LOGINDinding kamar mandi di belakang Yessa dingin. Tapi tubuh Isandro di belakangnya jauh lebih panas. Terlalu panas, sampai napas Yessa tercekat ketika tubuh itu menempel rapat ke punggungnya—mendorong, dan menghimpit tanpa jeda. Lalu dalam satu hentakan, tubuh mereka menyatu. Yessa nyaris terjatuh kalau bukan karena tangan Isandro yang menahan perutnya—menjaganya tetap berdiri, tetap terbuka, tetap menerima. “Ah—M-Mas ....” lenguh Yessa dengan napas berat. “Hm? Apa, sayang?” gumam Isandro, napasnya membakar leher Yessa. Satu tangannya terulur, menyusuri paha belakang Yessa, mendorong lebih dalam dalam setiap hentakan—membuat tubuh sang istri terdesak ke tembok. Gerakan pinggul Isandro datang seperti ombak—cepat, kuat, dan penuh kendali. Dinding bergetar setiap kali tubuh Yessa didorong ke depan. “Mhh ... Mas,” desisan tertahan terdengar dari mulutnya. Tapi Isandro tak melambat, gerakannya semakin intens dan dominan. Saat akhirnya mereka mencapai puncak—napas saling terseret, tub
“Tante Fika?” seru Arby kaget, namun mata polos itu berbinar antusias. “Yeay ... tante Fika datang,” ia berjingkrak heboh di teras rumah. Fika tersenyum lebar melihat tingkah Arby, lalu beralih pada Yessy di gendongan Isandro. “Saya datang ke sini karena kangen banget sama Yessy, Mas. Tapi, sepertinya lagi tidur, ya?” ucap Fika pada Isandro, seolah tak ada Yessa di sana—bahkan tak menyapa sedikitpun. “Iya, karena Yessy sedang tidak bisa ditemui ... alangkah baiknya kamu datang lain kali saja. Lagipula malam sudah larut, dan waktunya untuk istirahat,” balas Isandro, suaranya dingin. Fika menelan ludahnya berat, berusaha tersenyum meski sebenarnya dadanya sedang berkecamuk. Akhirnya dia menatap Yessa. “Yess, apa aku bisa nginep di sini malam ini? Udah larut, gak enak pulang sendirian,” ucap Fika dengan nada lembut—terlalu lembut, bahkan. Berharap bisa menarik empati Yessa. Yessa membuka mulut hendak menjawab, namun suara bariton Isandro terdengar lebih dulu, tegas dan dingin. “Bi
“Yessa,” seru Ana selaku pengantin hari ini, ketika dia melihat temannya datang bersama seniornya di rumah sakit—Isandro. Tak lupa juga dengan kedua anak mereka. “Ana ....” Yessa segera berlabuh pada temannya, memeluk Ana dengan sangat erat. Keduanya sama-sama terharu karena sudah cukup lama tidak bertemu, sudah satu tahun lamanya. “Gimana kabar kamu, Yes? Kalau sekarang sih baik pasti, maksudku dulu? Kamu ke mana? Kenapa kamu hilang kabar, Yes? Aku sama Laras khawatir sama keadaan kamu, tahu?” Ana terus menghujani Yessa dengan banyak pertanyaan begitu pelukan mereka terlepas. Satu tetes air mata mengalir membasahi pipinya. “Ih, jangan nangis, Na,” Yessa mengulurkan tangannya, mengusap pipi Ana agar tidak merusak riasannya. "Aku baik-baik aja, kok. Kamu jangan khawatir. Lihat, aku ada di depan kamu sekarang.” Ia tersenyum lebar, meyakinkan Ana. “Kamu bener-bener bikin aku khawatir tahu. Laras udah lahiran, ayo kita jenguk dia kapan-kapan,” seru Ana dengan bibir mencebik kesal.
“Gimana selama ini perasaan Arby punya Mama baru? Seneng?” tanya Shofia sambil memegangi cucu perempuannya yang duduk di pangkuannya. Arby mendongak, menatap sang nenek dengan mata polosnya. “Seneng Oma, seneng banget.” “Alasan kamu seneng apa?” “Banyak, Oma. Mama Yessa itu baik, tiap pagi bangunin Arby buat mandi, sarapan, sama dianter jemput ke sekolah. Ditemenin tidur, sama suka ajak jalan-jalan dan main.” Shofia mengangguk paham. “Gitu, ya? Memangnya Mama Aurora gak gitu sama Arby?” Seketika Arby langsung diam, tak tahu harus menjawab apa. Jika dia orang dewasa, dia pasti memendamnya sendiri—tapi siapa sangka, saat ini dia pun melakukannya. Dan Shofia tak bertanya lagi. Diamnya sang cucu, sudah menjadi jawaban bagi Shofia. “Kalau misalkan nanti Oma ajak Arby jalan-jalan sama adek, Arby mau?” tawar Shofia sambil mengayun pelan tubuh kecil Yessy di gendongannya. Arby mencebik, wajahnya serius seperti sedang mengambil keputusan besar untuk sebuah negosiasi internasional. “Nan
Yessa, Shofia, dan Arby serempak menoleh ke arah Isandro yang berdiri di ambang pintu. Pria itu masuk dengan langkah tegas dan penuh wibawa seperti biasa. Tapi tatapan Isandro yang dingin tertuju pada ibu kandungnya, tak terima anak perempuannya berada di gendongan wanita paruh baya itu. Ditatap seperti itu membuat Shofia menelan ludah berat. “Mama mau ketemu sama cucu Mama, emang gak boleh?” “Cucu?” sebelah alis Isandro terangkat tipis, lalu dia tersenyum miring. “Cucu yang mana? Bukannya Anda sendiri pernah bilang, tidak mau mengakui cucu yang lahir dari perut Yessa?” Shofia menelan ludah kasar karena diingatkan dengan ucapannya itu. Isandro melangkah mendekat, meraih Yessy dari gendongan ibunya, “Kalau Anda mau cari muka, bukan di sini tempatnya,” ucapnya dingin dan menusuk. “Mama gak cari muka, San,” bela Shofia pada diri sendiri. “Saya sudah pernah katakan sebelumnya, kita putus hubungan. Yang berarti, Anda juga tidak berhak mengakui anak saya sebagai cucu Anda, Nyonya Sho
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Isandro dengan nada dingin yang menusuk. Fika menghela napas panjang, mencoba tetap tenang saat ditodongkan dengan sikap dingin pria di hadapannya tersebut. “Kebetulan saya tadi dari psikolog, dan ... mau pulang juga. Tapi, boleh gak, sekalian ikut Mas Isa. Saya mau ke mansion, kangen sama Yessy dan Arby,” ucap Fika hati-hati. Isandro menyipitkan matanya, lalu menyeringai tipis. “Tapi saya tidak pulang ke rumah sekarang. Saya mau ke rumah orang tua saya.” “Kalau kamu memang mau ke mansion saya, silakan. Ada banyak taksi dan ojek online, kamu bisa memesannya lewat aplikasi,” balas Isandro beralibi. “Oh gitu ya, Mas? Tapi—“ “Saya buru-buru, permisi,” potong Isandro cepat, segera melewati Fika tanpa menoleh lagi. Kedua tangan Fika mengepal erat di samping tubuhnya. Dia merasa kalau Isandro sengaja, dan mencoba menghindar darinya. “Ini pasti karena Yessa,” desisnya pelan. “Kamu gak sadar diri apa, Yes? Kamu kan hasil ngerebut dari orang lain, harusnya







