Ipda Sari mengangguk, wajahnya menunjukkan pemahaman. "Dan Anda memiliki bukti bahwa Saudara Adrian melakukan kebohongan tentang keberadaan Anda untuk mengontrol Saudari Alena?"
"Ya," Reno mengeluarkan flash drive dan dokumen-dokumen lainnya. "Semua ada di sini, termasuk bukti bahwa saya berada di Bali saat Adrian mengklaim saya menguntit Alena di Jakarta."
Ipda Sari menerima bukti tersebut dan memeriksanya secara singkat. "Saya mengerti situasinya sekarang. Ini kasus yang serius, dan kami akan menanganinya dengan segera." Ia menatap Alena dengan lembut. "Saudari Alena, apakah Anda tinggal bersama Saudara Adrian?"
"Tidak, kami tinggal terpisah," jawab Alena. "Tapi... dia memiliki kunci cadangan apartemen saya."
"Anda perlu mengganti kunci apartemen segera," saran Ipda Sari. "Dan untuk sementara, mungkin lebih baik jika Anda tinggal di tempat lain yang tidak diketahui Saudara Adrian."
"Dia sudah melakukannya," kata Dina. "Kami menginap di hotel sema
Alena menatap ponselnya yang bergetar untuk kesekian kalinya. Nama Adrian kembali muncul di layar—panggilan kelima dalam dua puluh menit terakhir. Dengan helaan napas berat, ia menggeser tombol merah untuk menolak panggilan dan mematikan suara ponselnya."Lagi?" tanya Dina, mengangkat alisnya dari balik cangkir kopi yang sedang diminumnya.Mereka sedang berada di sebuah kafe kecil di pinggiran Bandung, tidak jauh dari rumah orangtua Alena. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan mereka dengan Ipda Sari di Polda Jakarta. Tiga hari yang dipenuhi kecemasan dan ketidakpastian."Ya," jawab Alena singkat, memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Dia ingin tahu kenapa aku tidak membalas pesannya pagi ini.""Pesannya yang mana? Yang menanyakan kau sarapan apa? Atau yang menanyakan kau akan keluar dengan siapa hari ini?" sindir Dina.Alena tersenyum kecut. "Keduanya. Dan juga yang menanyakan kenapa aku online di WhatsApp tapi tidak membalas pesannya."Meskipun mereka telah mengganti nomor telepon,
Sophia memutar-mutar gelasnya perlahan, mengamati cairan berwarna merah pekat berputar di dalamnya. Wine mahal itu terasa hambar di lidahnya malam ini. Dari jendela apartemennya di lantai 35, lampu-lampu Jakarta berkilauan seperti permata. Tapi di matanya, cahaya itu kini terlihat seperti api yang mengancam dunia yang telah ia bangun dengan susah payah.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan dari salah satu informannya."Mereka baru saja keluar dari Polda. Alena, Dina, dan Reno bersama-sama. Mereka naik bus jurusan Harmoni."Sophia menghela napas panjang. Jadi laporan itu benar. Alena tidak hanya berhasil menemukan Reno, tapi juga telah melaporkan Adrian ke polisi. Permainan ini semakin berbahaya.Adrian belum membalas pesan-pesannya sejak tadi pagi. Sophia tahu pria itu pasti sedang kalut, mungkin menyusun strategi sendiri untuk menghadapi situasi ini. Tapi Sophia tahu lebih baik—Adrian terlalu emosional sekarang, terlalu terobsesi dengan Alena untuk berpikir jernih."Dasar bodoh," g
Ipda Sari mengangguk, wajahnya menunjukkan pemahaman. "Dan Anda memiliki bukti bahwa Saudara Adrian melakukan kebohongan tentang keberadaan Anda untuk mengontrol Saudari Alena?""Ya," Reno mengeluarkan flash drive dan dokumen-dokumen lainnya. "Semua ada di sini, termasuk bukti bahwa saya berada di Bali saat Adrian mengklaim saya menguntit Alena di Jakarta."Ipda Sari menerima bukti tersebut dan memeriksanya secara singkat. "Saya mengerti situasinya sekarang. Ini kasus yang serius, dan kami akan menanganinya dengan segera." Ia menatap Alena dengan lembut. "Saudari Alena, apakah Anda tinggal bersama Saudara Adrian?""Tidak, kami tinggal terpisah," jawab Alena. "Tapi... dia memiliki kunci cadangan apartemen saya.""Anda perlu mengganti kunci apartemen segera," saran Ipda Sari. "Dan untuk sementara, mungkin lebih baik jika Anda tinggal di tempat lain yang tidak diketahui Saudara Adrian.""Dia sudah melakukannya," kata Dina. "Kami menginap di hotel sema
Ketiga pasang mata secara refleks menyapu ruangan kafe, mencari sosok Adrian di antara para pengunjung. Kafe itu cukup ramai, dipenuhi pengunjung mall yang menikmati minuman pagi atau brunch. Alena merasakan jantungnya berdebar kencang."Dia bisa berada di mana saja," bisik Reno, wajahnya tegang. "Mungkin di kafe seberang, atau di lantai atas mall.""Kita perlu pergi dari sini," kata Dina dengan suara rendah tapi tegas. "Sekarang."Alena mengangguk, ketakutan membuat tangannya gemetar hebat saat ia mengumpulkan dokumen-dokumen yang Reno berikan. "Menurutmu apakah dia benar-benar melihat kita atau hanya menggertak?""Jangan ambil risiko," Reno menyerahkan tasnya pada Alena. "Simpan semua bukti ini. Aku akan keluar lebih dulu dan memastikan tidak ada Adrian di sekitar pintu keluar utama.""Bagaimana jika dia melihatmu?" tanya Alena, kekhawatiran terpancar di matanya."Aku sudah menghadapinya selama bertahun-tahun," jawab Reno dengan senyum tip
"Memang," Dina menatap Alena dengan serius. "Itulah mengapa kita perlu memastikan keselamatanmu. Setelah bertemu Reno, kita langsung ke kantor polisi untuk melaporkan Adrian."Alena mengangguk, meski dalam hatinya ia masih sulit menerima bahwa Adrian—pria yang telah mencintainya selama lima tahun—kini menjadi seseorang yang harus ia takuti dan laporkan ke polisi."Apa kita perlu sarapan dulu?" tanya Dina, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih ringan."Boleh," jawab Alena, menyadari bahwa ia memang lapar. "Tapi... bisakah kita makan di sini saja? Aku belum siap keluar.""Tentu. Aku akan pesan room service." Dina meraih gagang telepon di samping tempat tidur.Sementara Dina memesan sarapan, Alena kembali menatap ke luar jendela. Cahaya matahari kini lebih terang, menerangi gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Di suatu tempat di luar sana, Adrian sedang mencarinya. Dan di tempat lain, Reno sedang menunggunya, siap membongkar
"Pergilah, Adrian," Dina akhirnya bersuara, berdiri di depan pintu yang masih terkunci. "Alena tidak ingin bicara denganmu sekarang.""Kau tidak mengerti," Adrian terdengar frustasi. "Reno sangat berbahaya. Dia memanipulasi Alena, seperti dia memanipulasiku dulu. Aku hanya ingin melindunginya!""Alena bisa menjaga dirinya sendiri," jawab Dina tegas. "Dan jika kau tidak pergi sekarang, aku akan memanggil keamanan."Hening sejenak. Lalu, suara Adrian terdengar berbeda—dingin dan mengancam. "Ini belum berakhir. Sampaikan pada Alena bahwa aku akan selalu menemukannya. Dia milikku."Langkah kaki Adrian yang menjauh terdengar di koridor. Dina mengintip lewat lubang pintu sekali lagi untuk memastikan ia benar-benar pergi, sebelum berbalik menghadap Alena yang gemetar di sofa."Kita perlu pergi sekarang," kata Dina dengan urgensi dalam suaranya. "Kemas barangmu. Kita langsung ke hotel."Alena mengangguk lemah, masih syok mendengar nada ancaman dalam suara Adrian. Pria yang ia pikir mencintain
"Dia datang ke sini," kata Alena, suaranya nyaris tidak terdengar. "Apa yang harus kulakukan?""Kita perlu pergi sekarang," tegas Dina. "Ambil tasmu, kita keluar lewat pintu belakang.""Tapi pekerjaanku—""Aku akan bicara dengan Pak Dirga. Keselamatanmu lebih penting." Dina sudah mulai mengumpulkan barang-barang Alena. "Ayo, sebelum dia masuk ke gedung."Dengan terburu-buru, mereka mengemas barang Alena. Dina menghampiri supervisor mereka dan berbicara singkat. Dari kejauhan, Alena melihat Pak Dirga mengangguk serius, sesekali melirik ke arahnya dengan wajah prihatin."Pak Dirga setuju kau butuh istirahat. Dia juga akan memastikan satpam tidak mengizinkan Adrian masuk," kata Dina setelah kembali ke meja Alena. "Ayo, lewat sini."Mereka bergegas menuju lift yang mengarah ke tempat parkir bawah tanah, bukan ke lobi utama. Jantung Alena berdebar kencang sepanjang perjalanan turun. Lift berdenting terbuka, dan mereka setengah berlari menuju mobil Dina."Kau akan tinggal di tempatku malam
"Tidak," jawab Alena jujur. "Aku tidak baik-baik saja.""Apa yang terjadi?" Dina duduk di kursi sebelah Alena, memegang tangannya yang dingin.Alena menceritakan segalanya—telepon dari Reno, klaim bahwa ia berada di Bali selama dua minggu terakhir, tuduhan bahwa Adrian lah yang sebenarnya menguntit dan mengontrol, dan penemuan aplikasi pelacak di ponselnya.Dina mendengarkan dengan mata melebar, terkejut tapi tidak sepenuhnya kaget. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Adrian akhir-akhir ini," katanya perlahan. "Tapi ini... ini di luar dugaanku.""Bagaimana jika Reno yang berbohong?" Alena menatap Dina, mencari jawaban. "Bagaimana jika ini hanya taktiknya untuk memisahkan aku dari Adrian?""Mungkin," Dina mengakui. "Tapi Alena, aplikasi pelacak di ponselmu itu nyata. Dan kau sendiri yang mengatakan bahwa perilaku Adrian telah berubah drastis belakangan ini. Lebih posesif, lebih mengontrol." Dina meremas tangan Alena lembut. "Coba ingat, kapan tepatnya perubahan itu t
"Bagaimana kau mendapatkan nomorku?" tanya Alena dengan suara tegang, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik sekeliling kantor, memastikan tidak ada yang memperhatikannya."Dari direktori kantor desainmu. Maaf menelepon tiba-tiba, tapi ini penting," jawab Reno. Suaranya tidak terdengar mengancam atau terobsesi seperti yang Adrian gambarkan. Malah, ia terdengar... khawatir?"Apa maumu?" tanya Alena, berusaha terdengar tegas meskipun dalam hati ia ketakutan."Dengar, aku tahu kau mungkin takut dan bingung sekarang. Adrian pasti sudah menceritakan banyak hal tentangku—kebanyakan tidak benar." Reno terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku baru kembali dari Bali kemarin dan mendapati namaku disebut dalam laporan polisi—tuduhan menguntit dan melecehkan. Aku bahkan tidak tahu di mana apartemenmu, Alena."Alena merasa seperti tercekik. "Kau tidak membuat keributan di depan apartemenku dua minggu lalu?""Dua minggu lalu aku berada di Bali untu