Bukan hanya kedua orang tua Lili yang begitu bersedih mengetahui sang putri meninggalkan dunia, tetapi juga mama Feli. Saat pertama kali kabar itu sampai di telinganya, tubuh mama Feli seolah kehilangan tenaga. Ia langsung pingsan saat sedang, mengetahui menantu yang begitu disayanginya, perempuan yang sudah ia anggap seperti anak sendiri, kini telah tiada. Lebih menyayat lagi, Lili pergi bersama bayi yang sedang dia kandung, cucu pertama yang begitu dinantikan oleh mama Feli.Setelah tersadar dari pingsannya, mama Feli tak henti-henti menangis. Tangisnya pecah sambil memeluk tubuh Lio, sang putra yang sama sekali tak kuasa menahan luka batin. Lio duduk terpaku, wajahnya pucat, matanya sembab, dan tatapannya kosong seolah jiwanya ikut terkubur bersama Lili.Waktu terasa begitu lambat. Lio tidak berbicara banyak, hanya terdiam, dan sesekali menarik napas panjang seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata. Tubuhnya masih bernapas, tapi semangat hidupnya telah pergi.Setela
Lio terbangun dari pingsannya. Tubuhnya masih terasa berat, kepalanya pening, dan pandangannya sempat buram beberapa detik. Ia baru menyadari dirinya terbaring di atas jok mobil dengan nafas terengah-engah. Ingatan terakhir yang muncul adalah kalimat tajam salah satu polisi sebelum ia kehilangan kesadaran, kalimat yang merobek jiwanya. Dimana polisi itu mengatakan jika istri yang begitu amat ia cintai jatuh ke dasar jurang.Sekejap saja, kalimat itu kembali bergema di kepalanya. Lio tersentak bangkit, duduk tergesa di kursi mobil, lalu meraih gagang pintu dengan tangan gemetar."Sayang." bisiknya lirih, seolah memanggil nama Lili, istrinya.Tanpa pikir panjang, Lio turun dari mobil. Kakinya bergetar, namun tetap dipaksakan untuk berlari menuju jurang yang dimaksud polisi. Namun, langkahnya terhenti ketika Romi, sahabat karibnya, dengan cepat menahan tubuhnya."Lio! Tetap di sini!" pinta Romi dengan suara tegas."Lepas!" bentak Lio. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong tubuh Romi hingga
Salah satu anggota Basarnas mendekati Romi yang sejak tadi menunduk, menahan guncangan batin. Telepon dari mama Feli terus bergetar di saku celananya, namun Romi memilih mengabaikan. Ia tidak sanggup mengatakan apa pun tentang Lili."Maaf Pak, kami membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan evakuasi," ujar anggota Basarnas itu dengan suara berat. "Jurang terlalu dalam dan curam. Tapi Anda tidak perlu khawatir, tim kami akan segera mengangkat tubuh korban. Maaf, jika korban sudah kehilangan nyawa."Ucapan itu seperti pisau yang mengiris dada Romi. Ia terdiam, menutup matanya rapat-rapat, mencoba mengatur napas yang terasa semakin sesak. Wajah Lio terbayang jelas dalam benaknya, wajah sahabatnya yang sudah rapuh, kini harus dipaksa menelan kenyataan bahwa wanita yang paling dicintainya mungkin telah pergi selamanya.Langkah Romi gontai ketika ia menjauh sejenak dari bibir jurang. Suara-suara tim penyelamat yang sibuk menyiapkan tali, lampu sorot, dan peralatan lain terdengar samar. Ia
Seluruh tubuh Lio mendadak lemas, seolah semua tenaga yang ia miliki lenyap begitu saja. Napasnya tercekat ketika mendengar kabar buruk dari polisi bahwa sang istri ditemukan di dasar jurang yang cukup dalam. Dunia seakan berhenti berputar, Lio benar-benar tidak bisa berpikir.Sebelum tubuh Lio benar-benar ambruk, Pak Budi dengan sigap menahan tubuh majikannya tersebut. Wajah Pak Budi ikut pucat pasi, meski ia berusaha tetap tegar demi majikannya tersebut."Ini… ini tidak mungkin." suara Lio bergetar, lirih, namun penuh luka. Air mata yang sejak tadi ia tahan, pecah begitu saja, mengalir deras membasahi kedua pipinya. Tangis itu bukan hanya sekadar tangis kesedihan, melainkan tangis seorang pria yang merasa separuh jiwanya direnggut secara tiba-tiba.Pak Budi, meski hatinya juga ikut remuk, mencoba menenangkan. "Pak, belum tentu yang jatuh ke dasar jurang itu Bu Lili. Jangan dulu percaya sepenuhnya," ucapnya, menepuk pelan bahu Lio.Ucapan itu terdengar masuk akal, membuat Lio sedikit
Lio dengan membabi buta menghajar Zian, pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan tubuh pria itu tanpa ampun. Emosinya yang meluap-luap membuatnya sama sekali tidak percaya pada pernyataan Zian yang berulang kali mengatakan bahwa Lili melarikan diri. Di mata Lio, semua hanya dusta. Baginya, Zian selalu penuh tipu muslihat, dan mustahil ia percaya begitu saja, apalagi setelah apa yang dilakukannya.Romi yang sejak tadi ikut menyaksikan perkelahian itu, segera bertindak ketika melihat Zian sudah tidak berdaya dan tergeletak di atas aspal. Kedua tangan Romi menahan tubuh Lio yang hendak kembali melayangkan pukulan."Hentikan, kamu bisa membunuhnya, Li!" seru Romi dengan nada tegas, suaranya bercampur dengan deru napasnya yang ikut terburu karena berusaha melerai.Namun Lio, yang matanya memerah penuh amarah, hanya menggeram. "Biarkan saja dia mati!" Kesal Lio sambil mengatur napasnya yang memburu, dada naik turun begitu cepat. Emosinya benar-benar sudah meledak, bahkan hampir menguasai
Setelah mengetahui jika Zian, suaminya, membawa paksa Lili, membuat Bela tidak bisa tenang. Hatinya berkecamuk, amarah dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Ia sadar, selama ini Zian masih menyimpan obsesi pada Lili, mantan istrinya. Dan kali ini, Bela bertekad untuk mengakhiri semua itu. Ia tidak rela dirinya terus-menerus menjadi bayangan Lili dalam hidup sang suami.Rasa curiga Bela terbukti ketika ia menemukan sebuah sertifikat rumah di brankas milik Zian. Rumah itu terletak di daerah puncak. Dengan wajah yang memerah karena emosi, Bela langsung menyimpulkan bahwa ke sanalah Zian membawa Lili. Tanpa berpikir panjang, Bela mengajak mama Ika untuk menemaninya. Mama Ika, yang sejak awal tidak menyukai Lili, tentu saja mendukung langkah Bela."Ini saat yang tepat, Bel. Kalau memang benar mereka ada di sana, kita harus segera bertindak," kata Mama Ika sambil memegang tangan menantunya.Bela mengangguk dengan tekad bulat. "Ya, Ma. Aku sudah tidak