LOGINKemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit.
Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp. Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat. Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor. Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. *** Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di sana, Daniel tidak lagi menjadi CEO, ia menjadi kekasih yang penuh hasrat, yang memuja Alya dengan obsesi yang tak tersentuh oleh hierarki kantor. Namun, kendali Daniel mulai merayap keluar dari ranah strategi dan masuk ke kehidupan pribadi Alya. Suatu sore, Alya berencana makan malam dengan Sarah, rekan kerjanya, yang ingin meminta nasihat tentang perubahan struktur perusahaan. "Aku akan pulang lebih awal hari ini, Daniel. Ada janji makan malam dengan Sarah," kata Alya saat mereka berdua sedang memeriksa draft laporan di ruang kerjanya. Daniel mendongak dari tabletnya, ekspresinya langsung berubah dingin. "Makan malam?" tanyanya, nada suaranya datar, namun penuh ancaman tersembunyi. "Tentang apa?" "Hanya... obrolan biasa. Sarah sedikit khawatir dengan restrukturisasi yang kita lakukan," jawab Alya, merasa gugup. Daniel berdiri, melipat tangannya, dan bersandar di ambang pintu kaca. "Kau tahu betapa pentingnya kerahasiaan kita, Alya. Dan kau tahu betapa mudahnya orang-orang mulai berspekulasi jika mereka melihatmu terlalu dekat dengan rekan kerja lama yang jelas-jelas tidak sejalan dengan visi kita." "Sarah adalah temanku. Dan dia tidak akan pernah membocorkan apapun," bela Alya. "Teman?" Daniel mengangkat alisnya, sinis. "Di lantai ini, hanya ada aku dan kau. Yang lain adalah alat, atau ancaman. Pilihlah, Alya. Kau ingin berada di pihakku di dalam lingkaran rahasia ini atau kau ingin kembali ke dunia gosip dan ketidakpastian?" Kata-kata Daniel seperti cambuk, mengingatkan Alya pada perjanjian diam-diam mereka. Ia kini terikat, bukan oleh cinta murni, melainkan oleh tali pengikat emas yang Daniel buat dari kerahasiaan, jabatan, dan etika yang telah ia langgar. Alya menghela napas, menyadari ia telah kehilangan sebagian besar kebebasan pribadinya. "Baik. Aku akan membatalkannya. Aku akan katakan padanya aku sakit kepala." Wajah Daniel melembut, senyum kemenangannya kembali. Ia berjalan mendekati Alya, memeluknya dari belakang, dan mengecup bahunya. "Gadis pintar," bisik Daniel. "Prioritasmu sudah benar. Kau harus fokus padaku. Dan pada bagaimana kita akan menguasai perusahaan ini, bersama-sama." Malam itu, Alya mengirim pesan pembatalan pada Sarah, merasakan tusukan rasa bersalah lainnya. Ia tahu Daniel mencintainya, tetapi cinta Daniel adalah cinta yang posesif, yang menuntut isolasi dan kepatuhan absolut. "Sarah maaf, kita gak jadi pergi. aku ingin istirahat kepala aku sakit." Alya mengirim pesan "Kau yang terbaik Alya." bisikan Daniel membuat bulu Alya sampai bergidik. "aku mencintaimu."Pagi setelah malam yang membara di kantor dan kamar Daniel terasa surreal. Alya terbangun di apartemen mewah Daniel, yang kini menjadi "sarang" rahasia mereka. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit di atas cakrawala Jakarta. Ia adalah wanita yang sama, Manajer Senior yang sama, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat. Daniel sudah bangun, menyiapkan kopi dan sarapan ringan. Ia bertingkah seperti kekasih yang posesif dan lembut, bukan CEO yang menuntut. "Aku membiarkanmu tidur lebih lama. Kau pasti lelah," kata Daniel sambil tersenyum menggoda, menyinggung intensitas malam mereka. "Kita harus lebih berhati-hati, Daniel," ujar Alya, mencoba mencari celah untuk menyisipkan kembali rasionalitas ke dalam hubungan mereka. "Kita tidak boleh datang ke kantor bersamaan. Kita tidak boleh meninggalkan jejak." Daniel duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Alya. "Kau khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang? Biarkan mereka berpikir. Selama kit
"Ayo," Daniel berkata, sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja marmer. "Kita akan pulang. Dan kau akan tidur di ranjangku malam ini."Perjalanan dari kantor Daniel ke apartemennya terasa seperti perjalanan ke hukuman mati. Daniel mengemudi dengan tenang, namun aura dominasi yang terpancar darinya membuat Alya kaku di kursinya.Ketika mereka memasuki penthouse Daniel yang megah tempat Alya telah tinggal selama dua bulan terakhir, di bawah dalih "mempermudah akses ke kantor" semua rasa bersalah Alya mendidih menjadi ketakutan.Ini adalah tempatnya. Ini adalah sangkarnya.Daniel mematikan lampu di ruang tamu, meninggalkan mereka dalam cahaya redup dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan seluruh Jakarta. Alya berdiri mematung di tengah karpet bulu, sementara Daniel berjalan melewatinya."Pergi mandi," perintah Daniel tanpa menoleh, suaranya kembali dingin. Ia membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air mineral dingin. "Aku akan menunggumu di kamar."Alya merasa terh
Daniel tidak bergeming. Pelukannya semakin mengerat, membuat Alya kesulitan bernapas, bukan karena fisik, tapi karena beban emosional dari keintiman yang baru saja mereka bagi.Keheningan yang menggantung setelah puncak gairah itu jauh lebih memekakkan telinga daripada erangan atau bisikan mereka sebelumnya.Lampu-lampu kota yang semula tampak romantis kini terasa seperti mata-mata. Alya bisa melihat pantulan dirinya dan Daniel di jendela dua sosok yang saling berpelukan, telanjang, di dalam kantor CEO yang seharusnya menjadi simbol profesionalisme yang dingin.Ia mencoba bergerak, namun Daniel menahannya."Jangan bergerak," perintah Daniel, suaranya kini tenang, namun memancarkan otoritas yang jauh lebih menakutkan karena diselimuti oleh kepuasan. Ia mencium puncak kepala Alya, menghirup aroma sampo mahal yang bercampur dengan aroma keringat mereka sendiri. "Aku hanya ingin seperti ini sebentar."Alya memejamkan mata. Kata-kata Daniel, "Kamu sudah membuat aku gila, Alya Pranata," te
Lampu kota Jakarta di luar jendela kantor Daniel adalah satu-satunya saksi.Setelah Alya membatalkan janji dengan Sarah, Daniel tidak membiarkan keraguan atau rasa bersalah Alya bertahan lama. Ia membalikkan Alya, menatap lurus ke dalam matanya, dan semua sisa profesionalisme menghilang dari tatapannya."Kau milikku di sini, Alya. Tidak ada ponsel, tidak ada laporan, tidak ada dunia luar," bisik Daniel, suaranya dalam dan serak, memancarkan otoritas yang jauh lebih menggairahkan daripada perintah rapat manapun.Ia mencium Alya dengan intensitas yang tak tertahankan. Ciuman itu adalah janji, sekaligus penaklukan. Daniel menciumnya seolah ia haus akan delapan tahun yang hilang, seolah Alya adalah warisan paling berharga yang harus ia klaim.Alya, meskipun jiwanya berteriak menolak kendali Daniel, tidak bisa menipu tubuhnya. Gairah Daniel adalah kekuatan alam yang ia coba lawan, namun selalu berakhir dengan penyerahan diri. Ia merangkul leher Daniel, membiarkan dirinya ditarik ke dalam
Kemenangan Daniel di rapat direksi, yang didukung oleh "pengkhianatan" Alya terhadap Bapak Wijaya, terasa manis sekaligus pahit. Publik melihat Alya sebagai Manajer Senior yang brilian, yang dengan cepat beradaptasi dengan visi baru CEO. Mereka melihatnya sebagai tangan kanan Daniel, sosok kunci dalam revolusi Arkana Corp.Namun, di dalam diri Alya, rasa bersalah itu mulai berkarat.Setelah rapat itu, Bapak Wijaya mengirim email singkat kepada Alya. Semoga keputusan ini sepadan, Alya. Kalimat itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada kemarahan atau teguran apapun. Ia tahu, ia telah kehilangan kepercayaan seorang mentor.Alya mencoba menyalurkan rasa bersalahnya menjadi kerja keras yang lebih intens. Ia fokus membuat strategi baru Daniel berhasil, berharap keberhasilan itu bisa membenarkan cara-cara kotor yang ia gunakan. ***Tiga minggu berlalu. Hubungan Alya dan Daniel semakin intim dan tersembunyi. Mereka bertemu di apartemen mewah Daniel yang kosong, jauh dari mata kantor. Di s
Setelah ciuman di malam pengkhianatan itu, hubungan Alya dan Daniel memasuki fase berbahaya. Di siang hari, di mata karyawan dan direksi, Alya tetaplah Manajer Senior yang profesional, sedangkan Daniel adalah CEO yang menuntut.Namun, begitu pintu kaca ruang eksekutif tertutup dan jam kerja berakhir, batas-batas itu runtuh total.Ruangan kerja Alya, yang terpisah dari kantor Daniel hanya oleh dinding kaca buram, menjadi saksi bisu keintiman terlarang mereka. Kopi hitam yang dulu disajikan sebagai tanda otoritas, kini menjadi pembuka diskusi pribadi yang hangat, sering kali diakhiri dengan sentuhan dan bisikan.Daniel, di luar imej CEO-nya, adalah pria muda yang penuh gairah dan perhatian. Ia terobsesi pada Alya, dan obsesi itu menyenangkan sekaligus mencekik. Ia tidak hanya menginginkan tubuh Alya, tetapi juga otaknya, dan yang paling penting, kendali penuh atas emosinya. ***Suatu sore, setelah semua karyawan pulang, Alya dan Daniel duduk di sofa kantor Daniel, berhadapan langsu







