Tiga hari sudah berlalu sejak kabar pelarian Adrian tersebar. Namun bagi Alena, waktu seakan berjalan lambat. Ia duduk di ruang tamu rumah orangtuanya di Bogor, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap taman belakang. Meski berada di rumah yang seharusnya aman, rasa was-was tak kunjung hilang.
“Len, kamu belum menyentuh makananmu,” ujar Mama lembut sambil duduk di sampingnya, membawa secangkir teh hangat.
Alena tersenyum tipis, tapi suaranya terdengar berat. “Aku tidak lapar, Ma. Maaf kalau aku merepotkan kalian.”
Mama menepuk pelan punggung tangan putrinya. “Jangan bicara begitu. Ini rumahmu. Tempat di mana kamu harus merasa aman.”
Papa, yang sedari tadi membaca koran di sofa seberang, menurunkan kacamatanya dan menatap Alena dengan khawatir. “Polisi sudah memasang penjagaan di sekitar rumah. Kamu tidak perlu cemas berlebihan.”
Alena mengangguk pelan, walau hatinya tetap bergolak. Ia mengenal Ad
Suara tembakan itu membuat semua orang di ruangan terdiam sesaat. Adrian mencengkeram Alena lebih erat, pisau di lehernya bergetar mengikuti tangannya yang gemetar."MUNDUR!" teriak Adrian kepada petugas-petugas yang mengarahkan senjata kepadanya. "MUNDUR ATAU AKU BUNUH DIA!""Tenang, Adrian," kata salah satu petugas dengan suara yang berusaha menenangkan. "Tidak ada yang perlu terluka hari ini. Lepaskan pisau itu dan kita bisa bicara baik-baik.""TIDAK ADA YANG BISA DIBICARAKAN!" Adrian menyeret Alena mundur ke arah sudut ruangan. "KALIAN SEMUA TIDAK MENGERTI! KALIAN TIDAK MENGERTI APA ITU CINTA SEJATI!"Alena merasakan ujung pisau menekan kulitnya. Setetes darah mulai menetes dari luka kecil di lehernya. "Adrian," bisiknya, "kumohon. Jangan seperti ini.""Mereka yang memaksa, sayang. Aku tidak mau berpisah denganmu. Tidak akan pernah."Dari sudut matanya, Alena melihat Nadine dan David masih terikat di kursi mereka. Nadine menatapnya denga
Mobil hitam itu terus mengikuti Alena dari jarak yang pas. Setiap kali ia berbelok, mobil itu ikut berbelok. Setiap kali ia memperlambat laju, mobil itu juga melambat. Seperti bayangan yang tidak bisa dilepaskan.Alena mencengkeram setir erat-erat. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Ia tahu betul, ini bukan kebetulan. Adrian mengendalikan permainan sejak awal.Ponselnya berdering. Nama Adrian muncul di layar.“Angkat,” bisiknya pada diri sendiri. “Tetap tenang, Alena.”“Halo, sayang.” Suara Adrian terdengar begitu dekat, seolah ia duduk di kursi penumpang. “Aku senang kamu akhirnya memutuskan untuk datang.”“Di mana David? Aku sudah dalam perjalanan, sesuai janjimu.”“David aman… untuk sementara. Tapi ada sedikit perubahan rencana.”Jantung Alena berdegup kencang. “Apa maksudmu?”“Aku tidak menunggu di gudang. Terlalu mud
Foto itu terlepas dari tangan Alena yang gemetar. Gambar David—terikat di kursi, matanya ditutup kain hitam, mulutnya disegel—seolah memancarkan teriakan tanpa suara, meminta pertolongan."Tidak… tidak… tidak…" bisik Alena, kepalanya menggeleng berulang kali. "Kenapa harus David? Kenapa dia?"Nadine segera meraih ponsel dari tangan Alena dan membaca pesan yang menyertainya. Wajahnya langsung pucat. "Kita harus segera hubungi Inspektur Wijaya.""Tidak!" Alena cepat-cepat merebut kembali ponselnya. "Adrian bilang aku harus datang sendirian. Kalau dia tahu aku melibatkan polisi—""Alena, ini jelas jebakan! Kamu tidak boleh pergi sendiri!""Lalu aku harus apa, Nadine? Diam saja? Membiarkan David mati karena aku?"Nadine memegang bahu Alena erat-erat. "Ini bukan salahmu! Adrian yang gila! Dia yang memilih melakukan semua ini, bukan kamu!""Tapi David tidak ada hubungannya dengan semua ini!" Alena mulai mondar-mandir, kepanikan semakin menyesakkan dadanya. "Dia bahkan sudah menjauh setelah
Telepon itu terlepas dari genggaman Alena. Suara suster tadi—"Adrian melarikan diri"—masih bergema di kepalanya, seperti mantra mengerikan yang tak bisa dihentikan."Nona?" Suster itu mendekat, matanya penuh kecemasan. "Anda baik-baik saja?"Alena tidak menjawab. Kakinya mendadak lemas, napasnya tersengal. Ruangan rumah sakit yang semula terasa aman tiba-tiba berubah menjadi sangkar rapuh yang bisa ditembus kapan saja.Dengan suara bergetar, ia akhirnya berbisik, "Panggil... Inspektur Wijaya. Sekarang juga."Tak sampai sepuluh menit, Inspektur Wijaya datang bersama dua petugas berseragam. Wajahnya tegang, langkahnya cepat."Nona Alena," katanya tanpa basa-basi, "kami harus segera memindahkan Anda ke tempat yang lebih aman."Alena menatapnya penuh kebingungan. "Bagaimana bisa dia kabur? Bukankah rumah sakit itu dijaga ketat?""Memang seharusnya begitu. Tapi ada kelalaian. Adrian memanfaatkan saat pergantian shift petugas. Dia hilang sejak pukul dua dini hari." Inspektur membantu Alena
Foto itu terlepas dari genggaman Alena dan jatuh ke lantai. Dari bawah, wajah seorang perempuan muda dengan senyum cerah menatap balik padanya. Rambut panjang bergelombang, mata yang berkilau penuh kehidupan—seperti melihat bayangan dirinya sendiri di masa lalu.“Namanya Sari Kusuma,” ujar Inspektur Wijaya dengan suara terukur, hampir seperti takut melukai. “Dua puluh lima tahun, guru sekolah dasar. Terakhir terlihat tiga bulan lalu, sepulang dari kursus komputer.”Alena menunduk menatap foto itu. Perasaan mual merayap dari perut ke dadanya. “Dia… dia mirip sekali denganku.”“Kami juga menyadarinya. Tinggi badan hampir sama, warna rambut serupa, bahkan gaya berpakaiannya tidak jauh berbeda.” Inspektur meraih foto itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop cokelat. “Adrian sepertinya punya tipe tertentu.”“Apa yang terjadi padanya?” suara Alena lirih, nyaris bergetar.“Kami masih menyelidiki,” jawab Inspektur. “Tapi Adrian punya foto-foto Sari yang diambil selama berbulan-bulan sebe
Tiga hari kemudianSuara hujan yang mengetuk kaca jendela kamar rumah sakit mengisi ruangan dengan ritme lembut. Alena memejamkan mata, membiarkan suara itu menenangkan pikirannya yang masih kusut. Perban di lengan kirinya menjadi pengingat jelas tentang detik-detik menegangkan ketika ia merebut detonator dari tangan Adrian.Pintu kamar terbuka perlahan. Nadine masuk dengan dua cangkir kopi di tangan, senyum hangatnya langsung menyapa ruang yang dingin."Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya sambil meletakkan kopi di meja samping."Lebih baik," jawab Alena, mencoba duduk dengan bantuan Nadine. "Masih sulit percaya semuanya sudah benar-benar berakhir."Nadine menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Berakhir dengan cara yang bahkan tidak pernah kita bayangkan. Kamu tahu Adrian sekarang di mana?"Alena mengangguk pelan. "Di rumah sakit jiwa. Dokter bilang dia mengalami breakdown total. Katanya, dia terus berteriak-teriak soal aku yang mengkhianati 'cinta sejati' kami.""Cinta sejati?"