Hari-hari terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.Mona menjalani rutinitas yang tampak biasa bagi orang lain, tapi penuh rahasia bagi dirinya.Setiap kali Raka pulang dengan semangat, dia selalu menyeret istrinya ke ranjang. Nafsu dan ambisinya bercampur jadi satu, yang dia inginkan hanyalah keturunan untuk memperkuat posisinya di perusahaan. Mona hanya bisa menerima, menutup matanya, membiarkan tubuhnya disentuh, namun hatinya tidak pernah hadir.Di sisi lain, setiap kali ada kesempatan, Andri akan datang. Kadang ke rumah, kadang mereka bertemu diam-diam di sebuah hotel di pinggir kota. Di sana, Mona merasakan kehangatan berbeda. Bukan sekadar nafsu, melainkan obsesi yang manis sekaligus menakutkan.Program yang mereka jalani membuat Mona semakin bingung. Dokter menyarankan pola makan, vitamin, hingga jadwal bercinta yang teratur. Namun siapa yang menjalankannya? Mona dengan Raka? Atau Mona dengan Andri?Tak ada seorang pun yang tahu, hanya Mona yang menanggung kebingungan itu sen
Hari-hari terasa begitu cepat berlalu bagi Mona. Tak terasa sudah masuk ke hari yang dijanjikan. Hari ketika dia dan Raka harus menemui dokter kandungan, sesuai permintaan Kania. Pagi itu Mona bangun dengan hati berat. Dia berusaha menyiapkan sarapan seperti biasa, meski tangannya sedikit bergetar.Raka, berbeda jauh. Lelaki itu terlihat penuh energi, bahkan lebih rapi dari biasanya. Dasi hitamnya terikat sempurna, wajahnya segar. Senyuman puas tak pernah lepas dari bibirnya. Mona bisa merasakan antusiasme yang memancar dari suaminya. Namun, bukan antusiasme seorang calon ayah yang menantikan buah hati, melainkan ambisi seorang lelaki yang ingin memperkokoh posisinya."Ayo, kita berangkat sekarang. Jangan sampai telat. Ibu sudah menelpon, dia menanyakan kabar," ucap Raka sambil menepuk bahu Mona dengan nada berwibawa.Di dalam mobil, perjalanan menuju klinik itu terasa panjang bagi Mona. Dia menatap keluar jendela, menahan napas yang terasa berat. Jika aku benar-benar hamil dari Andri
Andri duduk di dalam mobilnya beberapa menit setelah meninggalkan rumah Mona. Kedua tangannya masih mencengkeram erat setir, seakan enggan benar-benar melepaskan kehangatan yang tadi dia dapatkan. Hatinya berkecamuk, antara ingin kembali masuk dan terus bersama Mona, atau menuntaskan kewajiban pekerjaannya. Namun suara notifikasi di ponselnya memaksanya kembali ke realita. Ada rapat mendadak yang harus dia hadiri. Dengan helaan panjang, Andri menyalakan mesin mobil dan melaju ke kantor pusat Wijaya Group. Di gedung megah itu, suasana kantor sedang sibuk seperti biasa. Staf lalu-lalang, beberapa karyawan membungkuk hormat ketika melihat sosok sang manajer muda lewat. Andri tetap berjalan dengan tatapan tajam, langkah cepat, walau dalam hatinya masih terbayang-bayang wajah Mona. Tak lama, dia berpapasan dengan Raka di lorong menuju ruang rapat. Sang kakak tampak percaya diri dengan stelan jas rapi, meski belum sepenuhnya menguasai posisinya kembali."Lho, Andri?" sapa Raka sambil men
Langkah kaki Mona mondar-mandir di ruang tamu. Tirai jendela beberapa kali dia singkap untuk memastikan keadaan luar. Jalanan sepi, hanya suara kendaraan sesekali melintas. Degup jantungnya semakin keras ketika lampu depan sebuah mobil berhenti di halaman.Mobil itu tidak lain milik Andri.Pintu terbuka, sosok lelaki itu keluar dengan kemeja masih sedikit kusut karena tergesa. Rambutnya berantakan, wajahnya serius, matanya tajam menatap rumah itu seakan tak sabar menembus dinding pemisah. Mona buru-buru membuka pintu sebelum Andri sempat mengetuk."Mona..." suara berat itu terdengar, namun belum sempat kata lain terucap, tubuh wanita itu langsung disambar dalam pelukan.Andri menutup pintu dengan kakinya, membekap bibir Mona dengan cumbuan panas. Nafas mereka bertubrukan, kasar, liar, seperti menahan dahaga terlalu lama."Aku hampir gila membayangkanmu," desis Andri di sela kecupan. Tangannya menekan pinggang Mona, menariknya rapat hingga tubuh mereka benar-benar saling menempel. "Har
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar. Raka terbangun lebih dulu, matanya langsung tertuju pada Mona yang masih meringkuk di sisi ranjang. Lelaki itu duduk, menatap lama wajah istrinya, lalu menurunkan pandangannya ke arah selimut yang menutupi pinggang wanita itu. Ada rasa curiga yang kembali menggelayut di hatinya. Benarkah Mona sedang datang bulan? pikirnya. Atau hanya alasan supaya dia terhindar dariku? Mona menggeliat kecil, membuka mata dengan senyum yang dipaksakan. "Kau sudah bangun? Sarapannya sudah aku siapkan di meja." Dia berusaha terdengar wajar, padahal tubuhnya tegang. Raka memperhatikan gerak-gerik istrinya. Tidak ada tanda sakit perut atau wajah pucat seperti biasanya ketika Mona benar-benar datang bulan. Namun wanita itu pandai bersandiwara. Mona bahkan menempelkan handuk kecil di pinggangnya, seolah sedang menahan kram perut."ku rasa… kau baik-baik saja. Tidak terlihat sakit," ucap Raka tiba-tiba, nada suaranya penuh kecurigaan. Mona buru-buru menundu
Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan area klinik, roda berputar di atas aspal basah karena hujan tipis yang turun sejak siang. Di dalam kabin, aroma obat dari bungkusan kecil vitamin pemberian Dokter Chen masih samar tercium. Mona duduk diam di kursi penumpang, matanya menatap kosong keluar jendela. Bayangan mimpi buruk semalam kembali berkelebat, bercampur dengan rasa bersalah karena kini dia melangkah lebih jauh ke jalan gelap bersama adik iparnya. Tangan Andri menggenggam kemudi dengan santai, sesekali melirik ke arah wanita di sampingnya. "Kau terlalu diam. Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan suara rendah. Mona menelan ludah. Jemarinya meremas bungkusan vitamin itu di pangkuannya. "Andri… aku takut." Alis Andri terangkat. "Takut apa?" Mona menghela napas panjang, suaranya bergetar. "Takut Raka tahu… takut ibu mertua tahu… kalau mereka tahu apa yang kita lakukan, semuanya akan berakhir. Aku bahkan tak bisa membayangkan jika rahasiaku terbongkar." Ucapan itu me