"Lepaskan aku!" Amira kembali memberontak. Keenandra tak mengindahkan teriakan mantan kekasihnya itu. "Aku mau—" Brakk "Diam!" bagaikan disihir, Amira terdiam seketika. Keenandra membuka pakaiannya hingga menyisakan celana panjang. Dadanya yang tegap terlihat keras dan banyak urat menonjol di sana. Amira terkesiap menyaksikan pemandangan itu. Tidak, ia tidak mau melayani nafsu mantan kekasihnya itu saat ini. Amira perlahan turun dari ranjang, mengendap-endap melewati tubuh besar Keenandra. Tak bisa dibohongi, pria itu malah menyeringai menyaksikan Amira turun dari ranjang. Dengan satu kali tarikan, Keenandra berhasil membawa Amira kembali jatuh di atas ranjang. Apa sulitnya menangkap tubuh mungil itu. "Lepaskan! Lepaskan aku!" Keenandra menindih tubuh mungil Amira. Kali ini tak ada lagi celah jalan keluar. Mata Amira berkaca-kaca memohon dengan sangat agar Keenandra mau memaafkannya atau pergi dari rumahnya tanpa melakukan hubungan intim. "Kamu sudah membuatku kecewa. Mana jan
Ting tong Bel pagi membuyarkan lamunan Amira di atas ranjang. Ia belum sepenuhnya membuka mata, kepalanya sakit akibat sulit tidur. Seingatnya, ia baru memejamkan mata pukul tiga subuh tadi. Belum ada reaksi dari Amira, kini dirinya hanya terdiam sembari menaikkan tangannya ke atas. Persis seperti kucing yang baru bangun tidur. Ting tong Amira bergegas bangun. Ia berlari menuju kamar mandi lalu membersihkan diri sejenak. Lima menit kemudian, dirinya sudah berdiri di depan pintu rumah sambil memutar kunci. "Ya?" Amira menyapa si pengganggu paginya. "Selamat pagi, Amira." rupanya Andrinof yang datang dengan senyum cemerlangnya. Amira tak menyangka akan mendapat kejutan di pagi ini. Apalagi Andrinof membawa sarapan pagi yang tak diduga oleh Amira. "Heh, pagi sekali ke sini. Ayo masuk." Andrinof mengikuti langkah Amira masuk ke dalam rumah. Tak ada yang istimewa, rumah Amira adalah rumah sederhana yang dibalut dengan nuansa modern minimalis. Tak ada lukisan atau benda kuno yang dip
"Mau kemana?" Aletta menghadang jalan Keenandra. "Mama mau makan siang di rumah. Aku juga sudah masak cukup banyak." "Apa hubungannya dengan aku?" ketus Keenandra. "Mereka ingin datang dan berbincang dengan kita. Kan sudah satu bulan kita menikah, kita—" "Pembicaraan kalian tak lebih hanya sekitar anak. Iya kan?" tuduh Keenandra yang dibalas anggukan kecil oleh Aletta. "Kenapa? Ingin pernikahan ini membuahkan hasil?" "Kita bisa bicarakan dulu, kak. Kalau kamu memang belum ingin punya anak, kita bisa tunda sampai semuanya siap." Keenandra terkekeh mendengar penjelasan Aletta. Bukan karena kalimatnya yang lucu, tapi isinya yang membuat telinganya bergidik geli. "Anak? Kamu pikir pernikahan kita adalah pernikahan yang aku inginkan?" Aletta terdiam. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan karena berulang kali Keenandra selalu saja mengungkit tentang pernikahan mereka. "Andaikan aku ingin anak pun, aku ingin anak itu berasal dari Amira." "Kak, tapi kan kita—" "Maaf, Aletta. Sampai kap
Mengadu, bukan hal yang sulit bagi Aletta. Inginnya, kali ini ia mengadukan segala keluh kesahnya pada sang mertua yang sering datang ke rumahnya. Namun, dirinya tak berani. Bukan karena takut pada ancaman Keenandra tapi juga takut dengan kekuatan yang dimiliki Amira. Aletta tahu suatu rahasia yang dipegang oleh keluarga besarnya. Ia tak ingin Amira datangalu mengacak-acak semua di depan semua orang. Maka, lebih baik ia diam dan mengunci rapat segala hal yang telah dilakukan oleh Keenandra. Lagipula, suaminya tak pernah berbuat kasar padanya. "Ada apa?" Sonia melambaikan tangan di hadapan Aletta yang kini tengah melamun. "Ada sesuatu dengan suamimu?" Aletta menggelengkan kepalanya. "Lalu, kenapa anak mama diam saja?" "Tidak ada apa-apa, Ma. Kak Keenan akhir-akhir ini sering ada pekerjaan mendadak. Katanya, dia ada projek akhir tahun," keluhnya. Berita tadi tak sepenuhnya bohong, memang Keenandra pernah bilang padanya jika banyak sekali pekerjaan hingga akhir tahun. "Oh, itu bagus.
Hampir satu jam lamanya Amira membolak-balik lemari pakaian miliknya. Gaun indah yang sempat ia ambil, dikembalikannya lagi dan itu terus berulang hingga dengusan frustasi keluar dari bibirnya. Tak lama berselang, ia mendapatkan notifikasi dari ponselnya. Citra mengirimkan sebuah pesan padanya. "Pakai gaun warna biru navy," gumam Amira membaca pesan yang dikirimkan oleh Citra. Amira pun segera mencari gaun berwarna biru navy yang dimaksud oleh Citra. Katanya, ada di lemari kedua sebelah kanan. Gaun yang baru dipesan beberapa minggu lalu oleh Citra dan sampai di tangannya dua hari sebelum acara. "Ah, gaun ini? Cantik. Pintar juga Citra pilih gaunnya." Amira mematut dirinya di depan cermin. Warna gaun yang cantik dipadu dengan polesan bibir berwarna merah terang dan model rambut tertata ke atas membuat Amira semakin cantik layaknya ratu sejagad yang sedang mengikuti perlombaan. Selesai dengan riasannya, Amira melirik arloji kecil yang tersemat di pergelangan tangannya. Matanya men
Sepuluh menit berlalu, Keenandra belum juga kembali ke dalam ruangan. Aletta cemas. Ia takut terjadi sesuatu pada suaminya. Di dalam pikiran kalutnya, ia membayangkan suaminya terjatuh di dalam toilet saat sedang buang air. Tak hanya Aletta saja, Andrinof juga ikut cemas. Pasalnya, Amira pun belum kembali dari toilet sedangkan acara sebentar lagi akan dimulai. Andrinof tak sengaja menoleh ke belakang, tepat saat Aletta tengah menatap ke arah panggung dengan tatapan yang sama dengannya. Tatapan cemas sambil sesekali mencari seseorang ke sekeliling ruangan. Tak lama kemudian, Amira datang sambil menundukkan wajahnya. Rambutnya tampak sedikit lusuh dibandingkan saat ia datang walaupun masih rapi. "Amira, kamu dari mana saja?" tanya Andrinof dengan suara berbisik. Amira sedikit terkejut mendengar suara itu namun berusaha menyembunyikannya. Kepalanya sesekali menoleh ke arah belakang seperti sedang menghindari sesuatu. "A-aku. Ehm, dari—" Amira menoleh lagi ke belakang. "Aku dari toile
"Seperti ada yang aneh?" gumam Andrinof sambil terus mengendarai mobilnya menembus jalanan malam ibukota. Matanya melirik Amira yang masih setia memandang langit malam dari balik jendela. Ingatannya kembali pada kejadian dua jam lalu saat Amira kembali dari toilet gedung. Ada yang aneh dengan penampilan dan juga gelagatnya. "Ehem." Amira menoleh. "Ada sesuatu yang sedang dipikirkan?" Amira menggelengkan kepalanya. "Biasanya kamu dengerin lagu." Amira membalik badannya menghadap ke arah Andrinof, membuat pria itu gelagapan. Sedikit terpesona dengan kecantikan Amira dari dekat. "Aku boleh dengar lagu galau?" tanyanya yang diangguki Andrinof. "Putar saja." Amira memutar lagu sedih, rasanya seperti menyayat hati. Andrinof yang mendengarnya saja terasa seperti diaduk-aduk perasaannya, apalagi Amira. Sudut mata Amira terlihat kumpulan air mata yang siap meledak. Dari samping, bola mata Amira basah dan berkaca-kaca. Amira menunduk mengusap mata dja hidungnya yan mulai basah dengan sap
Keenandra membuang ponselnya ke atas tempat tidur hingga hampir terjatuh ke lantai. Pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia dengar membuat kepalanya panas. Dadanya terasa terbakar hingga hangus. Rasanya ingin sekali mendorong sepupunya ke tepi jurang agar tak ada lagi penghalang bagi dirinya dan Amira. "Aarrgghh..." Keenandra berteriak. Terpaksa ia mendinginkan kepalanya di bawah kucuran air dingin tengah malam buta. Obat perangsang yang sengaja ia minum membuatnya panas. Seharusnya malam ini ia bisa membuat Amira tak bisa tidur hingga pagi. "Andrinof! Akan kukirim kau kembali ke Kanada. Ah, rasanya aku ingin mencekikmu saat ini." Keenandra terus menggeram, menahan rasa tak nyaman yang terus menggelutinya. Menghabiskan waktu setengah jam mendinginkan kepalanya, ia semakin tak bisa tenang. Dadanya semakin berkecamuk rasa tak nyaman. Ingin sekali datang ke rumah Amira lalu menghajar sepupunya itu. "Pukul dua pagi," lirik Keenandra. Ia mulai memejamkan matanya setelah menenggak susu