MasukSosok itu tidak bicara, ia langsung memeluk tubuh Audrey, mendekapnya begitu erat hingga Audrey bisa merasakan panas tubuh yang masih beraroma keringat dan adrenalin.“Denzel.. Aku takut.. Aku pikir kamu—” suara Audrey gemetar. “Ssttt.. Ini aku sayang.. Maaf, aku seharusnya tidak meninggalkanmu..” kata Denzel dengan penuh penyesalan, ia mengeratkan pelukannya. Denzel tidak peduli pada tatapan para pengawal atau Fiona yang tertegun di ambang pintu. Ia menangkup wajah Audrey dengan kedua tangannya yang gemetar, matanya menatap setiap inci wajah istrinya dengan ketakutan yang mendalam."Kamu tidak apa-apa? Katakan padaku kamu tidak menghirupnya!" desis Denzel, napasnya memburu di depan bibir Audrey."Aku... Aku baik-baik saja, Denzel. Fiona memperingatkan ku lebih awal.. Dan pengawal datang membawa kami keluar tepat waktu.." lirih Audrey, air mata mulai mengalir karena rasa lega yang luar biasa.Tanpa kata-kata lagi, Denzel membungkam bibir Audrey dengan ciuman yang sangat dalam dan
Wanita berseragam perawat itu tertawa semakin keras mendengar ancaman Denzel, sebuah tawa melengking yang menggema kesunyian di atas rooftop. Matanya menatap Denzel dengan binar kegilaan yang terlihat jelas, seakan cengkeraman tangan Denzel di lehernya hanyalah sebuah belaian semata."Bunuh aku, Tuan Muda... Jatuhkan aku sekarang juga!" tantangnya dengan suara serak. "Tapi kematianku tidak akan mengubah fakta kalau gas itu sudah memenuhi paru-paru istrimu yang cantik. Tidak ada cara menghentikannya sampai tabung itu kosong. Lima menit? Oh tidak, mungkin sekarang mereka sudah mulai bermimpi indah tentang kematian.. Hahaha.."Cengkeraman Denzel semakin menguat hingga wajah wanita itu membiru. Amarahnya kini sudah berada di puncak, melampaui logika. Namun, sebuah tangan menepuk bahunya dengan tegas."Denzel! Berhenti! Jangan biarkan dia mati semudah ini!" seru Aksa. Ia mendekat dengan napas memburu. "Tim teknis sedang melacak letak tabung itu di dalam saluran ventilasi. Kita harus fok
Aksa langsung berdiri saat mendengar laporan dari tim di ruang kendali, tanpa ragu dia memberikan perintah. [Pantau terus pergerakan wanita itu! Aku akan minta pengawal mengejarnya!][Dia kembali ke arah kamar.][Oke..! Wanita itu cari mati!] geram Aksa. Tidak lama, Aksa langsung beralih menghubungi pengawal yang tersebar di lorong. [Hentikan dan tangkap perawat yang berjalan disana! Dia mata-mata! Tangkap semua perawat di lantai ini..!][Baik Pak Aksa!]Aksa segera mengakhiri panggilannya, ia meboleh ke arah Fiona dengan wajah tegang. “Fiona dengarkan aku, aku akan menangkap penyusup itu! Kamu tetap disini! Kalau ada perawat atau dokter yang masuk, minta pengawal juga ikut masuk dan jangan biarkan mereka melangkah lebih jauh dari pintu sebelum aku kembali! Segera hubungi aku! Kamu paham?!”“Aku paham, Aksa!” Fiona mengangguk. “Bagus sayang! Dan kalau Denzel sudah selesai, katakan padanya ada perawat yang mencoba menyusup dan memata-matai kita! Aku akan membereskan mereka!” “Oke
Audrey menelan salivanya dengan kasar, dadanya berdebar semakin cepat. "Denzel.. Di sini? Kamu yakin? Kakakmu sedang sakit, dia bahkan masih belum sadar.." Dia menoleh ke arah Trustin yang terbaring di ranjang. "Dia sedang tidur karena obat bius, Baby. Dia tidak akan melihat bagaimana aku akan melumat bibirmu sampai kamu lupa cara bernapas," Denzel menunduk, berbisik, tapi bibirnya justru menyapu lembut daun telinga Audrey, menimbulkan desahan halus yang lolos dari bibir istrinya. “Sshhh.. Denzel..” Ciuman Denzel turun perlahan ke ceruk leher Audrey membuat tanda kepemilikan yang samar di balik rambut istrinya. Tangannya yang besar sudah merayap turun, meremas pinggul Audrey dengan gairah yang menuntut. "Jangan pernah berani meragukanku lagi, baby. Setiap tetes darah di tubuhku hanya untuk melindungimu. Mengerti?" Audrey meremas kerah kemeja Denzel, menarik pria itu agar memperdalam ciuman mereka. Ciuman itu terasa semakin panas seperti sebuah ungkapan permintaan maaf dari Aud
Audrey terdiam sejenak, matanya masih terpaku pada sosok Denzel yang berdiri beberapa meter darinya. Tapi tidak lama, pandangannya kembali ke arah Fiona, yang masih menunggu jawabannya dengan raut wajah cemas. "Bukan ancaman, Fiona," bisik Audrey pelan, suaranya hampir tertelan kebisingan lorong rumah sakit. "Tapi..” Belum sempat Audrey menyelesaikan kata-katanya, terdengar langkah kaki yang berjalan mendekat. Denzel telah selesai berbicara dengan Aksa. Wajahnya masih menunjukkan ketegangan, namun sorot matanya terasa lembut seketika saat tertuju ke arah Audrey. "Ayo, Baby. Kak Trustin akan dipindahkan ke ruang rawat inap sekarang," ajak Denzel sambil mengulurkan tangannya. ”Baik, Denzel.. Ayo!” Audrey menyambut tangan itu, merasakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya ruang tunggu rumah sakit. Denzel segera merangkul bahu Audrey, menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Ia kini menjadi perisai hidup, memastikan tidak ada satu pasang mata asing yang bisa menyentuh Au
Denzel menunda ciumannya tapi tangannya masih memeluk tubuh Audrey dengan begitu erat, ia seakan takut wanita itu pergi menjauh lagi darinya. Kini pandangannya tertuju pada sosok yang tiba-tiba muncul dengan nafas terengah-engah. “Katakan, ada apa, Aksa!” nadanya terdengar berat, menahan hasratnya di tengah ketegangan di sekitarnya. “Pria yang menembak Pak Trustin itu.. Dia telah tertangkap, tapi..” Aksa tampak ragu menyampaikan kabar selanjutnya. “Tapi apa Aksa! Katakan!” teriak Denzel dengan tidak sabar. “Denzel, pelankan suaramu! Kita di rumah sakit!” Audrey memperingatkan dengan suara pelan. “Audrey kamu dengarkan, bajingan itu tertangkap tapi.. Dia pasti kabur! Tim gagal melumpuhkannya!” geram Denzel kesal. “Tidak Denzel, dia memilih menembak dirinya, sekarang kondisinya kritis! Dai memilih mengakhiri hidupnya daripada dipaksa buka mulut untuk menjawab pertanyaan kita!” Aksa menjelaskan apa yang terjadi pada penembak itu. “Sial! Itu artinya mereka telah membuat perjanjian,







