LOGINAksa langsung berdiri saat mendengar laporan dari tim di ruang kendali, tanpa ragu dia memberikan perintah. [Pantau terus pergerakan wanita itu! Aku akan minta pengawal mengejarnya!][Dia kembali ke arah kamar.][Oke..! Wanita itu cari mati!] geram Aksa. Tidak lama, Aksa langsung beralih menghubungi pengawal yang tersebar di lorong. [Hentikan dan tangkap perawat yang berjalan disana! Dia mata-mata! Tangkap semua perawat di lantai ini..!][Baik Pak Aksa!]Aksa segera mengakhiri panggilannya, ia meboleh ke arah Fiona dengan wajah tegang. “Fiona dengarkan aku, aku akan menangkap penyusup itu! Kamu tetap disini! Kalau ada perawat atau dokter yang masuk, minta pengawal juga ikut masuk dan jangan biarkan mereka melangkah lebih jauh dari pintu sebelum aku kembali! Segera hubungi aku! Kamu paham?!”“Aku paham, Aksa!” Fiona mengangguk. “Bagus sayang! Dan kalau Denzel sudah selesai, katakan padanya ada perawat yang mencoba menyusup dan memata-matai kita! Aku akan membereskan mereka!” “Oke
Audrey menelan salivanya dengan kasar, dadanya berdebar semakin cepat. "Denzel.. Di sini? Kamu yakin? Kakakmu sedang sakit, di bahkan masih belum sadar.." Dia menoleh ke arah Trustin yang terbaring di ranjang. "Dia sedang tidur karena obat bius, Baby. Dia tidak akan melihat bagaimana aku akan melumat bibirmu sampai kamu lupa cara bernapas," Denzel menunduk, berbisik, tapi bibirnya justru menyapu lembut daun telinga Audrey, menimbulkan desahan halus yang lolos dari bibir istrinya. “Sshhh.. Denzel..” Ciuman Denzel turun perlahan ke ceruk leher Audrey membuat tanda kepemilikan yang samar di balik rambut istrinya. Tangannya yang besar sudah merayap turun, meremas pinggul Audrey dengan gairah yang menuntut. "Jangan pernah berani meragukanku lagi, baby. Setiap tetes darah di tubuhku hanya untuk melindungimu. Mengerti?" Audrey meremas kerah kemeja Denzel, menarik pria itu agar memperdalam ciuman mereka. Ciuman itu terasa semakin panas seperti sebuah ungkapan permintaan maaf dari Aud
Audrey terdiam sejenak, matanya masih terpaku pada sosok Denzel yang berdiri beberapa meter darinya. Tapi tidak lama, pandangannya kembali ke arah Fiona, yang masih menunggu jawabannya dengan raut wajah cemas. "Bukan ancaman, Fiona," bisik Audrey pelan, suaranya hampir tertelan kebisingan lorong rumah sakit. "Tapi..” Belum sempat Audrey menyelesaikan kata-katanya, terdengar langkah kaki yang berjalan mendekat. Denzel telah selesai berbicara dengan Aksa. Wajahnya masih menunjukkan ketegangan, namun sorot matanya terasa lembut seketika saat tertuju ke arah Audrey. "Ayo, Baby. Kak Trustin akan dipindahkan ke ruang rawat inap sekarang," ajak Denzel sambil mengulurkan tangannya. ”Baik, Denzel.. Ayo!” Audrey menyambut tangan itu, merasakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya ruang tunggu rumah sakit. Denzel segera merangkul bahu Audrey, menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Ia kini menjadi perisai hidup, memastikan tidak ada satu pasang mata asing yang bisa menyentuh Au
Denzel menunda ciumannya tapi tangannya masih memeluk tubuh Audrey dengan begitu erat, ia seakan takut wanita itu pergi menjauh lagi darinya. Kini pandangannya tertuju pada sosok yang tiba-tiba muncul dengan nafas terengah-engah. “Katakan, ada apa, Aksa!” nadanya terdengar berat, menahan hasratnya di tengah ketegangan di sekitarnya. “Pria yang menembak Pak Trustin itu.. Dia telah tertangkap, tapi..” Aksa tampak ragu menyampaikan kabar selanjutnya. “Tapi apa Aksa! Katakan!” teriak Denzel dengan tidak sabar. “Denzel, pelankan suaramu! Kita di rumah sakit!” Audrey memperingatkan dengan suara pelan. “Audrey kamu dengarkan, bajingan itu tertangkap tapi.. Dia pasti kabur! Tim gagal melumpuhkannya!” geram Denzel kesal. “Tidak Denzel, dia memilih menembak dirinya, sekarang kondisinya kritis! Dai memilih mengakhiri hidupnya daripada dipaksa buka mulut untuk menjawab pertanyaan kita!” Aksa menjelaskan apa yang terjadi pada penembak itu. “Sial! Itu artinya mereka telah membuat perjanjian,
Denzel yang terkejut melihat mobil berhenti di depannya langsung membanting kemudi ke arah kanan setelah memastikan lajur kanan kosong. Ia segera menginjak gas semakin dalam, membuat mobil itu tertinggal. “Aku tidak akan membiarkan mereka menghalangi kita!” geram Denzel, matanya semakin membara, menahan amarah di tengah kondisi Trustin yang harus segera dibawa ke rumah sakit. DOOR!!! Ciitttt..! BRUAKK..! Tidak lama terdengar suara dentum tembakan, disusul suara decit rem mobil lalu suara benturan hebat. Denzel melihat ke arah spion, Audrey dan Fiona menoleh ke belakang. “Apa itu?!” gumam mereka bersamaan. Mobil yang sebelumnya menghadang mereka kini menabrak bahu jalan dan berasap tidak lama, ponsel Denzel berdering. Ia tidak bisa menerima panggilan dengan kondisi sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi, Denzel tidak ingin membahayakan nyawa mereka semua. “Audrey ambil ponsel di saku kiri.. Loudspeaker!” Pintanya. “Iya..” Audrey segera mengambil ponsel di saku Denzel
Audrey membalas tatapan Denzel dengan mata yang berkaca-kaca, ia bisa merasakan detak jantung Denzel yang berdebar cepat di dadanya. Tanpa peduli pada keberadaan Trustin, Tuan Shaquille atau siapapun di sana, Audrey menarik kerah kemeja Denzel dan membungkam bibir pria itu dengan ciuman yang mendalam. Ciuman itu merupakan luapan perasaan yang begitu terasa menyesakkan sejak pesan Shaly muncul. Denzel membalasnya dengan penuh gairah yang mendalam, lidahnya menyapu bibir Audrey, menuntut kepercayaan penuh yang sempat goyah. Tangan Denzel meremas pinggul Audrey, mengangkat tubuh wanita itu hingga kaki Audrey sedikit berjinjit, mengabaikan kekacauan yang terjadi di sekitar mereka. Shaly, yang menyadari posisinya benar-benar merasa tamat, ia mencoba melarikan diri ke mobilnya. Namun, dengan sigap Fiona menghalangi langkahnya. "Mau kemana, Sekretaris Shaly? Permainanmu baru saja akan dimulai di kantor polisi," sindir Fiona tajam. Tuan Besar Shaquille juga akhirnya jatuh terduduk di la







