"Mirae, buatkan aku mie goreng!"
Seorang lelaki berkemeja biru berteriak kencang, sembari menutup kembali tudung saji yang baru saja dia buka. Matanya merasa bosan, dengan masakan rumahan yang tidak berharga itu. Tahu tempe dan sayur bening tanpa bakso ataupun sosis, itu bukan makanan yang ingin dia santap malam ini. Padahal Mirae sudah susah payah memasak, setelah pulang bekerja. Walaupun tadi sempat ada masalah yang membuatnya bimbang, kewajiban seorang istri harus tetap dijalankan. Akan tetapi lelaki bernama Rey itu, tidak bisa menghargai istirnya. "Rey, bukankah kau sangat ingin sayur sop? Aku sudah membuatnya sekarang. Lagi pula sayang jika tidak dimakan, mubajir." Mirae mengambil satu centang nasi ke atas piring, bermaksud untuk meminta sang suami memakan masakannya. Akan tetapi Rey malah menepisnya hingga pecah, lalu mencubit lengan sang istri kencang. Mirae hanya mampu menjerit kesakitan, dengan mata yang berkaca-kaca. Perlakuan seperti ini sudah sering dia dapatkan, namun tak mampu Mirae ungkapkan pada siapapun. Wanita itu memilih untuk bersabar, demi mempertahankan rumah tangga yang selama ini berjalan cukup lama. Sudah berapa banyak rasa sakit dan kebahagiaan yang mereka jalani, entah itu tentang pernikahan, atau kehilangan anak yang sangat mereka cintai. Mirae masih sangat berduka dengan meninggal nya anak yang begitu dia sayangi, namun dia tidak bisa bersantai-santai karena harus menjalankan kewajibannya. Dia tidak ingin dipanggil sebagai istri yang menyusahkan suami, atau bermalas-malasan di rumah hanya karena luka di dalam hatinya. "Kau itu tuli? Aku ingin mie goreng, bukan masakan sampah yang kau sajikan itu! Beli ayam, sapi atau apa kek? Kau itu aku beri uang setiap bulannya, masih saja memasak tahu dan tempe. Aku bosan Mirae!" Bentak lelaki itu kesal. "Aku hanya memanfaatkan yang ada, uang bulanan kan sudah habis, jadi kita makan seadanya saja ya?" Ucap Mirae dengan tenang. "Habis katamu? Dasar boros. Itu alasannya kenapa aku meminta kau untuk bekerja. Biar kau tahu, bagaimana rasanya mencari uang. Dasar wanita sialan!" Umpat Rey pada istrinya. "Iya aku mengerti. Aku memang belum bisa mengatur keuangan rumah tangga kita, maafkan aku Rey. Jadi kau ingin makan mie goreng saja?" Tanya Mirae, yang mencoba mengalihkan pertengkaran mereka. "Sudah tidak berselera, lebih baik aku makan diluar saja. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur sendiri sana!" Tegas lelaki itu. Mirae tidak bisa berkata-kata lagi, air matanya sudah terlalu berat untuk dia tahan. Dengan lengan yang gemetar, dia pungut semua pecahan beling di lantai, setelah itu dia makan masakannya sendiri dengan lahap. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu, pulang kerja dalam keadaan penuh amarah. Mirae merasa tidak pernah melakukan kesalahan, dia bahkan selalu menuruti apa yang lelaki itu inginkan. "Apa aku tidak cukup berharga dimatanya? Kenapa sikapnya semakin gila saja." Mirae sudah sampai pada batasnya, dia menangis sejadi-jadinya. Ari mata tumpah membasahi pipinya, ingus pun tak ketinggalan ikut keluar dalam drama menyedihkan ini. Terkadang dia merasa sangat lelah, dan ingin mengakhiri pernikahan yang penuh kebencian ini. Namun kemana dia harus pulang? Mirae tidak memiliki keluarga yang bisa menerima ceritanya, mereka hanya bisa mengejek tanpa bisa memberi solusi. Waktu terus berlalu, hingga waktu pun menunjukkan pukul 12 malam. Rey masih belum kembali, bahkan membalas pesan darinya. Sedangkan Mirae masih setia menunggu, dengan air mata yang membasahi pipinya. Sesekali dia menatap ke arah jendela, takut-takut jika Rey datang tanpa membawa motor. Namun lelaki itu sepertinya tidak akan pulang, dan membiarkan Mirae tidur sendirian di rumah. Pikriannya kalut, dengan begitu banyak masalah yang ada di dalam hidupnya. Rasa rindu pada almarhum sang anak, hutang yang menumpuk, lalu sikap buruk suaminya. Kesedihan apa lagi yang kurang bagi Mirae? Dia sudah merasakan begitu banyak penderitaan, hingga mampu mengikis umurnya. "Apa lagi yang kau tunggu Mirae? Dia tidak akan pulang. Lebih baik aku tidur saja, daripada memikirkan Rey yang tidak akan pulang." Dengan mata yang mulai membengkak, wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat foto sang anak yang sudah tenang di alam sana, lalu memejamkan matanya dengan paksa. Malam ini Mirae harus tidur, dan melupakan semua kejadian yang sudah membuat hatinya hancur. Malam yang penuh kesedihan itu telah berlalu, kini pagi yang cerah pun siap menyambut hari-hari Mirae yang indah. Wanita itu sudah berangkat pagi sekali ke tempat bekerja, dengan matanya yang bengkak. Para karyawan lain menatap dengan tawa mengejek mereka, sedangkan David cukup penasaran dengan apa yang terjadi pada wanita itu. Dia mencari kesempatan untuk bicara dengan Mirae, setelah sang istri pergi keluar mencari makanan. "Mirae, kau baik-baik saja?" David mengambil kartu debit yang diberikan bawahannya itu, lalu menatap mata Mirae yang bengkak. Dia sempat menengok status w******p milik Rey kemarin malam, namun dia tidak mengerti tentang apa yang kedua pasangan itu permasalahkan. Mirae terlihat kacau sekali, walaupun dia terus berusaha untuk menyembunyikan nya dari orang lain. Walau bagaimanapun, David adalah seorang yang sangat peka. "Kau sudah mengambil dengan jumlah yang kau perlukan?" Tanya lelaki itu kembali. Mirae menggelengkan kepalanya, "Tidak sepeserpun yang aku ambil. Terima kasih untuk tawarannya Bos." "Loh, kenapa? Bukankah kau sangat butuh uang? Aku tidak akan memberitahu suamimu sungguh!" Ucap David, penuh keyakinan. "Iya aku percaya, tapi lebih baik aku cari pinjaman ke orang lain saja. Permisi Bos." Mirae pergi setelah mengatakan apa yang ingin dia sampaikan pada lelaki itu. Entah mengapa dia merasa jika David akan membocorkan rahasia mereka pada suaminya. Rey akan semakin marah, jika Mirae meminjam uang tanpa sepengetahuannya. Mungkin wanita ini akan memikirkan cara lain, untuk membayar semua hutang-hutang yang dia miliki. Malam itu langit terlihat mendung, rintikan air hujan mulai turun membasahi tanah yang tandus. Mirae masih menatap ke luar jendela, berharap jika Rey akan segera sampai sebelum tengah malam. Lelaki itu tidak menelpon atau memberinya kabar sedikitpun, hanya pesan dari sang mertua saja yang datang di kotak masuk Mirae. 'Suamimu tidak ingin pulang, padahal Ibu sudah memintanya untuk kembali ke rumah. Kau tidur saja Mirae, jangan menunggu dia pulang. Mungkin Rey butuh waktu untuk meredam emosi, kau pun tahu itu. Ibu akan menasehatinya nanti, sabar ya sayang.' Mirae hanya tersenyum kecil membaca pesan dari mertuanya itu, karena mau membantu mereka ketika sedang bertengkar. Sejujurnya dia merasa malu, karena tidak bisa menjaga, dan memberikan kasih sayang yang tulus untuk suaminya. Orang-orang pasti mengira, jika Mirae adalah istri yang tidak becus. Namun apapun itu, dia tidak akan terlalu memperdulikan nya, lalu memilih untuk diam. Mungkin Rey memang sedang butuh ketenangan, tentang masalah yang Mirae sendiri tidak ketahui. Tring! Sebuah notifikasi masuk di ponsel wanita berdaster merah itu, dia menatap ragu dengan tangan yang gemetar hebat. "Berapa untuk satu jam?" DEG ! Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika seorang pelanggan mengirim pesan di aplikasi yang baru saja Mirae install beberapa menit yang lalu. Entah benar atau tidak tindakan yang wanita itu lakukan saat ini, yang pasti dia sudah pusing dengan tagihan hutang yang setiap hari semakin menumpuk. "500 ribu." Mirae mengirimkan harga yang dia sendiri bingung dari mana datangnya. Jujur saja, dia sangat takut jika sampai sang suami mengetahui perbuatan yang tengah dia lakukan. Namun, apa lagi yang bisa Mirae lakukan sekarang? Tak ada satupun orang yang bisa dia percaya. "Mahal, apa itu sudah dengan tempat?" Lelaki itu kembali mengirim pesan pada Mirae. Sebuah tawaran yang disangka terlalu mahal, tanpa sebuah tempat. "Tidak, jika kau tidak mampu membayar batalkan saja. 500 ribu, bawa aku kemana pun kau mau." "Ok, datang ke hotel Starlet. Aku menunggumu disini." Tawar menawar pun berakhir sampai disana, Mirae menarik nafasnya pelan, berusaha untuk mengendalikan dirinya. Dia bergegas pergi ke kamar, kemudian mencari pakaian bagus yang bisa dia pakai. Lapisan make up yang cukup tebal dia poles kan, setidaknya agar wajah penuh tekanan itu tidak terlalu nampak. Tangannya gemetar hebat, menahan tangis yang sejak tadi ingin pecah. Apa harus seperti ini caranya mendapatkan uang dengan instan? Mirae bahkan menargetkan jika dia harus mendapatkan beberapa juta dalam satu malam. Dengan langkah kaki yang rapuh, wanita itu keluar dari rumahnya. Lengan cantiknya membuka payung untuk menutupi tubuhnya yang sudah sempurna itu. Dia berharap jika Rey tidak akan pulang malam ini, sehingga dia bisa bekerja dengan mudah. "Maafkan aku Rey. Walau bagaimana pun, kau yang sudah memulai semua ini pertama kali bukan? Sebagai istri, aku hanya mengikutimu..."Malam itu begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar dari ruang tamu, berpadu dengan desau angin yang sesekali menyelinap lewat celah jendela. Rey sudah terlelap di kamar, napasnya berat dan teratur. Aroma alkohol masih samar tercium dari tubuhnya, membuat Mirae meringis pelan setiap kali angin malam membawa bau itu ke hidungnya. Dia menatap wajah suaminya lama dari tepi ranjang, wajah yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini justru membuat dadanya sesak oleh rasa takut. Sudah cukup, batinnya berbisik. Malam ini semuanya harus berakhir. Pelan, Mirae turun dari ranjang. Langkahnya ringan, seolah takut udara pun mendengar. Dia sudah menyiapkan koper kecil sejak sore tadi, berisi beberapa pakaian, dokumen penting, dan sedikit uang yang dia simpan diam-diam. Dia mengenakan jaket tipis, mengambil ponsel, lalu menatap sekali lagi wajah suaminya yang tertidur pulas di bawah cahaya temaram lampu kamar. Ada sedikit rasa takut, tapi juga tekad yang tak bisa lagi ditahan
Sore itu langit tampak sendu. Awan menggantung berat di atas perumahan kecil tempat Mirae tinggal, seolah ikut menanggung beban yang terasa di dadanya. Suara televisi di ruang tamu menyala pelan, tapi hanya jadi latar kosong di antara kesunyian rumah itu. Rey belum pulang, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir setelah pertengkaran mereka, dia sedikit terbiasa. Dia duduk di lantai kamar, memeluk lutut, menatap koper besar di bawah ranjang. Koper itu sudah lama tak dia sentuh, tapi entah kenapa sore ini tangannya gatal untuk menariknya keluar. Tangannya gemetar saat membuka resletingnya, mencium bau kain yang lama tersimpan."Sudah cukup aku bersabar," bisiknya lirih pada diri sendiri. "Aku tidak mau hidup seperti ini lagi." Dia mulai melipat beberapa pakaian. Satu per satu, tanpa rencana yang jelas. Tapi hatinya tahu, ini langkah pertama menuju kebebasan. Setiap lipatan kain seperti mewakili kenangan pahit yang ingin Mirae tinggalkan. Malam-malam penuh tangis, s
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai kamar, tapi bukannya memberi hangat, malah membuat dada Mirae terasa sesak. Dia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, masih mengenakan pakaian tidur yang kusut sejak semalam.Langkah kaki Rey terdengar dari arah dapur, berat dan tegas seperti dentuman yang memantul di dada. Lelaki itu muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja kerja rapi, kontras dengan wajahnya yang masih menyimpan sisa amarah malam tadi."Kau tidak perlu pergi bekerja hari ini," katanya datar.Mirae mengangkat kepalanya perlahan. "Tapi Rey, aku-""Aku bilang, kau tidak perlu pergi."Nada suaranya tidak tinggi, tapi tajam. Seperti belati yang mengiris tenang tanpa suara.Mirae menelan ludahnya. "Aku harus bekerja, mereka butuh aku di sana."Rey mendekat. "Tidak ada yang butuh kau di luar sana. Kau akan tetap di rumah, paham?"Dia berhenti tepat di depan Mirae, menunduk sedikit hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal."Dan jangan coba-co
Hening menggantung setelah pertengkaran panjang itu. Bau alkohol dan serpihan kaca masih memenuhi ruang tamu. Mirae berdiri di antara kekacauan, sementara Rey menatapnya dari seberang ruangan dengan napas terengah. Wajah keduanya tampak lelah, tapi api di mata mereka belum padam. "Aku sudah cukup, Rey," suara Mirae akhirnya pecah, pelan tapi pasti. Rey menatapnya tajam. "Apa maksudmu?" Mirae mengangkat dagunya, menatap langsung ke arah suaminya. "Aku ingin bercerai." Kata itu jatuh seperti bom di udara. Hening. Rey hanya mematung selama beberapa detik sebelum tawa kecil keluar dari bibirnya, tawa yang tidak lucu sama sekali. "Kau bilang apa barusan?" "Aku ingin bercerai," ulang Mirae tegas, meskipun suaranya bergetar. "Aku tidak sanggup lagi hidup begini. Aku ingin berhenti jadi istrimu, Rey." Wajah Rey berubah. Tawa yang tadi terdengar perlahan lenyap, berganti dingin. "Jadi kau pikir kau bisa pergi begitu saja? Setelah semua ini?" Mirae mengangguk pelan. "Aku sudah be
Langkah Mirae cepat, hampir tergesa. Tumit sepatunya menghentak trotoar yang mulai dingin, sementara angin malam meniup rambutnya ke wajah. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang terus membara di dada. Dia tak peduli arah tujuannya. Yang penting jauh dari Rey. Namun suara langkah kaki di belakangnya terdengar semakin dekat, berat, dan tergesa."Mirae!" teriak Rey keras, suaranya menggema di sepanjang jalan. Wanita itu pura-pura tidak mendengar. Tapi tak sampai tiga detik kemudian, sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya kuat. Tubuh Mirae tertarik ke belakang dengan kasar hingga hampir kehilangan keseimbangan."Lepaskan, Rey!" Mirae menepis, tapi genggaman itu tak bergeming."Aku bilang ikut aku!" suaranya rendah, serak, namun penuh tekanan."Aku tidak mau!" balas Mirae keras, menatap tajam suaminya. "Aku muak bicara denganmu di rumah. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!" Namun Rey menariknya lebih dekat, begitu dekat hingga Mirae bisa mencium b
Matahari sore sudah condong ke barat ketika sebuah mobil silver akhirnya berhenti di depan rumah mewah keluarga David. Pagar otomatis terbuka perlahan, dan mesin mobil itu meraung pelan sebelum mati.David turun dengan langkah santai, meski wajahnya sedikit letih. Namun di balik keletihan itu, ada sisa senyum yang sulit disembunyikan. Senyum yang masih terbawa dari hotel, dari tatapan Mirae, dari pagi penuh kenangan di pelukannya.Begitu dia membuka pintu rumah, suasana berbeda langsung menyambutnya. Ruangan itu sunyi, tapi hawa panas menekan. Mina sudah berdiri di ruang tamu, kedua tangannya bersedekap di dada, wajahnya memerah menahan emosi.Begitu tatapan mereka bertemu, Mina langsung meledak."Kau baru pulang sekarang? Sudah jam berapa ini, hah?!" suaranya lantang, penuh amarah yang ditahan sejak semalam.David menutup pintu perlahan, tidak terkejut sama sekali. Dia sudah menduga ledakan ini akan datang. "Aku sibuk," jawabnya singkat, meletakkan kunci mobil di meja."Sibuk?!" Mina