Share

Gairah yang Terpendam
Gairah yang Terpendam
Penulis: Meng Shue

PANGGILAN TENGAH MALAM

“Bik ... Bik Surti ...!” teriak seorang lelaki gagah dengan menyibak sebagian kain sarungnya ke atas. Sementara wajah tampannya tampak tegang.

Sesaat kemudian, terdengar suara langkah kaki berat dari dalam kamar.

“Ada apa sih, Den. Malam-malam begini teriak-teriak,” ucap seorang wanita paruh baya saat pintu kamar terbuka. Netranya mengerjap beberapa kali karena masih mengantuk.

“Aku mau dia, Bik!” tegas lelaki gagah itu.

Aumh ... Surti menguap. Membuat lelaki itu geram. 

“Surti ...!” Wanita itu langsung gelagapan mendengar teriakan tuannya.

“I—iya Den Memet,” jawab Surti yang mendapati wajah lelaki di depannya kian memerah.

Ya. Lelaki gagah berkumis tipis itu adalah Memet. Gigi putihnya yang berjajar rapi mengeluarkan suara gemerutuk yang membuat wanita paruh baya di depannya bergidik seketika.

“Aku bilang, Aku butuh Dia!” Suara Memet kembali menggelegar, membuat wanita yang bernama Surti itu menutup telinganya.

“T—tapi, Den. Ini kan sudah larut malam,” protes Surti pada Memet yang membidik tajam ke arahnya. 

“Lihat! Baru jam sebelas lebih. Belum dua belas,” tunjuk Memet ke arah jam G-shock  yang melingkar indah di pergelangan tangannya yang putih. “Apa jangan-jangan kau takut, Surti!” ucap lelaki itu lagi. Dia tahu pengasuhnya itu tidak suka diremehkan.

“Tidak. A—aku tidak pernah takut dengan apa pun,” ucap Surti setengah terbata-bata.

“Bagus. Aku suka dengan prinsipmu itu, SURTI.” Memet menekan ucapannya saat menyebut nama wanita itu. Walau di hatinya ingin tertawa saat melihat ekspresi wajah wanita yang sudah mengasuhnya sejak kecil.

Ya. Surti adalah wanita yang mengasuh Memet dari kecil. Karena saat lelaki itu berusia tiga tahun, ibunya meninggal dunia setelah mengalami pendarahan hebat.

“Aku pergi sekarang, Den.”

Dalam hati kecil lelaki yang sejatinya  takut pada kaum hawa itu tertawa geli. Dari dulu Memet memang selalu iseng dengan pengasuhnya. Walau pun demikian, Surti tidak pernah marah pada Memet.

***

Sepeninggal Surti. Memet menutup pintu dan berlalu menuju kamar pribadinya. Membanting tubuh kekarnya di atas kasur yang empuk sembari membaca buku yang beberapa hari ini berhasil menyita perhatiannya.

“KAMASUTRA. Ini buku yang aneh, tapi mampu membuatku berimajinasi jauh,” ucap Memet sembari tersenyum dan membaca buku itu lagi.

Lembar demi lembar ia buka, sementara tangan kirinya sibuk membelai juniornya yang mengeras siap tempur.

“Aku tidak boleh gagal lagi,” gumam lelaki itu lirih.

Setelah hampir tiga puluh menit Memet berkutat dengan bukunya, ia bangkit menuju meja rias yang terletak di sisi ranjangnya.

"Aku tampan, putih dan hidungku pun mancung, apa yang kurang padaku," ucap Memet sambil menyisir rambutnya. Menatap pantulan wajahnya pada cermin.

Dilihatnya dari depan, samping dan depan lagi, seperti ABG yang jatuh cinta. Tapi kenapa baru sekarang? Di mana Memet selama ini?

Memet sebenarnya adalah sosok lelaki ideal bagi kebanyakan kaum hawa. Badan atletis, kulit bersih, hidung mancung, bibir penuh dan bola matanya yang hitam, tajam. Mampu mengoyak pertahanan kaum hawa dengan sangat mudah. Namun, justru ketampanannya itu yang membuatnya terpuruk.

Pasalnya banyak lelaki yang iri akan ketampanannya dan menindasnya dengan kejam.

Sementara kita tinggalkan dulu Memet yang  tengah sibuk dengan imajinasi bercintanya. Mari kita intip perjuangan Surti dalam menjalankan tugas dari tuan muda, gaes!

Di mana wanita paruh baya itu merasa semua bulu kuduknya berdiri, semenjak ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah berlantai dua itu. Surti berjuang melawan ketakutannya sendiri, saat melewati kampung yang sepi dan suasana dingin kala ia melewati  beberapa puluh rumah yang gelap.

Srek, srek, srek!

Surti menoleh ke kiri dan ke kanan, wanita itu semakin cepat mengayuh sepedanya. Tanpa Surti sadari jalan yang ia lalui semakin lengang, dan mengarah ke semak nan rimbun.

Bug!

Surti terjatuh, lantaran ia mengerem sepedanya secara mendadak. Dan nahasnya roda belakang sepeda itu mengenai pohon besar yang menjuntai di sisi jalan.

Surti langsung tersadar dari lamunannya, kala tubuhnya yang gempal itu menggelinding  beberapa meter dari tempatnya terjatuh.

Namun, saat wanita itu hendak bangkit tiba-tiba dari arah berlawanan, tidak jauh darinya tampak dua orang tengah menyeret karung besar menuju hutan yang terletak di seberang desa.

"Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di tengah hutan selarut ini."

Surti mengerjapkan matanya berulang, berharap sosok misterius itu bisa terlihat jelas. Namun, karena cuaca yang sedikit mendung, membuat  cahaya bulan tidak mampu menembus rimbunnya pepohonan.

"Haruskah aku mengikuti mereka?" Surti penasaran dengan apa yang dilihatnya. "Tidak, aku harus segera menemui wanita itu sebelum si Memet marah," gumamnya lagi sambil mencoba bangkit dan kembali mengayuh sepedanya yang tergelincir karena jalan yang licin.

"Besok aku harus kembali ke sini, aku harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi." Surti mengayuh sepedanya dengan cepat, ia tidak ingin kedua orang tersebut secara misterius mengetahui keberadaan.

“Sebel…! Aku lagi, aku lagi yang kena. Seperti tidak ada hari lain saja itu si Lemet.” Surti mengoceh sepanjang perjalanan. Wanita itu geram dengan sikap aneh tuan mudanya beberapa hari ini. 

“Andai saja Tuan Ndoro waktu itu tidak memberi wasiat untukku. Mungkin saat ini aku sudah bersama Seruni,” gumam Surti dalam hati. Pikirannya mengingat peristiwa dua tahun silam.  

“Bopo ... jangan tinggalkan Memet!,” pinta Memet di sela isak tangisnya pada malam itu.

Memet memeluk erat-erat di pantat, berharap berharap akan datang.

ya. Lelaki kurus itu adalah Tuan Ndoro ayah Memet. Beliau menderita stroke hampir lima tahun ini.

“Suri!” panggil Tuan Ndoro pada pengasuh anaknya itu.

“Saya, Tuan Ndoro,” jawab Surti sambil melangkah mendekat. 

“Aku titip Aden padamu, tolong jaga dia! Seperti menjaga Seruni. Meskipun dia seperti anakmu sendiri,” ucap Tuan Ndoro pelan.

Surti mengangguk pelan, wanita itu menggenggam erat jemari lelaki yang kini terbaring di atas pembaringannya.

Lelaki yang sama, yang dulu pernah membawanya terbang tanpa memberi kepastian. 

Aku akan merawatnya untukmu, Kakang. Batin Surti pelan.

Wanita itu terisak terputus. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh memikirkannya dari lelaki yang berusaha keras.

"Kamu jangan nakal ya, Le? Jaga diri baik-baik. Bopo sudah tidak memiliki banyak waktu untuk menemanimu, Sayang."

"Jangan bicara seperti itu, Bopo. Bopo pasti sembuh, bertahanlah!" Memet mencoba menguatkan.

"Berjanjilah, kamu akan mengubah semua lakumu," ucap Tuan Ndoro pelan. Memet mengangguk, mengerti.

Memet memang spesial, terbentuk sebuah ketakutan pada dirinya akan rasa yang aneh saat ia dekat dengan seorang wanita. Semua sifat itu terbentuk saat Memet menempuh sekolah menengah. Memet pun menyadari akan munculnya selama ini.

Hingga beberapa saat kemudian, genggaman tangan itu mengendur, menggunakan bahwa jasad lelaki tua itu sudah tidak bernyawa lagi.

“Bopo…!” teriak Memet sejadinya. 

***

Surti menyandarkan sepeda ontelnya, melangkah menuju rumah mini malis berwarna merah muda dengan sentuhan putih di setiap kusennya. Sementara bermacam-macam bunga tersusun rapi di halaman. 

Tok, tok, tok!

“Assalamualaikum!”

"Waalaikum salam". jawaban dari dalam rumah. Suara merdu sang pemilik rumah.

"Bibi! Ada apa malam-malam datang ke mari?" tanya wanita cantik itu keheranan saat melihat Surti berada di dalam video keadaan basah kuyup.

"Umh, ikutlah denganku, Non!"

Wanita cantik itu adalah Rosa.

Janda kembang yang ayu dan semok bak gitar spanyol. Dia mengernyitkan dahi saat Bik Surti mengutarakan niatnya.

"Ini sudah larut malam, Bik. Lagi pula di luar masih gerimisý."

Surti sambil menatap, menghiba. Lalu berkata, "Ikutlah denganku, Non!" Lagi-lagi Surti memohon.

Ini sungguh gila, haruskah aku memenuhi undangannya. Rosa membatin.

"Apakah aku harus tidur di sini agar Non Rosa mengiyakan," ancam bik Surti kemudian. Membuat Rosa terdiam seketika. Berfikir. 

"Baiklah, hantar aku pada tuanmu!" Surti pun mengulas senyum manisnya. 

Surti membalik, mengambil sepeda ontelnya dan kembali menghampiri wanita itu. 

"Naiklah!" pinta Surti setelah berada di depan wanita cantik bertubuh sintal itu. 

Rosa melotot tak percaya, tapi wanita itu menutup pintu rumahnya dan duduk di boncengan belakang. 

"Pelan-pelan, Bik!"

"Sip," jawab Surti sambil mengacungkan jempolnya.

Surti mulai mengayuhkan sepedanya secara perlahan. Melewati jalanan setapak yang sepi, pencahayaan lampu yang minim membuat sedikit kesenangan. 

“Mari, Non!” ajak Surti setelah menyandarkan sepeda ontelnya di dalam garasi.

Rosa mengikuti langkah Surti yang berada di bawah tanah. Wanita berjalan sambil mengusap sedikit yang basah karena gerimis yang tiada henti saat menuju rumah besar itu.

“Silakan masuk, Non! Aden menunggumu di dalam.” Rosa sambil berjalan lalu pelan-pelan menaiki anak-anak tangga di diskusikan satu persatu.

mendengar gemerutuk rahangnya karena dingin yang menjalar di sekujur tubuh. 

Jantungnya kian bertalu tak menentu kala langkahnya terhenti, di depan kamar yang beberapa hari lalu membawanya pada cerita konyol antara dia dan si pemilik kamar.

Cukup lama wanita itu terdiam, sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar itu beberapa kali. Ini adalah kali kedua semenjak pergumulan panas yang terjadi di antara mereka dua minggu yang lalu.

Wanita itu tidak lagi menerima pekerjaan manggungnya. Karena perjanjian kerja dengan lelaki yang kini berada di kamar itu. Membuat para penggemarnya kecewa atas keputusan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status