Tiga hari setelah percakapannya dengan Maya di tengah hujan, Alena berdiri di depan gedung apartemen Adrian, membawa sebuah kotak kecil berisi barang-barangnya. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena beratnya keputusan yang akan ia buat—dan kali ini, keputusan itu final.Ia menelepon Adrian satu jam sebelumnya, dengan suara yang tenang meski dadanya terasa seperti medan perang."Aku akan datang. Kita perlu bicara.""Alena, syukurlah. Aku sudah memikirkan semua yang kamu katakan, dan aku—""Adrian, cukup. Tolong... cukup. Ini bukan untuk berbicara. Ini perpisahan."Hening. Lalu: "Apa maksudmu?""Maksudku, aku selesai. Kita selesai. Aku akan mengembalikan barang-barangmu dan mengatakan apa yang perlu kukatakan.""Kamu pasti bercanda.""Aku belum pernah seyakini ini sepanjang hidupku.""Tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa berubah. Aku bisa jadi lebih baik.""Tidak, kamu tidak bisa. Dan aku tak bisa terus berpura-pura menunggu kamu berubah.""Alena, tolong. Jangan
Adrian berdiri di dalam kantornya yang kosong, memandangi kursi tempat Alena duduk beberapa jam lalu. Keheningan di ruangan itu terasa memekakkan telinga. Ponselnya terus berdering—investor, rekan bisnis, orang-orang yang masih percaya pada citra sempurna yang ia bangun—tapi ia bahkan tak sanggup mengangkatnya.Tatapan Alena masih terbayang jelas di kepalanya. Penuh rasa muak. Penuh kepastian. Bukan seharusnya ini cara mereka berakhir.Tangannya gemetar saat ia mengambil ponsel dan menggulir daftar kontak. Lalu berhenti pada satu nama yang sudah berbulan-bulan tak ia hubungi—David. Teman sekamarnya saat kuliah, salah satu dari sedikit orang yang mengenalnya sebelum semua berubah—sebelum hidupnya jadi soal kendali dan manipulasi.“Adrian? Astaga, udah berapa lama? Enam bulan?”“David... aku butuh bicara.”“Kau terdengar kacau. Ada apa?”“Semuanya hancur. Perempuan yang aku cintai baru saja meninggalkanku.”“Alena? Yang sering kau ceritakan itu?”“Dia nggak ngerti. Dia pikir aku monster
“Karena aku lihat kamu beberapa hari terakhir. Kamu bukan orang yang sama seperti delapan bulan lalu waktu pertama kali masuk ke hidup Adrian.”“Aku bahkan bukan orang yang sama seperti satu jam lalu.”“Karena sekarang, kamu sedang belajar percaya pada dirimu sendiri lagi.”“Benarkah?”“Kamu nggak percaya kata-katanya. Kamu nggak biarkan dia membalut manipulasi dengan kata ‘cinta’. Kamu tahu saat kamu disalahkan atas realita yang dia ciptakan. Itu kekuatan.”“Tapi... aku masih ingin kembali.”“Sebagian kecil dari dirimu, iya. Tapi bagian terbesarnya tahu kamu nggak bisa.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena sekarang kamu duduk bersamaku di bawah hujan, bukannya lari kembali padanya.”“Mungkin aku cuma takut.”“Takut apa?”“Takut sendiri. Takut memulai dari awal. Takut menghadapi kenyataan bahwa delapan bulan hidupku habis untuk seseorang yang bahkan tidak mencintaiku.”“Kamu nggak buang-buang waktu. Kamu belajar sesuatu.”“Belajar apa?”“Belajar apa yang tidak kamu inginkan. Belajar seperti
Hujan mulai turun ketika Alena melangkah keluar dari gedung kantor. Tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin berjalan. Ingin bergerak. Ingin merasakan sesuatu... apapun selain mati rasa yang membungkus hatinya sejak konfrontasi terakhir dengan Adrian. Dari belakang, Maya memanggilnya.“Alena! Tunggu! Kamu basah kuyup!”Tapi Alena tetap melangkah. Hujan itu terasa seperti penyucian. Setiap tetesnya seolah menghapus bulan-bulan penuh kebingungan, keraguan pada diri sendiri, dan keyakinan keliru bahwa cinta memang harus menyakitkan.Tanpa sadar, ia sampai di sebuah taman kecil beberapa blok dari kantor. Ia duduk di bangku kayu yang basah, di bawah pohon yang hampir tak memberi perlindungan. Tak lama kemudian Maya menyusul, terengah dan penuh kekhawatiran.“Kamu nggak bisa jalan sendiri di tengah badai kayak gini,” katanya.“Aku butuh udara. Butuh mikir.”“Mau mikir apa lagi? Kamu udah dengar sendiri pengakuannya. Dia ngaku semuanya.”“Dia memang ngaku… tapi dia belum benar-benar ngerti apa yan
Pagi itu, Alena terbangun dengan dering ponsel yang tak henti-henti. Bukan hanya dari Adrian, tapi juga dari nomor-nomor tak dikenal. Maya, yang menginap di apartemennya semalam, duduk di meja dapur bersama Alena. Di sekitar mereka berserakan cangkir kopi kosong dan lembaran print-out dari Agen Williams.“Total tiga puluh tujuh panggilan tak terjawab,” gumam Maya sambil memandangi layar ponsel Alena. “Ini udah masuk kategori pelecehan.”“Bukan pelecehan,” jawab Alena datar. “Ini tanda kepanikan. Dia kehilangan kendali dan dia tahu itu.”Ponsel kembali berdering. Kali ini dari nomor kantor Adrian.“Jangan diangkat,” kata Maya cepat.Tapi Alena sudah menjulurkan tangan dan menekan tombol hijau. “Halo?”“Alena, tolong. Kau datang ke kantorku kemarin. Kita harus bicara. Langsung. Empat mata.”“Aku sudah tak punya apa pun untuk dikatakan padamu.”“Tapi aku masih punya. Hal-hal penting. Hal-hal yang mungkin mengubah caramu melihat semuanya.”“Tidak ada yang bisa kau katakan yang bisa mengub
Tiga jam setelah Alena meninggalkan apartemen Adrian, ponselnya terus berdering tanpa henti. Puluhan pesan masuk, panggilan tak terjawab, hingga voicemail—semuanya dari Adrian. Maya duduk di sebelahnya di sebuah kedai kopi, memperhatikan dengan cemas saat Alena menggulir pesan-pesan itu satu per satu.“Jangan dibaca,” Maya memperingatkan lembut. “Itu cuma upaya manipulasi lagi.”Tapi Alena tak bisa menahan diri. Ia harus tahu langkah Adrian selanjutnya."Alena, aku tahu kamu marah, tapi pikirkan apa yang kamu hancurkan. Bukan cuma hubungan kita, tapi semua yang sudah kita bangun bersama.""Aku tahu kamu takut. Tapi kabur nggak akan menyelesaikan apa pun. Kembalilah, kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin.""Kamu membuat keputusan berdasarkan informasi yang nggak lengkap. Ada hal-hal yang kamu belum mengerti soal bisnisku dan alasan di balik pilihan-pilihanku.""Aku nggak pernah berniat menyakitimu. Semua yang kulakukan demi melindungimu dari dunia yang terlalu kejam buat seseora