Mama Feli tidak membiarkan Lio, sang putra, mendekati Lili. Ia berdiri di samping ranjang perawatan Lili dengan tangan terlipat di dada, membentuk tembok tak terlihat yang menghalangi siapa pun, termasuk Lio, dari menyentuh menantunya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada Lili. Ia tahu betul bagaimana Lio, putranya itu, bisa begitu berlebihan pada Lili, apalagi dengan aktivitas di atas ranjang yang membuat Lili masuk dan di rawat di rumah sakit seperti saat ini."Ma, minggir dong. Lili itu istriku. Aku yang berhak menemaninya,' ucap Lio kesal, berusaha menyelinap lewat sisi kiri ranjang.Mama Feli langsung memperkuat posisinya. "Dan Lili itu menantu mama. Yang sedang mengandung cucu mama! Kamu pikir mama tega membiarkan Lili kelelahan lagi gara-gara kamu yang terlalu hyper.""Ya ampun, Ma. Aku ini suaminya. Yang paling bertanggung jawab atas Lili.""Mama juga bertanggung jawab, melindungi Lili dari kamu."Lio menghela napas, frustrasi. "Astaga, mama kenapa sih? Masa suami dilarang
Wilona duduk termenung di kursi rodanya, memandang kosong ke arah jendela yang dibuka sebagian. Hembusan angin malam menerpa wajahnya, namun tidak cukup untuk mendinginkan perasaan yang sedang kacau dalam dadanya. Sejak Romi pergi meninggalkan rumah tadi, pikirannya tak bisa tenang. Jantungnya berdetak tidak karuan, dan dadanya terasa sesak seperti dicekik sesuatu yang tak kasat mata.Melihat majikannya masih belum bergeming dari posisi semula, Mbak Rini, asisten rumah tangga yang telah bekerja separuh umurnya di rumah itu, akhirnya mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran."Bu, mau aku bantu naik ke atas tempat tidur?" tanyanya pelan, berusaha tidak menyinggung perasaan sang majikan yang tengah rapuh.Wilona menggelengkan kepala, meskipun tubuhnya nyaris tidak bergerak. "Aku bisa sendiri, Mbak." ucapnya pelan.Padahal kenyataannya, Wilona memang tidak pernah bisa naik ke tempat tidur sendirian. Sejak setahun lalu, tubuhnya lumpuh total dari pinggang ke bawah. Semua terjadi begitu cepat,
Romi terus melangkah menuju salah satu kamar yang ada di rumah mewah tersebut. Rumah itu begitu luas dan sunyi, nyaris tak terdengar suara selain detak langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer dingin. Tujuannya hanya satu, menemui ibu dari gadis kecil yang kini berlari mengejarnya."Om, tunggu aku!" seru suara kecil yang familiar bagi Romi.Elea, gadis kecil berusia lima tahun, berhasil menghentikan langkah Romi yang hampir sampai ke pintu kamar yang ia tuju. Dengan napas terengah, anak itu memeluk kaki Romi erat.Romi membalik tubuhnya dan berjongkok, menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Elea. Senyum hangat langsung merekah di wajahnya, dan tangannya dengan lembut mengelus pipi chubby gadis kecil itu."Kenapa, Elea sayang?" tanyanya lembut."Mama tidak mau ketemu Om," ucap Elea lagi dengan nada serius, bibirnya cemberut, dan tangan mungilnya menyilang di dada."Tapi Om mau ketemu sama mama kamu. Gimana dong?" Romi mengerling lucu, berusaha mencairkan suasana."Aku melara
Mama Feli terkekeh mendengar apa yang Lio katakan pada Romi."Tante juga kira kamu bowtie, Rom. Lagian, tidak pernah bawa gandengan," ujar Mama Feli sambil melirik nakal ke arah Romi, asisten kepercayaan putranya yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.Romi mengerutkan dahi, lalu menatap Mama Feli dengan ekspresi setengah geli. "Tante bisa aja, tentu saja aku normal," jawabnya, mencoba tetap sopan meski dalam hatinya merasa geli sendiri."Bagus," sahut Mama Feli mantap. "Dan semoga kamu berjodoh dengan Devi."Romi langsung mengangkat alis. "Tan, jangan seperti ini," ucapnya cepat, tidak nyaman dengan arah pembicaraan yang mulai menyimpang."Tante tidak mau tahu. Kamu harus berjodoh dengan Devi. Devi itu perempuan baik, sopan, pintar dan cocok banget sama kamu." Ujar mama Feli."Tapi, Tan, siapa tahu dia udah punya pacar?""Tante tahu banget dia belum punya pacar, makanya langsung gas! Atau mau Tante bantu?""Tidak usah," sahut Romi buru-buru. "Aku bisa sendiri."Mama Feli menyipitk
Saat fokus Lio tertuju pada objek lain, Zian segera menjauh tanpa sepatah kata pun. Meskipun tutur katanya sebelumnya terdengar sopan dan tenang. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling terdalam, ia benar-benar menginginkan Lili untuk kembali padanya."Aku akan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan kamu kembali, Li," gumam Zian pelan. Langkahnya cepat meninggalkan rumah sakit, seolah tak sanggup lagi menahan sesak di dada yang meletup oleh rasa kehilangan dan penyesalan yang datang belakanga, karena ia baru sadar, Lili benar-benar perempuan yang begitu sempurna untuknya.Sementara itu, fokus Lio terus tertuju pada dua orang yang berjalan mendekati ruang perawatan di mana sang istri berada. Pandangannya tidak lepas dari Romi, sang asisten sekaligus sahabat baiknya, yang kini sedang berjalan berdampingan dengan Devi, sahabat dekat Lili.Lio sempat mengernyit, tak percaya pada pemandangan yang terpampang di depannya. Romi, pria dingin yang selalu bersikap cuek pada perempuan, kini berjala
Lio menarik kasar lengan Zian yang hendak membuka pintu ruang perawatan Lili, lalu mendorong dadanya, membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang."Mau apa kamu, hah?" tanya Lio penuh emosi, sorot matanya tajam seakan siap meledak kapan saja.Zian menatap balik tanpa ada niat membalas dorongan itu. "Aku hanya ingin bertemu dengan Lili," jawabnya datar, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa ia tak main-main."Untuk apa?" Lio mendengus sinis. "Untuk mengakui kalau bayi yang sedang dikandung Lili itu adalah bayimu? Jangan mimpi!" lanjutnya dengan nada tinggi. Mengingat lagi, sebelumnya Zian begitu menggebu gebu mengatakan jika bayi yang sedang Lili kandung adalah anaknya."Ingat, sudah berapa lama kamu tidak menyentuh Lili saat kalian masih sah sebagai suami istri? Sekarang kamu mau klaim anak itu anakmu? Yang benar saja! Sudah jelas, bayi itu adalah darah dagingku, Zi!"Zian menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia tidak mencoba membela diri atau membantah. "Aku tahu. Bayi