Viona terus diam membuat sang Ibu sangat gemas. Baru saja wanita itu hendak mengeluarkan suara, istri Dimas tersebut langsung bicara. "Ibu ... Bapak ke mana? Viona kangen banget sama Bapak," lontar perempuan itu. Wanita itu mendengkus kala melihat sang anak berkelit, memandang tatapan marah perempuan yang melahirkannya. Viona menghela napas lalu memejamkan mata dan kembali menatap Ibunya. "Dikasih nafkah sih, Bu. Tapi ...." Viona menceritakan semuanya tanpa kurang dan ditambahi, mendengar hal itu. Sang Ibu mengepalkan tangan lalu kembali menatap anaknya. "Kamu memang mendingan balik lagi ke Ibu dan Bapak aja, Nana. Dari pada masih digituin sama suami dan keluarga suamimu itu," sungut perempuan tersebut. Wajah wanita itu memerah akibat emosi, sedangkan Viona mengusap punggung sang Ibu untuk menenangkan perempuan tersebut. "Setelah Bapakmu pulang kita bicarain semuanya," ucap sang Ibu. Viona hanya mengangguk mengiyakan, lalu wanita itu disuruh kembali mengisi perut dan diperinta
Sedangkan di kediaman orang tua Viona, wanita itu menggeliat karena mendengar suara panggilan telepon dari ponsel. Ia lekas bangkit dan segera mengambil benda pipih tersebut. Mata Viona mengeryit kala melihat nama sang mertua tertera disana. "Ngapain Ibu nelepon," gumam wanita itu. Viona memiringkan kepala ke kiri dan kanan untuk merenggangkan otot, setelah itu memilih mengangkat panggilan tersebut. "Kenapa lama banget sih!" omel Mila. Anak Ida itu langsung menjauhkan handphone dari telinganya. Ia menarik dan mengembuskan napas terdengar sangat lelah. "Ada apa sih, Bu ... emang gak bisa apa ngomongnya gak pake teriak-teriak. Aku lama-lama budeg gara-gara Ibu," sungut Viona. Mila yang mendengar nada suara sang menantu yang nyolot langsung mendengkus. "Mana perhiasan itu! Apa jangan-jangan kamu bawa," sentak sang mertua. Viona mengeryitkan kening, ia bingung dengan perkataan mertuanya. "Kamu pergi dari hidup anakku, aku sangat senang. Tapi kenapa kamu bawa perhiasan itu! Dasar
Viona langsung memalingkan wajah kala Dylan berkata sambil menatapnya. Begitu pun Ida, wanita itu mengikuti arah pandangan lelaki tersebut. Helaan terdengar dari Ibu Viona. "Eh ... Dylan mau masuk dulu gak? Sini biar Ibu buatkan kopi," seru Ida.Mendengar seruan Ida, Dylan langsung mengalihkan pandangan pada wanita itu. Senyuman kecil terulas di bibir pria tersebut lalu dia melihat jam."Eum ... enggak, Bu. Dylan lagi ada janji sama orang, nanti lain waktu aja ya, Bu," jawab lelaki itu. Ida menganggukan kepala lalu Dylan segera mencium punggung tangan wanita itu lalu menatap Viona. "Aku pergi ya Vio, Ibu. Assalamualaikum," ucapnya. Kedua wanita itu menjawab secara bersamaan lalu Viona segera mengajak Ibunya untuk masuk ke kediaman. Dengan cepat istri Dimas segera menutup pintu membikin Ida mengeryitkan alis. "Kamu kenapa sampe segitunya, Nana?" tanya Ida penasaran. Mendapatkan pertanyaan demikian, Viona langsung menggeleng lalu menarik lengan Ida dan mengajak untuk duduk di
Mata lelaki itu membulat sempurna dan kening berkerut membuat alisnya hendak menyatu. "Maksud Ibu, Apa," lontar lelaki itu. Mila langsung terdiam mendengar hal tersebut, ia segera menarik lengan anaknya lalu menatap Hana. "Ajak Mbakmu masuk dulu, Han. Ibu mau ngajak ngobrol Masmu sebentar," perintah wanita itu. Hana mengangguk kepala paham mendengar perintah sang Ibu. Ia langsung mengajak Kania, sedangkan Mila menarik lengan anaknya. "Istrimu pulang ke rumah orang tuanya, Dim. Pasti dia bawa barang berharga di rumah, termasuk uang buat sesehari. Nanti kamu gimana kalau uang itu dibawa Viona," cerocos Mila. Dimas masih mencerna perkataan Ibunya lalu menatap wanita tersebut. "Berani banget dia! Padahal udah aku bilangin gak bakal aku ceraiin dia. Dasar istri durhaka, pasti nanti Viona diazab sama yang diatas karna mau melakukan yang dibenci dia," geram lelaki itu. Wanita itu menganggukan kepala lalu mendongak menatap wajah anaknya. "Kamu gak mau nyeraiin istri gak berguna itu,
Viona segera menceritakan semua, mereka kini tengah lesehan di lantai sambil menyantap makanan. Suara notifikasi pesan terus terdengar membuat wanita itu gemas dan segera meraih benda pipih tersebut."Coba cek dulu siapa yang ngirim pesan dari tadi," perintah Ida.Perempuan itu menganggukan kepala dan menatap layar handphone lalu mengeryitkan kening saat orang yang kediamannya dekat dengan sang mertua. Ia lekas membuka chat yang dikirim orang tersebut.[Kenapa gak dilihat sih! padahal ini penting lho, harusnya tadi kamu labrak mereka. Sekarang lihat mereka udah pergi.][Send photo]Mata Viona membulat saat melihat isi pesan yang dikirim orang tersebut. Melihat riak kaget diwajah sang anak, Ida merasa penasaran dan memilih mendekati anaknya lalu mengintip."Astagfirullah, apa-apaan ini!" geram wanita itu. Melihat photo tersebut Viona mengepalkan tangan, sedangkan sang Bapak yang penasaran langsung merebut handphone anaknya."Sialan! pokoknya bapak mau ke rumah suamimu itu. Apa apaan d
Bibir lelaki itu menyeringai kala mendengar ucapan menantunya."Jaga ucapanmu, pasti anakku dapat lelaki yang lebih baik dariku!"Dimas merasa bingung dengsn ucapan Bapaknya Viona, lalu tertawa mengingat perkataan terakhirr pria tersebut."Kalau kamu tidak mau repot mengurus perceraian ini, biar kami saja yang mengurus itu. Kammu tunggu surat panggilan dari pengadilan."Viona mengerutkan kening mendengar perkataan sang Bapak. Sedangkan Dimas termenung lalu tak berselang lamma tertawa terbahak-bahak."Hahaha ... uang dari mana kalian. Aku paham kok, seorang lelaki memiliki harga diri yang sangat tinggi, tapi kamu Pak. Sudahlah, aku masih berusaha menghormatimu, jadi tidak mencela," tutur Dimas. Lelaki itu mendengkus mendengar nada tidak percaya menantunya."Matikan teleponnya, Bapak cuma ngasih tau aja. Kalau kami mampuh ngajuin kepengadilan kamu gak boleh berulah," seru pria tersebut. Lelaki itu terdiam sebentar, ada rasa gelisah juga. Tetapi ia segera tepis dan mengiyakan perkataan
Viona segera berkutak dengan penggorengan, sedang sang Bapak tengah beristirahat diruang tamu ditemani Ida. "Mas, si Nana kenapa? Kok pulang-pulang keliatan kesel gitu," lontar Ida. Lelaki tersebut mengedikan bahunya, lalu menyeruput pelan kopi yang dihidangkan sang istri dan kembali meletakan ke meja. "Kayanya Dimas nelepon deh, jadi dia agak kesel," tebak pria tersebut. Ida menganggukan kepala tanda membenarkan tebakan suaminya, ia langsung bangkit membuat lelaki tersebut mengerutkan kening. "Kalau gitu aku mau bantu Nana, sambil ngajak ngobrol supaya kesalnya hilang," tutur Ida. Mendengar penuturan sang istri, lelaki itu menganggukan kepala. Lalu menggerakkan tangan seperti mengusir, membuat Ida mendengkus dan melangkah pergi. "Dih, kok malah kamu marah. Aku kan cuma nyuruh kamu biar cepet bantu Nana," seru lelaki itu. Ia langsung bangkit lalu mengejar langkah sang istri dan meraih jemari Ida. Tangan mereka kini bertautan, sedangkan wanita tersebut memalingkan wajah membuat
Viona langsung memblokir nomor lelaki, yang kini masih menjadi suaminya. Baru saja hendak menaruh benda pipih tersebut ke nakas yang berada di samping ranjang. Suara notifikasi pesan terdengar membuat ia menghela napas dan melihat layar ponsel. [Lagi apa? Masakan buatanmu enak.] [Pasti sekarang lagi istirahat, ya. Atau lagi telepon atau berduaan sama suamimu.] [Maaf kalau gitu aku mengganggu, padahal aku hanya ingin kita berteman seperti dulu,] [Besok jualan lagi gak? Boleh minta nomor whatsappmu biar mesennya enak.] [Aku tau kamu jualan dari Ibu,] Wanita itu menarik napas kala melihat deretan chat yang masuk ke notifikasi layar handphone. Karena pesan terakhir lelaki tersebut, ia akhirnya memilih membalas.[Ini nomornya 0857××××××××] [Insyallah tiap hari selalu jualan.] [Makasih pujiannya, aku masih butuh belajar.] Mendapatkan balasan dari wanita itu, Dylan tanpa ia sadar mengulum senyum. Dengan lincah lelaki tersebut segera menyimpan nomor Viona, lalu lekas mengirim pesan.