Di pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis di dapur kecil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan suara gesekan spatula Alena yang sibuk memasak telur dadar untuk sarapan mereka. Reno, dengan rambut acak-acakan, duduk di meja makan sambil membaca koran usang yang ia dapatkan dari tetangga.
“Makanannya hampir siap, ya,” kata Alena sambil menoleh ke arah Reno. Wajahnya yang berseri-seri adalah hal pertama yang membuat Reno merasa harinya akan baik-baik saja.
“Kalau kamu yang masak, apa pun bakal terasa enak,” balas Reno sambil menyeringai, mencoba mencairkan suasana.Mereka duduk bersama di meja makan kecil itu, menikmati sarapan sambil berbicara tentang rencana sehari-hari. Reno berbagi tentang tugasnya di kantor, yang mulai terasa berat akibat tekanan dari atasannya. Alena mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan Reno untuk menenangkan kegelisahannya.
Namun, ada sesuatu yang tak diucapkan Reno. Perusahaan tempat ia bekerja sedang mengalami masa sulit, dan ada kemungkinan besar pengurangan karyawan. Reno tahu bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, tetapi ia tidak tega mengkhawatirkan Alena.
Setelah sarapan, Reno bersiap berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja sederhana yang sudah mulai memudar warnanya, tapi ia tetap terlihat rapi di mata Alena. Sebelum pergi, ia mencium kening Alena dan berkata, “Jangan lupa istirahat, ya. Jangan terlalu banyak kerja di kebun.”
Alena tertawa kecil dan menjawab, “Kamu juga hati-hati di jalan.”Setelah Reno pergi, Alena mulai membereskan rumah kecil mereka. Ia menyapu lantai, mengelap jendela, dan merapikan bantal-bantal di sofa. Pekerjaan rumah mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tetapi bagi Alena, itu adalah cara untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Siang itu, Alena duduk di meja kerjanya yang sederhana. Ia mengeluarkan bahan-bahan kerajinan tangan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Tangan Alena yang terampil mulai mengukir pola-pola halus di atas kayu kecil untuk membuat gantungan kunci. Meski pekerjaan ini melelahkan, ada rasa puas yang ia rasakan setiap kali melihat hasil karyanya selesai dengan sempurna.
Sambil bekerja, pikirannya melayang pada Reno. Ia tahu betapa keras suaminya bekerja di pabrik untuk mencukupi kebutuhan mereka. Alena ingin membantu lebih banyak, tetapi ia juga tahu Reno tidak ingin ia terlalu lelah.
Saat sore menjelang, Alena memutuskan untuk berjalan ke pasar kecil di dekat rumah mereka. Ia membawa beberapa kerajinan tangan yang telah selesai untuk dijual kepada pelanggan tetapnya. Pasar itu adalah tempat yang ramai, penuh dengan pedagang yang menawarkan berbagai barang, mulai dari sayuran segar hingga pakaian murah. Alena mengenal banyak orang di sana, dan mereka sering kali menyambutnya dengan senyuman hangat.
Ketika malam tiba, Reno pulang dengan langkah lelah. Ia disambut oleh aroma masakan Alena yang menggugah selera. Di meja makan, Alena sudah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat: sup ayam hangat dan nasi putih.
“Kamu pasti lelah. Ayo makan dulu,” kata Alena sambil menuangkan sup ke mangkuk Reno.
“Terima kasih, Lena. Kamu selalu tahu bagaimana membuat hariku lebih baik,” jawab Reno dengan senyum tipis.
Setelah makan malam, mereka duduk bersama di ruang tamu. Reno bercerita tentang pekerjaannya di pabrik, sementara Alena mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka saling berbagi cerita, mencoba melupakan sejenak kekhawatiran mereka.
“Aku tahu semuanya tidak mudah sekarang, tapi aku yakin kita bisa melewati ini,” kata Alena sambil menggenggam tangan Reno.
“Aku juga percaya itu, Lena. Selama kita bersama, aku merasa kuat,” balas Reno dengan suara pelan.
Malam itu, sebelum tidur, mereka berbaring di tempat tidur yang sederhana namun nyaman. Reno memeluk Alena dengan erat, seolah-olah ia tidak ingin melepaskannya. Meski banyak kekhawatiran yang membayangi pikiran mereka, cinta yang mereka miliki tetap menjadi sumber kekuatan utama mereka.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis studio kecil Alena, menimpa meja kerja yang dipenuhi manik-manik, kain sutra, dan alat-alat kecil. Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi ruangan, menyatu dengan lembutnya musik instrumental yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Di tengah kesibukannya menata perhiasan untuk difoto, Alena tersenyum puas. “Akhirnya,” gumamnya pelan. “Semuanya mulai terlihat nyata.” Di layar laptopnya, halaman toko online yang ia rancang dengan penuh cinta kini siap diluncurkan. Logo bergambar sulur daun berwarna emas dengan tulisan *LÉNA Crafted Stories* terpampang di sana. Setiap produk yang diunggahnya diberi nama unik—bukan sekadar kalung atau gelang, melainkan “Kisah di Bawah Hujan”, “Janji Laut”, dan “Pelukan Senja”. Setiap nama membawa potongan perasaan yang dulu pernah ia pendam. Saat ia sedang memotret hasil karyanya, terdengar ketukan di pintu studio. “Masuk saja,” katanya tanpa menoleh. “Kalau gitu aku masuk, ya!” suara ceria yang t
Matahari sore menembus kaca jendela studio kecil Alena, menyorot lembut meja kayu yang penuh dengan potongan kain, batu giok, dan manik-manik warna-warni. Di tengah tumpukan alat-alat itu, Alena duduk dengan rambut yang digelung seadanya, jari-jarinya lincah menganyam benang sutra biru menjadi sebuah gelang halus dengan liontin kecil di tengahnya. Suara musik akustik pelan mengisi ruangan, berpadu dengan aroma teh chamomile yang baru saja ia seduh. Hari-harinya kini terasa sederhana, tapi penuh makna. Ia tak lagi diburu waktu, tak lagi dikejar bayang-bayang masa lalu yang membebaninya. Kini, setiap hari baginya adalah tentang penciptaan, tentang bagaimana ia menuangkan cerita dan emosi menjadi karya yang bisa disentuh dan dikenakan oleh orang lain. Satu gelang selesai. Ia memandangi hasil karyanya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau ini untuk seseorang yang sedang belajar memaafkan dirinya sendiri… seharusnya warna biru seperti ini cocok,” gumamnya pelan. Beberapa minggu kemudi
Udara pagi yang segar menyambut Alena ketika ia membuka jendela studionya. Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantulkan warna keemasan di atas meja kerjanya yang kini dipenuhi oleh kain, manik, dan alat-alat kecil yang berserakan rapi. Musik instrumental lembut mengalun dari radio tua di sudut ruangan, mengiringi gerakan tangannya yang lincah menjahit manik-manik kecil menjadi gelang sederhana. Sudah lama sekali ia tidak merasa setenang ini. Setiap kali benang ia tarik dan simpulnya menguat, Alena merasa seolah sedang merajut ulang bagian dirinya yang dulu tercerai-berai. Ada semacam kelegaan yang sulit dijelaskan—sebuah ketenangan yang lahir dari rasa syukur dan penerimaan. Beberapa minggu terakhir, bisnis kecil yang ia mulai dari rumah mulai menarik perhatian. Ia mengunggah foto hasil karyanya di media sosial, dan dalam waktu singkat, pesanan datang dari berbagai kota. Tak besar memang, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum puas setiap kali ada notifikasi baru masuk. Namun
Matahari sore menyinari jalanan kota dengan lembut ketika Alena melangkah keluar dari galeri. Udara hangat yang bertiup membawa aroma bunga dari taman kecil di seberang jalan. Ia baru saja menyelesaikan presentasi untuk proyek seni terbarunya, dan segala berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar ringan, tanpa beban apa pun menekan dadanya. Namun, hidup selalu punya caranya sendiri untuk mengetuk hati seseorang ketika mereka paling tidak mengharapkannya. Saat menyeberang menuju kafe tempatnya biasa menulis dan merancang ide, pandangannya tertumbuk pada seseorang di seberang jalan. Seorang pria berdiri dengan tangan di saku celana, memandangi papan pameran seni di luar galeri. Sekilas saja, Alena mengenal sosok itu—tatapan matanya yang tenang namun dalam, bahunya yang sedikit menunduk seperti sedang menimbang sesuatu. Reno. Dunia seakan berhenti sesaat. Langkah Alena melambat, dan jantungnya berdetak cepat, hampir ti
Langit sore berwarna keemasan ketika Alena menatap dinding putih studionya yang kini dipenuhi karya-karya baru. Di setiap sapuan kuas, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda—lebih berani, lebih jujur, lebih “dirinya.” Beberapa lukisan sudah dipilih oleh galeri besar di Jakarta, dan beberapa lainnya akan segera dikirim ke pameran internasional di Singapura bulan depan.Ia menatap cat yang masih menetes di ujung kuasnya dan tersenyum kecil. “Lucu,” gumamnya pelan. “Dulu aku takut kehilangan arah. Sekarang, aku justru menikmati tersesat di jalanku sendiri.”Damar, yang sedang duduk di meja kerja sambil memotret salah satu karya untuk katalog, menoleh sambil tersenyum. “Dan justru di situ seninya, Len. Saat kau berhenti mencari peta, kau mulai menemukan dirimu.”Alena menatapnya, mengangguk setuju. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Damar yang hangat namun tidak menuntut. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi. Hanya dua orang yang menikmati perjalanan kreatif mereka masing-masing, salin
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu lembut. Hujan semalam masih menyisakan kilap di jalanan dan aroma tanah basah yang menenangkan. Alena berjalan santai menuju studionya dengan segelas kopi di tangan kanan dan tas berisi cat serta kuas di bahu kirinya. Langkahnya ringan, jauh berbeda dari beberapa bulan lalu ketika setiap pagi terasa seperti beban yang harus dipikul.Ia berhenti sejenak di depan etalase toko buku kecil di sudut jalan, menatap sebuah buku seni yang menarik perhatiannya: “The Silence Between Colors.” Judul itu membuatnya tersenyum. Ia tahu benar, diam kadang lebih berwarna daripada kata-kata.Ketika ia hendak melanjutkan langkah, suara seseorang memanggil dari arah belakang.“Alena?”Ia menoleh. Seorang pria muda berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih bergulung di lengan dan membawa gulungan kanvas di tangan. Rambutnya agak berantakan, tapi senyumnya—hangat dan tulus.“Iya?” tanya Alena, sedikit heran.“Aku Damar. Kita sama-sama terdaftar di program ko