[Adel, malam ini datang ke hotel The Sultan, ya! Ada kejutan yang ingin buatmu dan Alvin.]
Adelia sontak tersenyum saat membaca pesan dari sahabatnya itu.
Hari ini memang harusnya Adelia merayakan hari jadiannya yang ketiga tahun dengan sang kekasih. Namun, pekerjaan dan kesibukannya mengurus pernikahan membuatnya tak sempat. Terlebih, Alvin juga sedang sibuk mengurus project di perusahaannya dua minggu ini.
Siapa sangka, sahabat Adelia begitu perhatian padanya.
[Terima kasih, Lusi! Kamu memang yang terbaik.] balas Adelia cepat.
[Santai saja. Itulah gunanya sahabat. Nanti datang ke kamar no. 171, ya]
Menahan kebahagiaan yang meluap, Adelia lantas segera menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan, dia mampir ke salon sebentar untuk berdandan agar hari ini tak bisa terlupakan. Adelia terus membayangkan betapa manisnya pertemuan mereka malam ini.
DING!
Pintu lift The Sultan terbuka menunjukkan bahwa dirinya telah sampai di lantai 17.
Adelia lantas keluar dari sana dan berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh petugas kebersihan yang ada di sekitar.
Ceklek!
Hanya saja, tepat ketika Adelia hendak melewati kamar 170, tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka.
Seorang pria tampan muncul dengan wajahnya penuh keringat, lalu menarik tangan Adelia secara paksa masuk ke dalamnya.
Adelia yang tak siap jelas tak bisa melawan tenaga besar pria itu.
"Ahhh!" teriaknya begitu di dalam kamar yang remang. Hanya ada lampu tidur yang menyala, sehingga Adelia tak dapat melihat jelas sosok asing yang tiba-tiba menyergapnya.
"A... apa yang kamu lakukan?"
Gadis itu begitu panik kala melihat pria asing itu menutup pintu kamar serta menguncinya. Deru napasnya juga begitu memburu membuat Adelia tanpa sadar mundur.
"Suaramu indah sekali!"
Nada bariton pria itu membuat Adelia merinding–seolah iblis yang hendak menghabisi mangsanya.
"Tolong! Tolong jangan lakukan sesuatu padaku! Aku bukan wanita seperti itu,” mohon Adelia yang berusaha menjauh.
Sayangnya, pria di hadapannya itu dalam pengaruh obat yang membuat akal sehatnya semakin hilang kendali.
Teriakan dan perlawanan Adelia justru membuat hasrat pria itu membesar. Keinginannya untuk menyentuh wanita pun semakin tak terkendali, sehingga langkahnya semakin cepat menuju Adelia.
Bugh!
Tanpa sadar, gadis itu justru terjatuh ke tempat tidur.
Tubuhnya semakin menegang terlebih kala pria asing itu menarik dagunya dan tersenyum miring.
"Kamu cantik sekali!"
"Lepaskan!" teriaknya menahan gemetar, “sebenarnya kamu siapa, hah?”
"Justru, aku yang harusnya bertanya, kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Aku ke sini karena mau bertemu dengan tunanganku. Karena malam ini–"
Belum selesai Adelia bicara, bibirnya langsung dibungkam oleh bibir pria itu dan direngkuh erat.
Mata Adelia melotot tak percaya menyadari tubuh mereka menempel satu sama lain–tak ada jarak sama sekali.
Segera, dia memberontak–berusaha melepaskan diri. Sayangnya, pagutan pria itu malah semakin dalam.
Sebuah ide pun muncul. Segera, dia menggigit bibir pria itu.
Hanya saja, Adelia tak sengaja membuatnya berdarah.
"Kelinci kecil, ternyata kamu bisa menggigit juga!” Tatapan pria itu menggelap, “tapi, tak apa. Aku akan menjinakkanmu malam ini!"
Srak!
Entah seberapa besar kekuatannya, pakaian Adelia dengan mudahnya dirobek, hingga membuat seluruh tubuh polos Adelia terlihat semua di depannya.
Ketakutan, Adelia hendak menyilangkan kedua tangan di dada.
Tapi, pria itu segera menyingkirkannya.
"Jangan menutupinya! Biarkan, aku menikmatinya, babe!" ucap pria itu seperti kelaparan.
"Tuan, tolong jangan lakukan ini padaku! Aku bukan wanita seperti yang Anda pikirkan, Tuan–”
“Uhmmh!”
Lagi-lagi, pria itu langsung menyambar bibir Adelia dengan penuh nafsu.
Dia tidak memberi sedikitpun celah untuk Adelia bisa melawan.
Cumbuan pria itu begitu intens, hingga Adelia tak sadar jika dirinya mulai berhenti berteriak.
Suaranya perlahan berubah menjadi sebuah erangan lembut yang membuat pria itu semakin menggila.
Penyatuan keduanya tak terelakan.
"Panggil namaku,” bisik pria itu di telinga Adelia, "Carl.”
Tanpa aba-aba, pria itu bergerak kembali dan menyalurkan hasratnya.
Permainannya yang intens membuat Adelia kehilangan akal.
"Ahhh... Carl!" desahnya tanpa sadar.
Hal ini jelas membuat Carlton semakin menggila. Pria yang biasanya terkenal dingin itu bahkan tersenyum!
Gerakannya semakin cepat, sampai Adelia merasakan gelombang kenikmatan yang baru pertama kali dirasakannya.
Hanya saja, matanya memberat dan mulai kehilangan kesadaran,...
****
Di sisi lain, Lusi tersenyum puas.
Dia sudah tak sabar menerima kabar Adelia hancur karena disetubuhi oleh Om Burhan, pria tua hidung belang yang sudah punya istri lima!
“Malam ini, Alvin milikku dan kamu milik pria tua itu, lalu bonusnya dapat uang dari om Burhan karena sudah menjual Adelia padanya,” lirih Lusi tertawa culas.
Selama ini, Lusi tak tahan melihat kebahagiaan sahabat yang juga wanita yang dicintai Alvin itu.
Lusi juga mencintai Alvin, tapi, mengapa selama ini dirinya hanya dijadikan pemuas hasratnya saja?!
Alvin bahkan menolak menyentuh Adelia untuk melindunginya.
Tapi setelah Adelia kotor, pria itu pasti akan sadar dan mengejar Lusi!
“Aku orang paling beruntung di dunia,” pujinya pada diri sendiri.
Sayangnya, Lusi tak menyadari bahwa Adelia justru melewatkan malam dengan pria yang jauh lebih tampan dan berkuasa dibandingkan Alvin!
Matahari bersinar sangat terang, hingga menembus tirai jendela kamar hotel yang di dalamnya. Sepasang pria dan wanita di kamar 170 itu masih berpelukan di bawah selimut dengan damai. Sayangnya, suara dering ponsel membuat keduanya perlahan terganggu. "Siapa yang menelepon sepagi ini? Apakah dia sudah bosan hidup di dunia ini!" Carlton mengumpat menyadari itu berasal dari ponselnya. Namun alih-alih mengangkat panggilan, pria tampan itu justru memeluk Adelia seperti bantal. Sementara itu, Adelia terkejut. Seketika, dia menyadari bahwa Carlton memeluk erat tubuh telanjangnya. "Ini!" Adelia refleks langsung mendorong tubuh Carlton hingga berhasil melepaskan pelukannya. Gadis itu langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. "Tadi malam kita.... " Carlton seketika menghela napas menyadari maksud Adelia. Selain memuaskan, malam tadi memang begitu panjang dan tak terlupakan karena itu pertama baginya. Hanya saja, Carlton baru ingat bahwa wanita di hadapannya ini adalah korban
"Aaaaa!" Adelia berteriak keras, tatkala dia melihat tubuh polosnya terlihat oleh Carlton. Seketika, Carlton menaruh kembali tubuh Adelia di atas tempat tidur dan menutup tubuhnya kembali dengan selimut. "Ma-maaf, Babe! Tadi itu tidak sengaja!" ucapnya dengan tawa yang menggelikan. Adelia cemberut dan segera menarik selimut itu sampai ke dagu."Dasar mesum!" ucap Adelia, dia memalingkan wajahnya, "dan berhenti panggil aku babe!"Carlton menghela nafas panjang, lalu duduk di samping Adelia. "Emmm! Tapi, aku akan tetap memanggilmu, Babe." Adelia melotot. Hanya saja belum sempat berbicara, Carlton tiba-tiba sudah menyela, "Oh, iya. aku ingin bertanya padamu, apakah boleh?" "Mau tanya apa?" Carlton tersenyum dan wajahnya mendekati telinga Adelia. "Babe, siapa nama kamu? Mengapa kamu bisa ada di kamarku?" tanya Carlton.Adelia terdiam sejenak, karena dia kembali teringat tentang apa yang telah terjadi sebelumnya. "Aku? Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini? Tapi ...." Adelia
"Siapa kalian?" tanya Carlton. Namun, wanita yang ada di depan Carlton hanya membuka mulutnya dan menatap Carlton dengan tatapan tidak biasa. Pria itu jelas sadar dengan tatapan menjijikan semacam itu. Carlton lantas menatapnya tajam. "Cepat! apa yang kalian inginkan! Waktu saya tidak banyak untuk melayani orang-orang semacam kalian!" tegasnya. Seketika Lusi tersadar, lalu melirik ke arah pria yang ada di sampingnya. "Vin, sepertinya kita salah kamar. Adel tidak mungkin ada di sini, tapi ...." Wanita itu langsung membuka layar ponselnya untuk menegaskan nomor kamar yang dia kirim tadi malam kepada sahabatnya itu. "Eh! Kita salah kamar! Ini bukan kamar 171 tapi 170," ucapnya sambil tersenyum malu kepada pria yang ada di sampingnya. "Oh, salah ya! Baguslah kalau begitu," ucap pria yang tak lain adalah Alvin. "Kalau begitu, ayo pergi! Aku yakin kalau Adel tidak mungkin mengkhianati aku dan dia adalah wanita yang sangat baik," ucap Alvin sambil melirik sekilas ke arah Carlto dan be
"Hei, kamu kenapa?" tanya Carlton kembali. Adelia tersentak dan segera menghapus sir matanya yang tak dia sadari, telah lolos membasahi pipinya. "Ah! aku ... aku baik-baik saja!" jawab Adelia. Dia bergegas untuk menyembunyikan kesedihannya. Namun, Carlton semakin penasaran padanya. "Ada apa? Mengapa kamu terlihat sedih sekali? Apakah kamu mengenal dua orang brengsek tadi?" tanya Carlton yang kemudian segera meraih tangan Adelia. "Ya, aku mengenal mereka berdua!" jawab Adelia akhirnya dengan jujur. "Aku mau pulang! Kapan pakaianku datang? Aku sudah tidak tahan lagi jika terlalu lama di sini." Ditahannya mati-matian air matanya yang entah mengapa terus mengalir. Setelah memastikan perasaannya sudah membaik, Adelia lantas membalikkan tubuhnya hendak beranjak pergi. Hanya saja, Carlton tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Apakah pria brengsek itu adalah Alvin yang tadi terus kamu katakan itu?" tanya Carlton. Adelia terdiam, lalu menutup matanya secara perlahan. Tubuhnya bah
Cukup lama Daffa menatap pintu yang sudah tertutup rapat, hingga akhirnya menghembuskan nafas kasar. "Baiklah! Lebih baik aku pergi saja dulu, tidak mungkin aku berdiri terus di sini. Nanti bisa-bisanya aku dikira penjahat di sini!" ucap asisten Carlton itu bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Carlton tampak berjalan menghampiri dokter wanita yang kini hendak memulai untuk melakukan pemeriksaan. "Nona, bolehkah saya tahu nama anda?" tanyanya dengan ramah. Adelia mengangguk. "Boleh dok! Nama saya Adelia," jawabnya. "Baiklah! Umur berapa dan apa keluhan yang anda rasakan?" tanya dokter itu lagi. Adelia terdiam sejenak, lalu melirik ke arah Carlton yang berdiri di belakang sang dokter. "Emmm! Saya ...." Adelia merasa canggung untuk mengatakannya. Dokter itu mengerenyitkan dahinya. "Ada apa nona? Apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya. Adelia menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali! Hanya saja ...." Adelia menarik nafas panjang, lalu melanjutkan ucapannya.
"Kenapa tiba-tiba Kakek menghubungiku? Apakah mungkin ...." Carlton tak mau berpikir lebih panjang lagi, sehingga dia segera menjawab panggilan itu. "Halo--" "Carl, di mana kamu? Jangan katakan kalau kamu sedang bersenang-senang dengan para wanita murahan itu daripada datang menemui Kakek kamu ini?!" Belum sempat berbicara, sang Kakek sudah membentak Carlton dengan penuh emosi. Jelas, pria itu mengerenyitkan dahi. "Dari mana Kakek tahu? Apakah mungkin ada orang yang memberitahunya?" gumamnya Entah mengapa, dia semakin yakin bahwa pelakunya bukanlah orang yang jauh darinya. "Kakek! Aku sebenarnya mau bertemu dengan Kakek, hanya saja aku ...." Belum selesai Carlton menyelesaikan ucapannya.... CEKLEK! Suara pintu kamar mandi pun terbuka dan muncullah sosok Adelia dari sana. "Tuan, aku mau pergi sekarang!" teriaknya dengan nada keras. Carlton langsung menoleh ke arah Adelia. "Eh! siapa yang mengizinkan kamu untuk pergi dari sini?!" jawab Carlton dengan tegas. Adelia menatap
Tut' tut' tut' Daffa yang belum bicara apapun, langsung terkejut. "Bos!" Daffa menatap layar ponselnya yang sudah berubah menjadi gelap. "Kenapa dia menyusahkan sekali! Aku bahkan tidak tahu wajah wanitanya, bagaimana mungkin aku mencarinya!" keluh Daffa, putus asa. Tak lama, asisten Carlton itu mengirim pesan pada Carlton. [Bos, bagaimana rupa wanita anda? Maaf, tapi saya kan belum sempat melihatnya sama sekali] Pesan pun terkirim. Setelahnya, dia menaruh gelas yang masih ada di tangannya, lalu bergegas bangun dari tempat duduknya.Sambil berjalan ke arah kasir untuk membayar satu gelas kopi yang sudah dia habiskan. "Terima kasih!" ucap Daffa sambil memberikan uang tagihan atas satu cangkir kopi yang sudah dia habiskan. "Terima kasih kembali, mas!" jawab sang kasir dengan senyuman ramahnya. Setelah selesai, Daffa berjalan keluar dari Cafe itu dan bergegas menuju kamar tempat Carlton berada. Drrt! [Foto masuk]"Cari wanita ini!" Daffa langsung membuka pesan itu dan ... m
Di sisi lain, Adelia masih saja sibuk dengan semua pikirannya bahkan tak peduli dengan semua yang ada di sekitarnya. Hanya saja, tepukan di bahunya membuatnya tersentak. "Nona!""Ah, iya!" jawab Adelia, yang segera menghapus air matanya. Hanya saja, dia bingung dengan pria di hadapannya kini. "Siapa Anda?" Daffa tersenyum, lalu segera duduk di sebelahnya. "Maaf mengganggu waktunya, tapi tadi saya melihat anda sedang menangis, jadi saya ingin memberikan ini pada anda," ucap Daffa sembari memberikan satu bungkus tissue ke arah Adelia. Ya, dia sedikit berbohong. Daffa takut kalau memberitahu bahwa dirinya bawahan Carlton akan membuat wanita ini kabur. "Ini ...." Adelia menatap Daffa sejenak. Walaupun ada rasa ragu, dia akhirnya mengambil tissue itu. "Terima kasih!" ucapnya, tulus. Segera dihapusnya air mata. Sedangkan Daffa, dia terus menatapnya sambil tersenyum. "Dia manis sekali! Ah, pantas saja Bos langsung menyukainya. Kalau itu aku, tentu saja aku juga sama seperti Bos," g