.
Apa ini benar-benar Carlton yang dikenalnya?! Pria itu antiwanita dan sangat dingin.
Tapi ini...?
Di sisi lain, pria yang membuat asistennya bingung setengah mati itu, masih terus menenangkan Adelia.
"Di sini dingin. Ayo, kita kembali ke ranjang dulu," ajaknya.
Adelia menggeleng. "Apa yang harus aku katakan? Aku... Aku.... "
Ucapan wanita itu terhenti karena Carlton langsung menggendongnya tiba-tiba.
Pria itu bahkan tak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuh Adelia lepas semua.
Saking malunya, Adelia sampai menghentikan isak tangisnya dan membenamkan wajah di dada Carlton karena merasa sangat malu.
Hal ini sontak membuat Carlton mengerutkan kening.
“Kamu kenapa, be–” Ucapan Carlton terhenti kala menyadari tubuh Adelia sudah polos."Aaaa!"
"Aaaaa!" Adelia berteriak keras, tatkala dia melihat tubuh polosnya terlihat oleh Carlton. Seketika, Carlton menaruh kembali tubuh Adelia di atas tempat tidur dan menutup tubuhnya kembali dengan selimut. "Ma-maaf, Babe! Tadi itu tidak sengaja!" ucapnya dengan tawa yang menggelikan. Adelia cemberut dan segera menarik selimut itu sampai ke dagu."Dasar mesum!" ucap Adelia, dia memalingkan wajahnya, "dan berhenti panggil aku babe!"Carlton menghela nafas panjang, lalu duduk di samping Adelia. "Emmm! Tapi, aku akan tetap memanggilmu, Babe." Adelia melotot. Hanya saja belum sempat berbicara, Carlton tiba-tiba sudah menyela, "Oh, iya. aku ingin bertanya padamu, apakah boleh?" "Mau tanya apa?" Carlton tersenyum dan wajahnya mendekati telinga Adelia. "Babe, siapa nama kamu? Mengapa kamu bisa ada di kamarku?" tanya Carlton.Adelia terdiam sejenak, karena dia kembali teringat tentang apa yang telah terjadi sebelumnya. "Aku? Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini? Tapi ...." Adelia
"Siapa kalian?" tanya Carlton. Namun, wanita yang ada di depan Carlton hanya membuka mulutnya dan menatap Carlton dengan tatapan tidak biasa. Pria itu jelas sadar dengan tatapan menjijikan semacam itu. Carlton lantas menatapnya tajam. "Cepat! apa yang kalian inginkan! Waktu saya tidak banyak untuk melayani orang-orang semacam kalian!" tegasnya. Seketika Lusi tersadar, lalu melirik ke arah pria yang ada di sampingnya. "Vin, sepertinya kita salah kamar. Adel tidak mungkin ada di sini, tapi ...." Wanita itu langsung membuka layar ponselnya untuk menegaskan nomor kamar yang dia kirim tadi malam kepada sahabatnya itu. "Eh! Kita salah kamar! Ini bukan kamar 171 tapi 170," ucapnya sambil tersenyum malu kepada pria yang ada di sampingnya. "Oh, salah ya! Baguslah kalau begitu," ucap pria yang tak lain adalah Alvin. "Kalau begitu, ayo pergi! Aku yakin kalau Adel tidak mungkin mengkhianati aku dan dia adalah wanita yang sangat baik," ucap Alvin sambil melirik sekilas ke arah Carlto dan be
"Hei, kamu kenapa?" tanya Carlton kembali. Adelia tersentak dan segera menghapus sir matanya yang tak dia sadari, telah lolos membasahi pipinya. "Ah! aku ... aku baik-baik saja!" jawab Adelia. Dia bergegas untuk menyembunyikan kesedihannya. Namun, Carlton semakin penasaran padanya. "Ada apa? Mengapa kamu terlihat sedih sekali? Apakah kamu mengenal dua orang brengsek tadi?" tanya Carlton yang kemudian segera meraih tangan Adelia. "Ya, aku mengenal mereka berdua!" jawab Adelia akhirnya dengan jujur. "Aku mau pulang! Kapan pakaianku datang? Aku sudah tidak tahan lagi jika terlalu lama di sini." Ditahannya mati-matian air matanya yang entah mengapa terus mengalir. Setelah memastikan perasaannya sudah membaik, Adelia lantas membalikkan tubuhnya hendak beranjak pergi. Hanya saja, Carlton tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Apakah pria brengsek itu adalah Alvin yang tadi terus kamu katakan itu?" tanya Carlton. Adelia terdiam, lalu menutup matanya secara perlahan. Tubuhnya bah
Cukup lama Daffa menatap pintu yang sudah tertutup rapat, hingga akhirnya menghembuskan nafas kasar. "Baiklah! Lebih baik aku pergi saja dulu, tidak mungkin aku berdiri terus di sini. Nanti bisa-bisanya aku dikira penjahat di sini!" ucap asisten Carlton itu bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Carlton tampak berjalan menghampiri dokter wanita yang kini hendak memulai untuk melakukan pemeriksaan. "Nona, bolehkah saya tahu nama anda?" tanyanya dengan ramah. Adelia mengangguk. "Boleh dok! Nama saya Adelia," jawabnya. "Baiklah! Umur berapa dan apa keluhan yang anda rasakan?" tanya dokter itu lagi. Adelia terdiam sejenak, lalu melirik ke arah Carlton yang berdiri di belakang sang dokter. "Emmm! Saya ...." Adelia merasa canggung untuk mengatakannya. Dokter itu mengerenyitkan dahinya. "Ada apa nona? Apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya. Adelia menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali! Hanya saja ...." Adelia menarik nafas panjang, lalu melanjutkan ucapannya.
"Kenapa tiba-tiba Kakek menghubungiku? Apakah mungkin ...." Carlton tak mau berpikir lebih panjang lagi, sehingga dia segera menjawab panggilan itu. "Halo--" "Carl, di mana kamu? Jangan katakan kalau kamu sedang bersenang-senang dengan para wanita murahan itu daripada datang menemui Kakek kamu ini?!" Belum sempat berbicara, sang Kakek sudah membentak Carlton dengan penuh emosi. Jelas, pria itu mengerenyitkan dahi. "Dari mana Kakek tahu? Apakah mungkin ada orang yang memberitahunya?" gumamnya Entah mengapa, dia semakin yakin bahwa pelakunya bukanlah orang yang jauh darinya. "Kakek! Aku sebenarnya mau bertemu dengan Kakek, hanya saja aku ...." Belum selesai Carlton menyelesaikan ucapannya.... CEKLEK! Suara pintu kamar mandi pun terbuka dan muncullah sosok Adelia dari sana. "Tuan, aku mau pergi sekarang!" teriaknya dengan nada keras. Carlton langsung menoleh ke arah Adelia. "Eh! siapa yang mengizinkan kamu untuk pergi dari sini?!" jawab Carlton dengan tegas. Adelia menatap
Tut' tut' tut' Daffa yang belum bicara apapun, langsung terkejut. "Bos!" Daffa menatap layar ponselnya yang sudah berubah menjadi gelap. "Kenapa dia menyusahkan sekali! Aku bahkan tidak tahu wajah wanitanya, bagaimana mungkin aku mencarinya!" keluh Daffa, putus asa. Tak lama, asisten Carlton itu mengirim pesan pada Carlton. [Bos, bagaimana rupa wanita anda? Maaf, tapi saya kan belum sempat melihatnya sama sekali] Pesan pun terkirim. Setelahnya, dia menaruh gelas yang masih ada di tangannya, lalu bergegas bangun dari tempat duduknya.Sambil berjalan ke arah kasir untuk membayar satu gelas kopi yang sudah dia habiskan. "Terima kasih!" ucap Daffa sambil memberikan uang tagihan atas satu cangkir kopi yang sudah dia habiskan. "Terima kasih kembali, mas!" jawab sang kasir dengan senyuman ramahnya. Setelah selesai, Daffa berjalan keluar dari Cafe itu dan bergegas menuju kamar tempat Carlton berada. Drrt! [Foto masuk]"Cari wanita ini!" Daffa langsung membuka pesan itu dan ... m
Di sisi lain, Adelia masih saja sibuk dengan semua pikirannya bahkan tak peduli dengan semua yang ada di sekitarnya. Hanya saja, tepukan di bahunya membuatnya tersentak. "Nona!""Ah, iya!" jawab Adelia, yang segera menghapus air matanya. Hanya saja, dia bingung dengan pria di hadapannya kini. "Siapa Anda?" Daffa tersenyum, lalu segera duduk di sebelahnya. "Maaf mengganggu waktunya, tapi tadi saya melihat anda sedang menangis, jadi saya ingin memberikan ini pada anda," ucap Daffa sembari memberikan satu bungkus tissue ke arah Adelia. Ya, dia sedikit berbohong. Daffa takut kalau memberitahu bahwa dirinya bawahan Carlton akan membuat wanita ini kabur. "Ini ...." Adelia menatap Daffa sejenak. Walaupun ada rasa ragu, dia akhirnya mengambil tissue itu. "Terima kasih!" ucapnya, tulus. Segera dihapusnya air mata. Sedangkan Daffa, dia terus menatapnya sambil tersenyum. "Dia manis sekali! Ah, pantas saja Bos langsung menyukainya. Kalau itu aku, tentu saja aku juga sama seperti Bos," g
Kini, Adelia diam-diam melirik ke arah Carlton yang sedang mengemudi. Jujur saja, Carltok jauh lebih tampan dari Alvin. Sayangnya, ini bukan tipe ketampanan yang disukai Adelia. Wanita itu lantas memalingkan wajahnya lagi ke arah jendela.Carlton sendiri menyadari tatapan Adelia. Pria itu tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Adelia."Babe, aku memang tampan! Jika kamu masih belum puas, silahkan tatap lagi. Aku sungguh tidak merasa keberatan sama sekali!" ucap Carlton.Adelia segera menarik tangannya. "Jangan sentuh tanganku secara sembarangan!" pekiknya dengan kesal.Carlton menaikan alisnya. "Kenapa tidak boleh? Bukankah aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci dari tubuh kamu?" godanya. Adelia sontak melirik tajam ke arah Carlton. "Kamu!" Hanya saja, dia tak bisa melanjutkan ucapannya. Jadi, wanita itu hanya bisa menatap kesal Carlton dan kembali memalingkan wajahnya.Carlton menghela nafas panjang, lalu segera menepikan mobilnya membuat Adeli