Pagi itu, Reno pulang lebih awal dari biasanya. Alena yang sedang membersihkan ruang tamu merasa heran ketika mendengar pintu depan terbuka sebelum waktunya. Ia menoleh ke arah Reno yang berdiri di ambang pintu dengan wajah kusut dan langkah gontai.
“Ren, kenapa kamu pulang secepat ini? Apa kamu sakit?” tanya Alena, berjalan mendekat dengan nada cemas.
Reno tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata dengan suara rendah, “Pabrik tempatku kerja tutup, Lena. Mereka mengumumkannya pagi ini. Semua pekerja dirumahkan.”
Berita itu membuat Alena terdiam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Reno. “Tutup? Maksudnya... kita tidak punya pemasukan lagi?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.
Reno mengangguk pelan, menundukkan kepala. “Aku sudah berusaha bertanya apakah ada kemungkinan kami dipindahkan ke cabang lain atau diberi kompensasi. Tapi jawabannya tidak. Mereka hanya memberi pesangon kecil, dan itu pun tidak cukup untuk bertahan lebih dari satu bulan.”
Alena merasakan gelombang kekhawatiran melanda hatinya, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia duduk di samping Reno, menggenggam tangannya. “Kita akan mencari jalan keluar, Ren. Kita selalu bisa melewati semuanya bersama.”
Namun, Reno hanya menggeleng pelan. “Aku merasa gagal, Lena. Aku bahkan tidak bisa menjaga kestabilan rumah tangga kita. Bagaimana aku bisa menjadi suami yang baik kalau aku tidak bisa menyediakan kebutuhan dasar untuk keluarga kita?”
Meski hatinya sendiri diliputi rasa takut, Alena memutuskan untuk tidak membiarkan keputusasaan menguasai mereka. Ia segera mengambil langkah-langkah kecil untuk mencari solusi. Ia mulai menghubungi kenalan yang mungkin bisa membantu Reno mendapatkan pekerjaan baru, sementara ia sendiri mencoba meningkatkan produksi kerajinan tangan untuk dijual lebih banyak.
Alena juga mulai mencari pasar online untuk memasarkan produknya, sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. “Kalau kita bisa menjangkau lebih banyak orang, mungkin aku bisa menjual lebih banyak juga,” pikirnya. Dengan sisa tabungan yang mereka miliki, ia membeli bahan-bahan baru untuk membuat koleksi kerajinan tangan yang lebih beragam.
Di sisi lain, Reno mulai mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan. Ia bahkan tidak ragu untuk mencoba pekerjaan yang berbeda dari keahlian teknisnya, meskipun itu berarti ia harus belajar dari awal. Reno juga pergi ke beberapa job fair di kota terdekat, berharap bisa menemukan peluang kerja yang sesuai.
Namun, pencariannya tidaklah mudah. Banyak perusahaan yang menolak dengan alasan overqualified atau kurangnya posisi yang sesuai. Setiap penolakan membuat Reno semakin frustrasi, tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaan itu dari Alena.
Seiring waktu, tekanan yang mereka rasakan mulai memengaruhi hubungan mereka. Reno yang biasanya ceria dan penuh semangat kini sering murung dan mudah marah. Alena pun merasa lelah karena harus mengatur banyak hal sekaligus. Meskipun mereka saling mendukung, ada saat-saat di mana ketegangan kecil berubah menjadi pertengkaran.
“Aku tahu kamu sedang berusaha, Ren, tapi aku juga butuh kamu untuk tetap kuat. Kita tidak bisa menyerah sekarang,” kata Alena pada suatu malam ketika Reno mulai kehilangan harapan.
“Aku sedang berusaha, Lena! Tapi semuanya terasa seperti jalan buntu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi,” balas Reno dengan nada frustrasi.
Alena menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. “Kita sudah melewati banyak hal bersama, Ren. Aku butuh kamu untuk percaya bahwa kita bisa melewati ini juga. Kalau kamu menyerah, bagaimana dengan aku? Dengan kita?”
Kata-kata Alena mengguncang Reno. Ia menyadari bahwa meskipun situasi mereka sulit, menyerah bukanlah pilihan. Ia memeluk Alena erat-erat, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Di tengah-tengah perjuangan mereka, sebuah peluang kecil muncul. Salah satu kenalan Alena menawarkan Reno pekerjaan sementara sebagai teknisi lepas. Meski tidak memberikan penghasilan tetap, pekerjaan itu memberi mereka sedikit harapan.
Alena juga berhasil menjual beberapa kerajinan tangannya dalam jumlah besar kepada seorang pelanggan yang tertarik dengan desain uniknya. Uang yang dihasilkan dari penjualan itu membantu mereka membayar tagihan yang sudah mulai menumpuk.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Reno dan Alena duduk bersama sambil tersenyum kecil. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, mereka tahu bahwa selama mereka tetap bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis studio kecil Alena, menimpa meja kerja yang dipenuhi manik-manik, kain sutra, dan alat-alat kecil. Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi ruangan, menyatu dengan lembutnya musik instrumental yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Di tengah kesibukannya menata perhiasan untuk difoto, Alena tersenyum puas. “Akhirnya,” gumamnya pelan. “Semuanya mulai terlihat nyata.” Di layar laptopnya, halaman toko online yang ia rancang dengan penuh cinta kini siap diluncurkan. Logo bergambar sulur daun berwarna emas dengan tulisan *LÉNA Crafted Stories* terpampang di sana. Setiap produk yang diunggahnya diberi nama unik—bukan sekadar kalung atau gelang, melainkan “Kisah di Bawah Hujan”, “Janji Laut”, dan “Pelukan Senja”. Setiap nama membawa potongan perasaan yang dulu pernah ia pendam. Saat ia sedang memotret hasil karyanya, terdengar ketukan di pintu studio. “Masuk saja,” katanya tanpa menoleh. “Kalau gitu aku masuk, ya!” suara ceria yang t
Matahari sore menembus kaca jendela studio kecil Alena, menyorot lembut meja kayu yang penuh dengan potongan kain, batu giok, dan manik-manik warna-warni. Di tengah tumpukan alat-alat itu, Alena duduk dengan rambut yang digelung seadanya, jari-jarinya lincah menganyam benang sutra biru menjadi sebuah gelang halus dengan liontin kecil di tengahnya. Suara musik akustik pelan mengisi ruangan, berpadu dengan aroma teh chamomile yang baru saja ia seduh. Hari-harinya kini terasa sederhana, tapi penuh makna. Ia tak lagi diburu waktu, tak lagi dikejar bayang-bayang masa lalu yang membebaninya. Kini, setiap hari baginya adalah tentang penciptaan, tentang bagaimana ia menuangkan cerita dan emosi menjadi karya yang bisa disentuh dan dikenakan oleh orang lain. Satu gelang selesai. Ia memandangi hasil karyanya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau ini untuk seseorang yang sedang belajar memaafkan dirinya sendiri… seharusnya warna biru seperti ini cocok,” gumamnya pelan. Beberapa minggu kemudi
Udara pagi yang segar menyambut Alena ketika ia membuka jendela studionya. Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantulkan warna keemasan di atas meja kerjanya yang kini dipenuhi oleh kain, manik, dan alat-alat kecil yang berserakan rapi. Musik instrumental lembut mengalun dari radio tua di sudut ruangan, mengiringi gerakan tangannya yang lincah menjahit manik-manik kecil menjadi gelang sederhana. Sudah lama sekali ia tidak merasa setenang ini. Setiap kali benang ia tarik dan simpulnya menguat, Alena merasa seolah sedang merajut ulang bagian dirinya yang dulu tercerai-berai. Ada semacam kelegaan yang sulit dijelaskan—sebuah ketenangan yang lahir dari rasa syukur dan penerimaan. Beberapa minggu terakhir, bisnis kecil yang ia mulai dari rumah mulai menarik perhatian. Ia mengunggah foto hasil karyanya di media sosial, dan dalam waktu singkat, pesanan datang dari berbagai kota. Tak besar memang, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum puas setiap kali ada notifikasi baru masuk. Namun
Matahari sore menyinari jalanan kota dengan lembut ketika Alena melangkah keluar dari galeri. Udara hangat yang bertiup membawa aroma bunga dari taman kecil di seberang jalan. Ia baru saja menyelesaikan presentasi untuk proyek seni terbarunya, dan segala berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar ringan, tanpa beban apa pun menekan dadanya. Namun, hidup selalu punya caranya sendiri untuk mengetuk hati seseorang ketika mereka paling tidak mengharapkannya. Saat menyeberang menuju kafe tempatnya biasa menulis dan merancang ide, pandangannya tertumbuk pada seseorang di seberang jalan. Seorang pria berdiri dengan tangan di saku celana, memandangi papan pameran seni di luar galeri. Sekilas saja, Alena mengenal sosok itu—tatapan matanya yang tenang namun dalam, bahunya yang sedikit menunduk seperti sedang menimbang sesuatu. Reno. Dunia seakan berhenti sesaat. Langkah Alena melambat, dan jantungnya berdetak cepat, hampir ti
Langit sore berwarna keemasan ketika Alena menatap dinding putih studionya yang kini dipenuhi karya-karya baru. Di setiap sapuan kuas, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda—lebih berani, lebih jujur, lebih “dirinya.” Beberapa lukisan sudah dipilih oleh galeri besar di Jakarta, dan beberapa lainnya akan segera dikirim ke pameran internasional di Singapura bulan depan.Ia menatap cat yang masih menetes di ujung kuasnya dan tersenyum kecil. “Lucu,” gumamnya pelan. “Dulu aku takut kehilangan arah. Sekarang, aku justru menikmati tersesat di jalanku sendiri.”Damar, yang sedang duduk di meja kerja sambil memotret salah satu karya untuk katalog, menoleh sambil tersenyum. “Dan justru di situ seninya, Len. Saat kau berhenti mencari peta, kau mulai menemukan dirimu.”Alena menatapnya, mengangguk setuju. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Damar yang hangat namun tidak menuntut. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi. Hanya dua orang yang menikmati perjalanan kreatif mereka masing-masing, salin
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu lembut. Hujan semalam masih menyisakan kilap di jalanan dan aroma tanah basah yang menenangkan. Alena berjalan santai menuju studionya dengan segelas kopi di tangan kanan dan tas berisi cat serta kuas di bahu kirinya. Langkahnya ringan, jauh berbeda dari beberapa bulan lalu ketika setiap pagi terasa seperti beban yang harus dipikul.Ia berhenti sejenak di depan etalase toko buku kecil di sudut jalan, menatap sebuah buku seni yang menarik perhatiannya: “The Silence Between Colors.” Judul itu membuatnya tersenyum. Ia tahu benar, diam kadang lebih berwarna daripada kata-kata.Ketika ia hendak melanjutkan langkah, suara seseorang memanggil dari arah belakang.“Alena?”Ia menoleh. Seorang pria muda berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih bergulung di lengan dan membawa gulungan kanvas di tangan. Rambutnya agak berantakan, tapi senyumnya—hangat dan tulus.“Iya?” tanya Alena, sedikit heran.“Aku Damar. Kita sama-sama terdaftar di program ko