"Mau kemana kau David!"
Lelaki berkaos abu itu pergi dengan wajah penuh amarah, meninggalkan sang istri yang terus menggerutu tanpa jeda. Sebagai seorang suami, dia merasa sangat kesal. Karena keinginannya tidak di penuhi. "David sialan!" Dia masuk ke dalam mobil silver nya, kemudian pergi meninggalkan sang istri yang menjerit tanpa henti. David tidak bisa mentoleransi lagi, sikap wanita itu yang acuh tak acuh padanya. Padahal dia adalah seorang suami yang pantas untuk di hargai, namun wanita itu selalu meremehkan dia di atas segalanya. "Sialan, dia pikir pantas bersikap seperti itu padaku?!" David menghentikan laju mobilnya, kemudian merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Lelaki itu menatap sebuah aplikasi berwarna hijau, yang cukup menarik perhatiannya. Lengannya mencari-cari sesuatu yang bisa membuat matanya fresh, seorang wanita cantik atau mungkin teman yang bisa dia ajak bicara. "Mereka cantik sekali, adakah yang mau menemaniku malam ini?" Coba-coba lelaki itu mengirim pesan pada setiap wanita cantik yang menurutnya begitu menarik, namun masih belum ada satupun yang membalas. Mungkin dia yang terlalu to the point tentang apa yang diinginkannya. Sebuah malam yang penuh gairah, untuk menghilangkan rasa kecewa yang tengah dia rasakan. Hingga akhirnya, seorang wanita misterius merespon chat brutal yang David kirimkan. Sebuah harga telah mereka sepakati, hingga akhirnya lelaki itu hanya tinggal pergi ke hotel. Untuk pertama kalinya David menginjakkan kaki ke tempat seperti ini, bahkan tanpa sang istri yang menemani. Namun dia juga tidak mungkin pulang ke rumah, jadi tidak ada salahnya untuk menginap di tempat mewah ini. Lelaki itu menatap dirinya di cermin, membenahi sedikit rambut yang terlihat acak-acakan. David juga sudah menggosok gigi, lalu membersihkan dirinya agar tercium wangi. Walaupun dia tidak tahu pasti cantik atau tidaknya wanita yang akan David temui, itu tidak masalah. Lelaki itu hanya butuh seorang teman bicara. "Kau?!" Mirae refleks membalikan tubuhnya, ketika baru saja masuk ke dalam kamar klien yang dia temui di aplikasi sampah itu. Seorang lelaki tampan dengan senyuman indahnya, menatap wanita cantik berbaju pink dengan dada yang terekspos begitu seksinya. Sesekali lelaki itu menelan ludahnya kasar, melihat cantiknya wanita panggilan yang baru saja dia undang kemari. Dia tidak menyangka, jika wanita itu adalah orang yang sangat dikenalnya. "Mirae, kau?!" Keempat mata indah itu saling menatap, menterjemahkan apa yang ada di pikiran mereka masing-masing. Apakah ini sebuah kebetulan semata? Atau takdir yang memang harus mereka jalani? David yang memang sedang memikirkan wanita itu, dikejutkan dengan kedatangan Mirae yang tengah berdiri dihadapannya. Dia datang dengan wajah cantiknya, yang tidak pernah David lihat sebelumnya. Lelaki itu beranjak dari tempatnya duduk, lalu berjalan mendekati wanita berbaju pink itu. Sebuah pelukan hangat David berikan, bonus dengan ciuman mesra di pipi kanannya. Mirae tidak bisa menolak ataupun memberontak, karena malam ini dia adalah milik lelaki itu. "Kau lihat? Kita ini sudah ditakdirkan untuk bertemu. Sesulit apapun kau menghindar, akan ada jalan yang menyatukan kita kembali." Bisikan lelaki itu membuat Mirae ingin menutupi wajahnya dengan kresek hitam. Mengapa harus lelaki ini yang dia temui? Mengapa dia tidak menanyakan terlebih dahulu orang yang akan wanita ini temui? "Rahasiakan semua ini dari Rey, jangan sampai dia tahu." Wanita itu berbalik menatap David, dengan wajah paniknya. Dia hanya khawatir jika sampai lelaki ini membocorkan rahasianya pada sang suami. Akan sangat menyusahkan jika semua rahasia ini terbongkar. "Aku tidak menyangka, kau memilih jalan seperti ini daripada menerima uang pinjaman dariku." David memasang wajah mengejek, hingga membuat Mirae kesal setengah mati. Dia berencana untuk menampar lelaki itu, namun di tepis dengan mudah oleh David. Wanita cantik bertubuh seksi itu kini berada dalam pelukannya, tanpa jarak sedikitpun. David menempelkan kepalanya di dahi Mirae, sembari merasakan hangatnya nafas wanita cantik itu. Dia benar-benar bahagia malam ini, karena bisa bersama dengan Mirae. "Jangan kasar seperti itu. Bukankah kita sudah berkompromi untuk transaksi malam ini?" Bisik lelaki itu di telinga Mirae. Wanita itu menarik nafasnya perlahan, mengontrol emosi yang sejak tadi ingin meluap lepas. Namun apa gunanya semua itu? Dia sendiri yang sudah menginjakkan kakinya ke dunia prostitusi ini. "Baiklah, aku menyerah David. Silahkan, lakukan apapun yang kau mau." Akhirnya Mirae mengaku kekalahannya, lalu menyerahkan seluruh tubuhnya pada lelaki itu. Lagi pula dia sangat membutuhkan uang, untuk membayar semua hutang-hutang yang Mirae punya. Tidak peduli dengan siapa dia tidur malam ini, yang pasti hanyalah uang. "Hanya satu jam saja, karena aku harus melayani pelanggan lain." Ucapan wanita itu membuat David melepaskan pelukan yang cukup erat itu, dia merasa jijik dengan apa yang dikatakan oleh Mirae. Tidak ada yang boleh menyentuh wanita cantik ini, kecuali dirinya. David akan melakukan apapun, demi membuat Mirae hanya melayani dirinya. Dia mencengangkan erat dagu wanita cantik itu dengan tatapan tajamnya, membuat Mirae terkejut bukan main. "Sakit David!" Bentak wanita itu kesal. "Tidak ada yang boleh menyentuhmu Mirae, kecuali aku. Kau hanya akan tidur denganku malam ini, tidak ada lelaki lain. Kau dengar itu?" Ucap David dengan tatapan intimidasi nya. Mirae menelan ludahnya kasar, "Aku butuh uang David, jangan halangi aku mencari pelanggan lain!" "Aku akan membayarmu full. Akan aku bayar berapapun yang kau minta, kau dengar itu!" Bentak David. Wanita itu tertawa kecil, seolah mendengar ungkapan yang sangat lucu dari lelaki itu. Dia seperti sedang disandera, bahkan di intimidasi. Mereka bukan siapa-siapa, kecuali teman. Namun lelaki itu sangat berkuasa atas dirinya, seolah Mirae adalah miliknya seorang. "David, jangan bersikap seperti itu. Kau ini bukan siapa-siapa kecuali orang lain. Lagi pula kau juga sudah memiliki seorang istri, begitupun aku yang sudah dimiliki Rey. Kita jalani hubungan semalam ini seperti biasa, jangan sampai ada perasaan yang tertinggal. Kau dengar itu David?" Kini Mirae akan mempermainkan kata-katanya, agar lelaki itu tidak selalu bertindak sesuai apa yang dia inginkan. Mirae juga butuh kebebasan, dia juga memiliki hak untuk bertindak dan berbicara. David tidak bisa bertindak semaunya. "Jangan bicara lagi. Aku akan membuktikan, jika hanya aku yang boleh kau layani, bukan lelaki lain. Mirae percayalah, jika kita memiliki takdir yang sama. Aku ingin kau tahu, jika tidak akan ada orang yang lebih baik bersanding denganmu, daripada diriku." David mengakhiri pembicaraannya, dan kini dia merasa harus mempraktekkan semua perasaannya dari pada sekedar kata-kata. Lelaki itu mengunci kamar hotel, lalu mulai menarik Mirae ke pelukannya. Tanpa aba-aba yang pasti, bibir mereka saling bertemu. Sebuah ciuman ganas pun David lakukan dengan penuh gairah, membuat Mirae kewalahan melayaninya. Lelaki itu tidak membiarkan si wanita berkutik sedikitpun, untuk menunjukkan jika dirinya berkuasa. "David tunggu dulu!" Mirae menahan tangan David yang hendak masuk ke dalam dadanya, dia merasa malu dan syok dengan situasi yang baru saja dihadapinya sekarang ini. Mirae tidak terbiasa disentuh oleh lelaki lain, kecuali suaminya. "Jangan takut begitu, aku tidak akan memakanmu. Aku akan memberimu kepuasan yang belum pernah kau rasakan dari lelaki yang kau cintai itu..." Bisik David dengan suara yang mesra. Mirae menundukkan kepalanya, lalu mundur ke belakang sedikit. Dia membuka pakaian crop pink itu lengkap dengan celana dalam miliknya. Hingga sebuah tubuh tanpa sehelai benangpun nampak di hadapan David. Senyum yang tadi terlihat penuh dengan semangat, kini memudar. Lelaki itu melihat pemandangan yang benar-benar membuat hatinya terkoyak. "Mirae, tubuhmu?" Wanita itu menutupi dadanya yang terekspos, "Bisakah kau menerima diriku yang seperti ini David?"Malam itu begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar dari ruang tamu, berpadu dengan desau angin yang sesekali menyelinap lewat celah jendela. Rey sudah terlelap di kamar, napasnya berat dan teratur. Aroma alkohol masih samar tercium dari tubuhnya, membuat Mirae meringis pelan setiap kali angin malam membawa bau itu ke hidungnya. Dia menatap wajah suaminya lama dari tepi ranjang, wajah yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini justru membuat dadanya sesak oleh rasa takut. Sudah cukup, batinnya berbisik. Malam ini semuanya harus berakhir. Pelan, Mirae turun dari ranjang. Langkahnya ringan, seolah takut udara pun mendengar. Dia sudah menyiapkan koper kecil sejak sore tadi, berisi beberapa pakaian, dokumen penting, dan sedikit uang yang dia simpan diam-diam. Dia mengenakan jaket tipis, mengambil ponsel, lalu menatap sekali lagi wajah suaminya yang tertidur pulas di bawah cahaya temaram lampu kamar. Ada sedikit rasa takut, tapi juga tekad yang tak bisa lagi ditahan
Sore itu langit tampak sendu. Awan menggantung berat di atas perumahan kecil tempat Mirae tinggal, seolah ikut menanggung beban yang terasa di dadanya. Suara televisi di ruang tamu menyala pelan, tapi hanya jadi latar kosong di antara kesunyian rumah itu. Rey belum pulang, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir setelah pertengkaran mereka, dia sedikit terbiasa. Dia duduk di lantai kamar, memeluk lutut, menatap koper besar di bawah ranjang. Koper itu sudah lama tak dia sentuh, tapi entah kenapa sore ini tangannya gatal untuk menariknya keluar. Tangannya gemetar saat membuka resletingnya, mencium bau kain yang lama tersimpan."Sudah cukup aku bersabar," bisiknya lirih pada diri sendiri. "Aku tidak mau hidup seperti ini lagi." Dia mulai melipat beberapa pakaian. Satu per satu, tanpa rencana yang jelas. Tapi hatinya tahu, ini langkah pertama menuju kebebasan. Setiap lipatan kain seperti mewakili kenangan pahit yang ingin Mirae tinggalkan. Malam-malam penuh tangis, s
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai kamar, tapi bukannya memberi hangat, malah membuat dada Mirae terasa sesak. Dia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, masih mengenakan pakaian tidur yang kusut sejak semalam.Langkah kaki Rey terdengar dari arah dapur, berat dan tegas seperti dentuman yang memantul di dada. Lelaki itu muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja kerja rapi, kontras dengan wajahnya yang masih menyimpan sisa amarah malam tadi."Kau tidak perlu pergi bekerja hari ini," katanya datar.Mirae mengangkat kepalanya perlahan. "Tapi Rey, aku-""Aku bilang, kau tidak perlu pergi."Nada suaranya tidak tinggi, tapi tajam. Seperti belati yang mengiris tenang tanpa suara.Mirae menelan ludahnya. "Aku harus bekerja, mereka butuh aku di sana."Rey mendekat. "Tidak ada yang butuh kau di luar sana. Kau akan tetap di rumah, paham?"Dia berhenti tepat di depan Mirae, menunduk sedikit hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal."Dan jangan coba-co
Hening menggantung setelah pertengkaran panjang itu. Bau alkohol dan serpihan kaca masih memenuhi ruang tamu. Mirae berdiri di antara kekacauan, sementara Rey menatapnya dari seberang ruangan dengan napas terengah. Wajah keduanya tampak lelah, tapi api di mata mereka belum padam. "Aku sudah cukup, Rey," suara Mirae akhirnya pecah, pelan tapi pasti. Rey menatapnya tajam. "Apa maksudmu?" Mirae mengangkat dagunya, menatap langsung ke arah suaminya. "Aku ingin bercerai." Kata itu jatuh seperti bom di udara. Hening. Rey hanya mematung selama beberapa detik sebelum tawa kecil keluar dari bibirnya, tawa yang tidak lucu sama sekali. "Kau bilang apa barusan?" "Aku ingin bercerai," ulang Mirae tegas, meskipun suaranya bergetar. "Aku tidak sanggup lagi hidup begini. Aku ingin berhenti jadi istrimu, Rey." Wajah Rey berubah. Tawa yang tadi terdengar perlahan lenyap, berganti dingin. "Jadi kau pikir kau bisa pergi begitu saja? Setelah semua ini?" Mirae mengangguk pelan. "Aku sudah be
Langkah Mirae cepat, hampir tergesa. Tumit sepatunya menghentak trotoar yang mulai dingin, sementara angin malam meniup rambutnya ke wajah. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang terus membara di dada. Dia tak peduli arah tujuannya. Yang penting jauh dari Rey. Namun suara langkah kaki di belakangnya terdengar semakin dekat, berat, dan tergesa."Mirae!" teriak Rey keras, suaranya menggema di sepanjang jalan. Wanita itu pura-pura tidak mendengar. Tapi tak sampai tiga detik kemudian, sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya kuat. Tubuh Mirae tertarik ke belakang dengan kasar hingga hampir kehilangan keseimbangan."Lepaskan, Rey!" Mirae menepis, tapi genggaman itu tak bergeming."Aku bilang ikut aku!" suaranya rendah, serak, namun penuh tekanan."Aku tidak mau!" balas Mirae keras, menatap tajam suaminya. "Aku muak bicara denganmu di rumah. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!" Namun Rey menariknya lebih dekat, begitu dekat hingga Mirae bisa mencium b
Matahari sore sudah condong ke barat ketika sebuah mobil silver akhirnya berhenti di depan rumah mewah keluarga David. Pagar otomatis terbuka perlahan, dan mesin mobil itu meraung pelan sebelum mati.David turun dengan langkah santai, meski wajahnya sedikit letih. Namun di balik keletihan itu, ada sisa senyum yang sulit disembunyikan. Senyum yang masih terbawa dari hotel, dari tatapan Mirae, dari pagi penuh kenangan di pelukannya.Begitu dia membuka pintu rumah, suasana berbeda langsung menyambutnya. Ruangan itu sunyi, tapi hawa panas menekan. Mina sudah berdiri di ruang tamu, kedua tangannya bersedekap di dada, wajahnya memerah menahan emosi.Begitu tatapan mereka bertemu, Mina langsung meledak."Kau baru pulang sekarang? Sudah jam berapa ini, hah?!" suaranya lantang, penuh amarah yang ditahan sejak semalam.David menutup pintu perlahan, tidak terkejut sama sekali. Dia sudah menduga ledakan ini akan datang. "Aku sibuk," jawabnya singkat, meletakkan kunci mobil di meja."Sibuk?!" Mina