Ponsel Kinanti bergetar lagi, nada dering yang sama berulang tanpa henti. Nama Bara terus muncul di layar, berkali-kali, seolah pria itu tak akan berhenti sampai wanita itu mengangkatnya.
Namun Kinanti hanya menatap sekilas, bibirnya mengerucut jengkel. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol merah lalu menonaktifkan ponselnya. Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab, apalagi berurusan dengan Bara malam ini. Gerakan kecil itu ternyata membuat Ganendra terusik. Ia sempat membuka mata yang terpejam, lalu melirik ke arah Kinanti yang tengah meraih nakas untuk meletakkan ponselnya. "Ummhhh... ada apa, Kinan? Kau belum tidur?" suara beratnya terdengar serak, masih lelah setelah bercinta. Ia bergeser pelan, mengganti posisi. Kini tubuh Kinanti yang mungil justru bersandar nyaman di dadanya yang bidang, seperti menemukan sandaran yang sempurna. Kinanti menarik napas panjang sebelum bersuara. "Apa kita harus memiliki tempat khusus?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi serius. "Hmmm?" alis Ganendra berkerut, tak langsung mengerti maksudnya. Ia menunduk, melihat Kinanti yang kini mendongak. Dagu wanita itu bertumpu di dadanya, menatap dengan sorot mata penuh kehati-hatian. "Maksudku..." Kinanti berhenti sejenak, bibirnya mengulum kata. "Kita tidak bisa terus-terusan check-in di hotel. Hari sial itu tidak ada yang tahu, Ganendra. Aku tidak mau para wartawan menjadikanku headline dengan berita skandal murahan. Aku tidak mau semuanya terbongkar sebelum aku bisa hamil." Nada suaranya tajam, tapi ada juga ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Ganendra terdiam sesaat. Jemarinya kemudian bergerak, merapikan helaian rambut Kinanti yang jatuh menutupi pipinya. Sentuhan lembut itu membuat wajah Kinanti sedikit melunak. "Dan tidak juga di sini..." lanjut Kinanti, menoleh sebentar ke arah jendela kamar penthouse mewah itu. Lampu-lampu kota masih terang, jantung ibu kota berdenyut di luar sana. "Semua orang tahu gedung ini adalah milik seorang Ganendra Adipati. Young CEO, pemilik G.Holding. Kamera-kamera itu bisa muncul kapan saja." Kata-katanya lebih seperti sebuah pengingat pahit, tentang betapa berbahayanya hubungan terlarang mereka jika sampai bocor. Ganendra terkekeh pelan, ekspresinya bukan marah, melainkan geli mendengar kekhawatiran itu. Ia meraih dagu Kinanti, mengangkatnya perlahan agar wanita itu kembali menatap ke dalam matanya. "Aku bisa mengaturnya, Kinan..." ucapnya dengan nada tenang, penuh keyakinan. "Aku akan membuatmu merasa nyaman, dan tidak ada seorang pun yang akan tahu. Trust me." Mata Kinanti berkilat samar, setengah ragu, setengah terbuai. Namun akhirnya ia tersenyum, tipis tapi nyata. Senyum itu cukup untuk menunjukkan bahwa ia ingin percaya pada pria di hadapannya. Ia kembali menunduk, merebahkan kepalanya di dada Ganendra yang hangat dan berirama stabil dengan detak jantungnya. "Terima kasih, Ganendra..." gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan rahasia. Ganendra menarik napas panjang, lalu mengeratkan pelukannya di sekeliling tubuh wanita yang kini resmi menjadi kekasih rahasianya. Dalam diam, ia menutup mata, seolah ingin mengunci Kinanti di dalam pelukan itu, agar dunia luar tak pernah bisa menjangkau mereka. ••• Pagi hari... Sinar matahari menembus tirai tipis kamar penthouse, menciptakan kilau hangat di lantai marmer yang dingin. Aroma sabun dan parfum lembut masih melekat pada kulit Kinanti ketika ia keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah menjuntai menempel di bahu, wajahnya tampak segar dengan rona natural. Begitu ia melangkah keluar, sosok Ganendra sudah berdiri menunggu di dekat meja kerja kamar. Laki-laki tampan itu mengenakan kemeja kasual putih dengan lengan tergulung, tubuh tegapnya terlihat santai namun tetap memancarkan wibawa. "Aku sudah membelikanmu pakaian, Kinan..." ucapnya sambil mengangkat beberapa paperbag besar dengan logo brand internasional yang jelas mencolok. "Cobalah, lihat apakah sesuai dengan gayamu atau tidak." Kinanti menaikkan alis, mendekat lalu meraih salah satu paperbag, menatapnya dengan senyum miring. "Hmm... bahkan pakaian dalamnya juga kau beli? Memangnya kau tahu ukuranku?" tanyanya sambil melirik penuh godaan. Ganendra terkekeh, nada tawanya rendah dan maskulin. Ia menunduk sedikit, mendekat ke telinga Kinanti. "Aku sudah menyentuh setiap jengkal tubuh indahmu, Kinanti... aku hafal setiap bagiannya." Wajah Kinanti langsung memerah, ia buru-buru menoleh sambil menggigit bibir, menutupi rasa malunya. "Okay... Tuan Ganendra Adipati, stop membahas hal vulgar. Ini masih pagi," sahutnya sambil menarik paperbag dari tangan pria itu dan berjalan menuju walk-in closet yang besar. Ganendra hanya terkekeh puas, menatap punggung ramping Kinanti yang menghilang di balik pintu closet. "Aku siapkan sarapan untukmu, Kinan... aku tunggu di bawah," ujarnya sebelum melangkah keluar kamar. Di dalam walk-in closet, Kinanti membuka satu per satu isi paperbag. Gaun midi warna pastel, blouse sutra elegan, rok pensil, hingga lingerie yang mewah tersusun rapi di dalam kotak. Ia berdiri di depan cermin panjang, mencoba salah satu blouse berwarna ivory yang langsung jatuh sempurna di tubuh mungilnya. "Kau memiliki selera yang bagus, Ganendra..." gumamnya pada pantulan dirinya sendiri, senyum samar terbentuk di bibirnya. Untuk sesaat, ia membayangkan bagaimana rasanya jika kehidupan normalnya diisi dengan detail perhatian kecil seperti ini. Beberapa saat kemudian, Kinanti menuruni tangga spiral yang elegan. Aroma kopi dan roti panggang langsung menyambutnya. Di meja makan besar yang modern, Ganendra sudah duduk menunggu, dengan sarapan yang tertata rapi: sandwich segar, buah potong, teh hangat, dan segelas jus jeruk. Begitu melihatnya, Kinanti tidak berjalan menuju kursi kosong. Ia justru melangkah mantap, lalu langsung duduk di pangkuan Ganendra. Pria itu otomatis melingkarkan lengan kokohnya ke pinggang Kinanti, menahannya agar tidak bergerak. "Hmm... pas sekali," ucap Ganendra sambil menatap puas penampilan Kinanti dalam blouse pilihannya. Kinanti tersenyum manis, meraih cangkir teh hangat dan menyesapnya perlahan. "Selera mu bagus, Ganendra." Pria itu menunduk, mengecup bahu Kinanti yang terbuka. Bibirnya menyusuri kulit halus itu, sementara pelukannya semakin erat. "Seleraku selalu tinggi. Begitu pun soal wanita. Apa kau tidak pernah bercermin, Kinan? Kau begitu sempurna." Kinanti tersenyum getir. Ia menunduk, menatap uap teh yang mengepul. "Seandainya... Bara memiliki pikiran yang sama." Nada suara itu membuat ekspresi Ganendra mengeras. Ia mengangkat wajah, menatap Kinanti dengan sorot tajam. "Dia lelaki murah. Karena itu, dia lebih menyukai barang murah seperti selingkuhannya. Tapi aku... aku justru berterima kasih padanya. Karena dia, aku bisa memilikimu." ucapnya sambil membenamkan wajahnya di lekuk leher Kinanti. Wanita itu menghela napas, mencoba menutupi senyum kecil saat menggigit sandwich buatan Ganendra. Rasanya sederhana, tapi hangat. Sebuah kebersamaan yang dulu selalu ia bayangkan bisa terwujud bersama suaminya. "Apa aku tidak murahan?" bisiknya tiba-tiba. "Aku bersuami... dan selingkuh dengan sahabatnya." Ganendra tertawa kecil, suaranya berat dan dalam. "Kau tidak seperti itu, Kinan. Kau hanya upgrade. Dari lelaki brengsek ke lelaki setia... seperti diriku." Kinanti mendengus lalu ikut terkekeh, meski dalam hatinya masih ada luka. Namun kehangatan pagi itu terasa begitu nyata. Kehidupan rumah tangga hangat yang selalu ia bayangkan bersama Bara... nyatanya kini ia rasakan di sisi Ganendra. ••• Sore hari... Mobil mewah Kinanti baru saja berhenti di halaman Rumahnya. Udara senja terasa berat, langit mulai memerah, namun ketegangan sudah menunggu di dalam rumah. Begitu pintu utama terbuka, suara keras menyambutnya. PRANGGG!!! Sebuah guci antik dari keramik Tiongkok pecah berhamburan di lantai marmer, hanya beberapa sentimeter dari kaki Kinanti. Pecahannya memantulkan cahaya, tajam seperti belati. "Apa maksudmu, Kinanti?!" suara Bara menggema, penuh emosi yang nyaris tak terbendung. Pria itu berdiri di ruang tengah, dasinya longgar, wajahnya memerah, matanya menatap Kinanti seolah ingin menelannya hidup-hidup. Kinanti berhenti sejenak, tatapannya datar. Ia tidak terkejut, tidak panik. Ia hanya menghela napas, menatap pecahan guci mahal yang berserakan, lalu melangkah masuk tanpa sekalipun menoleh ke arah suaminya. "Bi... tolong bereskan ya," ucap Kinanti tenang kepada seorang pelayan yang berdiri gemetar di sudut ruangan. Pelayan itu mengangguk cepat, bergegas mengambil sapu dan kain lap. "Jadi sekarang kau berselingkuh, Kinanti?!" Bara menghentakkan suaranya lagi, kali ini diikuti dengan langkah cepat. Ia langsung mencengkeram lengan Kinanti begitu keras hingga wanita itu meringis. "Lepaskan, Bara!" Kinanti berusaha menarik lengannya, namun cengkeraman pria itu semakin kuat. "Kau pikir aku buta?! Aku suamimu, Kinanti!" teriak Bara, wajahnya begitu dekat hingga Kinanti bisa merasakan panas napasnya. Kinanti berhenti melawan. Ia menoleh perlahan, matanya menatap tajam lurus ke mata Bara. Dingin. Tanpa gentar. "Kalau begitu, bersikaplah seperti seorang suami, Bara." Suaranya tegas, penuh amarah yang terpendam lama. "Suami tidak memperlakukan istrinya seperti kau memperlakukanku. Kau menjijikkan." Bara terdiam sesaat, seolah kalimat itu adalah sebuah tamparan, tapi bukan di pipinya, melainkan di harga dirinya. Kinanti mendorong lengannya dengan kasar, berhasil melepaskan diri. Tumit sepatunya mengetuk marmer saat ia berjalan menjauh, meninggalkan Bara yang terengah dengan wajah kelam. Langkahnya berhenti di ujung tangga. Ia menoleh sekali lagi, suaranya tajam menusuk. "Dan katakan pada jalangmu itu... berhenti mengirimi aku foto-foto menjijikkan kalian! Aku sama sekali tidak peduli." Senyum sinis terukir di wajahnya sebelum ia kembali melangkah naik, meninggalkan Bara yang masih berdiri kaku di bawah, dengan tatapan mata penuh amarah. ••• To be continued—Ponsel Kinanti bergetar lagi, nada dering yang sama berulang tanpa henti. Nama Bara terus muncul di layar, berkali-kali, seolah pria itu tak akan berhenti sampai wanita itu mengangkatnya.Namun Kinanti hanya menatap sekilas, bibirnya mengerucut jengkel. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol merah lalu menonaktifkan ponselnya.Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab, apalagi berurusan dengan Bara malam ini.Gerakan kecil itu ternyata membuat Ganendra terusik. Ia sempat membuka mata yang terpejam, lalu melirik ke arah Kinanti yang tengah meraih nakas untuk meletakkan ponselnya."Ummhhh... ada apa, Kinan? Kau belum tidur?" suara beratnya terdengar serak, masih lelah setelah bercinta.Ia bergeser pelan, mengganti posisi. Kini tubuh Kinanti yang mungil justru bersandar nyaman di dadanya yang bidang, seperti menemukan sandaran yang sempurna.Kinanti menarik napas panjang sebelum bersuara."Apa kita harus memiliki tempat khusus?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi serius."Hmmm?" al
Basement Penthouse, Malam Itu.Blugh!Suara pintu mobil tertutup keras, menggema di parkiran bawah tanah yang sunyi. Lampu neon putih keperakan memantulkan kilau mobil sport berwarna hitam yang baru saja diparkir.Kinanti Atmadja baru saja melangkah keluar. Tumit stilettonya beradu dengan lantai marmer abu-abu, meninggalkan denting elegan di ruang yang lengang.Tubuh rampingnya bersandar di kap mobil, tangan kanan menahan tubuhnya, sementara tangan kirinya merogoh tas kulit mewah.Ia menarik ponselnya, layar menyala, menyorot wajah cantiknya yang pucat namun tetap memesona. Jemarinya mengetik cepat.Kinanti: Kau dimana?Beberapa detik kemudian, layar ponsel bergetar. Notifikasi balasan masuk—sebuah foto.Gambar itu memperlihatkan Ganendra Adipati shirtless, tubuhnya berbaring di atas ranjang king-size, dada bidangnya terbuka, otot-otot sixpack perutnya jelas, kulitnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu kamar. Tatapannya ke kamera dalam, menggoda, penuh undangan.Ganendra: Aku di ata
Dua hari kemudian, di Rumah Mode Kinanti.Gedung modern itu berdiri anggun di kawasan elit SCBD, dinding kaca memantulkan cahaya matahari siang yang terik.Di lantai tiga, ruang kerja pribadi Kinanti terasa begitu rapi, elegan, namun sekaligus dingin—persis seperti pemiliknya.Kinanti duduk di meja kerjanya, rambut hitam panjangnya tergerai ke satu sisi. Sejak tadi, pensil di tangannya hanya menari di atas kertas putih, membentuk coretan-coretan acak yang bahkan tak bisa disebut sketsa.Tangannya bergerak, tetapi pikirannya jelas jauh melayang entah ke mana.Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan pensil. Jemarinya menekan pelipis. Seorang fashion designer muda yang namanya sedang melambung di kalangan sosialita, selebriti, bahkan politikus ibu kota.Dia dicari-cari untuk gaun gala, pesta pernikahan, hingga sekadar private fitting. Namun di balik semua itu, hari ini dia justru duduk bengong.Ceklek.Pintu ruang kerja terbuka."Halo, kak." Suara ceria terdengar. Dari bali
Satu bulan berlalu... Keringat mengalir di pelipis Kinanti, tubuhnya bergetar di bawah desahan panjang yang lolos dari bibirnya."Ngghhh... Ganendra... aku... aku sudah tidak kuat..." suaranya parau, bercampur antara kenikmatan dan kelelahan.Ganendra menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari milik Kinanti, napasnya memburu, tubuhnya menegang hingga urat di lehernya mencuat."Kinanti... aku tidak memakai pengaman..." bisiknya, nyaris seperti ancaman sekaligus pengakuan.Mata Kinanti terpejam rapat, kepalanya terhentak ke belakang."Keluarkan... di dalam saja..." ia meliuk, tubuhnya menegang dalam kepasrahan yang nikmat."Aku ingin seorang anak... ahhh..."Hembusan napas berat Ganendra terdengar di telinganya."Kinantiiii... Arrrggghhh!!"Tubuh atletis lelaki itu akhirnya terkulai, dadanya naik turun dengan cepat, sementara peluh membasahi kulitnya.Ia menindih Kinanti sejenak, merasakan detak jantung keduanya berpacu gila.Dengan sisa tenaga, Ganendra menggulingkan tubuhnya ke samping,
Beberapa hari kemudian, tibalah hari yang dinanti—malam reuni kampus Universitas Azzura.Kinanti berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu memukau dalam balutan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnyaMeski desainnya tidak berlebihan, kemewahan tetap terpancar dari setiap detailnya, terutama dari perhiasan berlian yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Aura anggun dan mahal benar-benar keluar dari sosoknya malam itu.Tangannya sempat bergetar sedikit saat ia merapikan anting, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya masih menyimpan bara amarah yang belum padam. Luka batin akibat pengkhianatan Bara belum kering sepenuhnya, tapi malam ini, Kinanti bertekad tampil sempurna—untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya tidak hancur.Suara langkah sepatu terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok pria dengan jas hitam rapi. Bara berdiri di ambang pintu, w
RUMAH MODE KINANTI. Kinanti Atmadja, mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam, berjalan melewati deretan kain satin dan manekin yang dipajang rapi di lorong utama. Tatapannya fokus, wajahnya tenang—nyaris tak menunjukkan bahwa hidup pribadinya baru saja porak-poranda.“Kak,” panggil seseorang di belakangnya.Asisten pribadinya, Hana, berlari kecil menyusul sambil membawa tablet di tangannya.“Nanti siang ada klien, Kak. Kakak tahu kan influencer yang lagi booming itu? Tarina?” ucapnya cepat sambil menyesuaikan langkah.Kinanti melirik sekilas, bibirnya membentuk senyum tipis.“Ah, yang viral karena video dia nangis itu, kan?” tanyanya datar.Ceklek.Pintu ruang kerja Kinanti terbuka. Aroma teh melati langsung menyambut begitu ia masuk. Ia meletakkan tas tangan di atas meja kerja kayu mahoni yang bersih dari berkas, hanya ada tumpukan sketsa dan laptop terbuka.“Iya, Kak, yang itu,” lanjut Hana sambil berdiri di depan meja. “Dia mau bikin pesta ulang tahun mewah minggu depan, dan