Tiga bulan sebelum kejadian malam yang mengerikan itu...Alena sedang menyiapkan proposal untuk klien baru ketika ponselnya berdering. Nama Adrian muncul di layar, seperti biasa."Len, cancel meeting kamu dengan klien jam dua. Kita ada dinner meeting dengan investor dari Singapura.""Adrian, aku sudah janji dengan Bu Martha dari perusahaan catering itu. Ini klien penting untuk project pribadi aku.""Project pribadi?" Nada suara Adrian berubah. "Len, kamu sudah bekerja dengan aku. Kenapa masih perlu project pribadi?""Karena aku perlu membangun portfolio sendiri. Untuk masa depan.""Masa depan kamu adalah dengan aku. Kamu tidak perlu portfolio terpisah."Alena menarik napas dalam. Percakapan seperti ini semakin sering terjadi dalam dua bulan terakhir. Adrian semakin possessive terhadap waktu dan perhatiannya."Adrian, meeting ini penting untuk aku. Bisa tidak kita reschedule dinner dengan investor?""Tidak bisa. Mereka cuma ada hari ini sebelum terbang ke Jakarta. Dan Len, sebagai part
Polisi datang sekitar pukul tiga tiga puluh malam, tapi Adrian sudah menghilang ketika mereka tiba. Yang tersisa hanya jejak kaki di tanah basah dan beberapa batang mawar yang berserakan di halaman depan. Petugas polisi mencatat laporan Alena, tapi mereka bilang tanpa bukti fisik kekerasan atau ancaman tertulis, mereka tidak bisa berbuat banyak."Ibu bisa mengajukan restraining order," kata salah satu polisi. "Tapi prosesnya butuh waktu, dan efektivitasnya terbatas kalau pelaku benar-benar berniat mengganggu."Setelah polisi pergi, Alena duduk sendirian di ruang tamu, masih gemetar. Jam menunjukkan pukul empat pagi, tapi ia tidak mungkin bisa tidur. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menelepon Lila."Len? Kenapa telepon jam segini?" Suara Lila terdengar mengantuk tapi langsung waspada."Li, aku butuh bantuan. Adrian... dia sudah gila. Aku takut.""Tunggu, aku ke sana sekarang."Lila tiba setengah jam kemudian dengan secangkir kopi panas dan pelukan yang hangat."Ceritakan semuanya,
Alena merasa sedikit lega. Mungkin Adrian benar-benar serius untuk berubah."Baiklah. Apa yang mau kamu bicarakan?""Aku mau minta maaf, Len. Untuk semua yang sudah aku lakukan. Aku sadar aku sudah membuat kamu takut, dan itu bukan keinginan aku.""Aku menerima permintaan maaf kamu, Adrian.""Dan aku mau bilang, aku mengerti kenapa kamu mau mengakhiri hubungan kita. Kita memang tidak sehat satu sama lain."Alena mengangguk, merasa hopeful."Tapi," Adrian melanjutkan, "aku juga mau kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa completely move on dari kamu. Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidup aku.""Adrian—""Tidak, dengarkan aku dulu. Aku tidak bilang aku akan terus mengganggu kamu. Tapi aku mau kamu tahu bahwa kalau suatu hari kamu berubah pikiran, kalau kamu menyadari bahwa kita memang ditakdirkan bersama, aku akan selalu menunggu."Rasa lega Alena mulai menghilang. "Adrian, tujuan pertemuan ini adalah untuk closure. Bukan untuk memberikan harapan palsu.""Ini bukan harapan palsu
Bab 235: Ketika Cinta Berubah Menjadi ObsesiSeminggu setelah pertemuan tengah malam itu, Alena mengira Adrian sudah benar-benar pergi. Ia mulai merasakan sedikit ketenangan, berpikir bahwa mungkin kata-kata terakhir mereka telah membuat Adrian mengerti. Tapi ia salah besar.Selasa pagi, ketika Alena sedang menyiram tanaman di halaman depan rumah kontrakan barunya, sebuah mobil hitam yang sudah tidak asing lagi terparkir di seberang jalan. Jantung Alena langsung berdegup kencang. Adrian duduk di dalam mobil, menatapnya melalui kaca depan.Alena pura-pura tidak melihat dan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi dari balik tirai, ia bisa melihat Adrian masih duduk di sana, seperti sedang mengawasinya.Sore harinya, ketika Alena pulang dari supermarket, Adrian sudah menunggu di depan pagar rumahnya."Hai, Len," sapanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Berat belanjanya? Aku bisa bantu bawa.""Tidak perlu, Adrian. Aku bisa sendiri." Alena mencoba berjalan melewatinya, tapi Adrian meng
"Adrian, aku tidak bisa melakukan ini lagi. Aku tidak bisa menjadi penyelamat kamu. Aku sendiri masih belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.""Kamu sudah sempurna, Len. Kamu tidak perlu berubah apa-apa.""Tidak, Adrian. Aku tidak sempurna. Aku adalah orang yang berselingkuh dengan pria yang sudah beristri selama lima tahun. Aku adalah orang yang menghancurkan pernikahan aku sendiri. Aku adalah orang yang menyakiti banyak orang. Aku perlu berubah.""Tapi aku mencintai kamu apa adanya, Len. Aku mencintai semua sisi dari dirimu.""Cinta yang seperti itu tidak sehat, Adrian. Cinta yang sehat mendukung pertumbuhan, bukan mencegahnya."Adrian terdiam panjang. Ketika ia berbicara lagi, suaranya sangat lirih."Jadi... ini benar-benar sudah berakhir? Tidak ada harapan lagi untuk kita?"Alena menutup mata, merasakan hatinya hancur. Bagian dari dirinya masih mencintai Adrian – bagaimana mungkin tidak, setelah lima tahun? Tapi ia tahu bahwa cinta itu sudah berubah menjadi sesuatu yang toxic
Alena terbangun dari tidur yang gelisah ketika mendengar ketukan halus di jendela kamarnya. Jam menunjukkan pukul empat dini hari. Jantungnya langsung berdebar kencang – hanya ada satu orang yang mungkin datang di jam seperti ini."Alena," suara Adrian terdengar lirih dari luar jendela. "Aku tahu kamu tidak tidur. Tolong, buka jendelanya. Aku cuma mau bicara."Alena terduduk di tempat tidur, tubuhnya gemetar. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan Adrian, tapi suara itu... suara yang pernah ia cintai, kini terdengar sangat rapuh dan putus asa."Len, please. Aku sudah tidak tidur tiga hari. Aku tidak makan dengan benar. Aku benar-benar hancur tanpa kamu."Dengan langkah ragu, Alena mendekati jendela tapi tidak membukanya. Melalui tirai tipis, ia bisa melihat siluet Adrian yang duduk di tanah, bersandar pada tembok rumah."Adrian, kamu tidak seharusnya di sini. Ini jam empat pagi.""Aku tidak tahu harus kemana lagi, Len. Aku sudah coba tidur di hotel, tapi aku terus kepikiran kamu. Aku t