BAB 2
***"May, kamu mau pulang sekarang atau nanti dulu?" Mas Yoga bertanya padaku.
"Terserah, Mas. Aku enggak ada acara lagi kok." Aku menjawab dengan pasti.
"Oh ya, kalau gitu sekarang kita pulang saja ya? Setelah ini aku mau ajak kamu bertemu Mama. Kata Mama, dia ingin kasih kamu sesuatu."
Mas Yoga berkata yang mengagetkanku sedikit. Ibunya ingin memberiku sesuatu? Aduh, malu sekali.
"Oh iya, Mas." Aku manggut-manggut.
Kami pun sejenak meminta maaf dan meminta ijin pada kedua mempelai karena harus pulang lebih dulu. Mereka pun amat berterima kasih atas kedatangan kami.
"Oh ya, kamu mau ikut aku atau nunggu dulu di sini? Aku mau ambil mobil di parkiran sana. Tapi, kamu takut capek, jauh, jadi kamu tunggu saja ya?" kata Mas Yoga dengan santun dan penuh senyuman. Dia memang selalu bisa mengambil hatiku. Kami sudah keluar dari gedung.
"Em, ya sudah, Mas. Silahkan."
Mas Yoga pun kini pergi. Dia memintaku untuk menunggu saja karena jalan ke arah mobil terparkir itu panas katanya.
Dia itu adalah seorang pria yang telah banyak membantuku. Dia yang membawaku ke kantornya untuk bekerja, hingga akhirnya sekarang aku menempati posisi seorang supervisor di perusahaan orang tuanya.
Bukan hal yang mudah dengan pendidikanku yang hanya tamat SMA menduduki jabatan tersebut. Ada pula dari mereka yang iri, dan banyak pula dari mereka yang mendukung.
"Eh, Mas! Lihat! Mantan kamu lagi nunggu siapa ya?"
Tiba-tiba suara seseorang nyeleneh di telingaku. Saat kulirik ke arah samping, ternyata yang bicara adalah dua sejoli penguji iman. Mas Anang dan sang putri.
Aku tak menggubris mereka, sejak tadi juga sudah buat kesal. Tak mau lagi berkepanjangan.
"Ehm! Tadi, kayaknya dia di dalam sama pria? Ke mana dia sekarang ya?" Mas Anang berkomentar seperti mengejek. Dasar, pria berbibir emak-emak.
"Ehm! Kalian bicara pada siapa ya?" ucapku menyeringai.
Seketika wanita yang mengenakan gaun dengan bahan tak beres itu pun berekspresi aneh. Dia nampak ingin mencibirku. "Eh, Mas, kayaknya ada yang tersinggung tuh, Mas!" kata si wanita peot itu.
Aku pun hanya tersenyum ramah.
"Paling dia di sini nunggu pria yang tadi. Sepertinya dia bawa motor dulu. Entah yang tadi itu ojol." Mas Anang lagi-lagi menghinaku. Tapi, sabar, aku bukan wanita yang terpancing emosi dengan mudah.
"Eh, tapi kayaknya cowoknya tadi pakek jas loh, Mas! Dari kejauhan aku lihat!" ujar wanita peot itu. Ternyata diam-diam dia memperhatikanku. Ya ampun, aku lebih dari seorang publik figur baginya. Sampai-sampai dia tahu setiap langkahku. Hanya, pasti mereka tak tahu, kalau pria yang bersamaku itu adalah pewaris tunggal perusahan besar.
"Sayang, supir angkot juga bisa pakai jas. Kamu lihat deh, tempat parkir VIP. Kalau orang kaya, akan parkir mobil di situ. Nah, ini ke mana?" ucap Mas Anang nyeleneh.
"Oh iya ya, Mas. Di situ ada parkiran motor tuh! Ke sana kali ya!" lontar si wanita itu.
Bukan masalah bagiku bila direndahkan seperti ini. Tapi, tunggu saja, mungkin di lain waktu, kalian yang terhinakan.
"Eh, Pak Anang? Sudah selesai? Ini sepertinya akan pulang ya?" tiba-tiba datang seorang pria yang usianya sedikit di atas Mas Anang. Mereka bertegur sapa. Sepertinya rekan kerja.
"Eh, Pak Ismail. Iya, saya sudah selesai. Saya ini mau pulang, Pak. Bapak baru datang? Ini istri Bapak?" Basa-basi Mas Anang. Ya, sepertinya mereka rekan sekantor atau kolega.
Aku pun acuh saja, karena kami sudah tak ada hubungan lagi. Lagipula, orang yang menyapa Mas Anang pun tak kukenali.
"Iya, ini istri saya. Ini siapa? Istri baru?" kata pria yang kudengar namanya Pak Ismail. Meskipun aku tak ikut bicara, tapi telinga ini mendengar. Ingin pergi, takut Mas Yoga mencari.
"Calon, Pak, baru calon. Kalau saya menikah lagi, pasti saya undang dong, Pak. Ah, Pak Ismail ada-ada saja," kelakar Mas Anang.
"Harus dong, Pak. Karena dengan istri yang dulu, saya 'kan tidak tahu. Pak Anang tidak pernah bawa istri ke pertemuan," kata Pak Ismail.
"Ya, kalau istri saya yang dulu itu … em, malu-maluin, Pak. Dia itu ya, kurang pantas lah. Maka dari itu saya ceraikan dia. Cari yang lebih pintar dan cantik. Ini, seperti dia ini." Sepertinya Mas Anang menunjuk wanita di sampingnya itu. Kenapa kebetulan sekali kami ada di posisi ini. Tapi, biarlah, aku juga sudah bukan siapa-siapa dirinya lagi.
"Oh ya, semoga langgeng. Kami tunggu undangannya, Pak Anang."
"Tentu, Pak, tentu. Kami juga akan suguhkan pesta yang mewah tentunya."
Benar-benar Mas Anang angkuh sekali. Tidak di rumah, tidak di luar, dia sama saja. Etikanya itu seperti orang kaya baru. Padahal, dari dulu memang ekonominya lumayan. Dasar, percuma jabatan bagus tapi cara bicara buruk. Siapa yang tahu, dia akan kena dengan omongannya.
Nampaknya mereka usai berbasa-basi. Mas Yoga lumayan lama pergi, jadi aku masih menunggu. Tadi kami tidak masuk ke parkiran VIP karena memang sudah penuh. Jadi, daripada lama, aku dan Mas Yoga memutuskan untuk simpan mobil di kejauhan sana.
Mas Yoga juga orangnya sederhana. Dia tak begitu menginginkan diagung-agungkan atas kekayaannya. Maka dari itu, banyak sahabat yang baik padanya. Tak hanya ada di saat dia kaya dan senang saja.
"Mas, memang kamu gak pernah ajak istri kamu yang dulu ke pertemuan ya?" Nada nyeleneh terdengar kembali. Dan kini tepat di telingaku.
"Sayang, dia itu … em, memang tak pantas sih. Jadi, aku tak pernah bawa dia. Dia bau bumbu dapur. Dia juga badannya jelek. Sekarang aja agak bagusan. Mungkin perawatan ekstra. Lari keliling komplek. Haha."
Sabar, kamu harus tetap sabar, May.
"Ya ampun, Mas. Jadi aku spesial dong, Mas? Sekarang aku diajak kamu ke sini. Kemarin juga aku diajak kamu ke pertemuan orang-orang kantor."
"Iya, Sayang, kamu 'kan pantas. Kamu itu cantik dan pintar."
"Makasih ya, Mas."
Lumayan geli mendengar tingkah kampungan mereka. Sebenarnya orang kampung juga tak begitu, tapi mereka bertingkah seperti bukan di tempat umum.
Aku sejak dulu memang tak pernah dikenalkan pada kolega-kolega Mas Anang. Banyak sekali alasannya, ini dan itu dia sebutkan. Dan aku baru tahu belakangan, kalau yang sering diajak adalah sekretarisnya dulu. Sedangkan aku hanya dibuat sebagai pembantu di rumah.
Aku tahu berapa gaji seorang GM di kantor besar. Tapi, dia hanya memberiku jatah tiga juta perbulan untuk uang makan, uang jajan Arya, bayar listrik dan bayar air. Dia sungguh pengiritan sekali. Jadi, saat aku keluar, tentu saja tak banyak baju bagus dan baju baru, uangnya juga tak ia kasih. Mungkin itu sebagai alasan supaya aku tidak bisa ikut kemana pun dia pergi. Sekarang, sudah bebas darinya, rasanya diri ini lega sekali.
Melihat tetangga komplek yang suaminya hanya seorang manajer biasa, istrinya bisa duduk manis hanya merawat anak. Dia juga sering diberikan kejutan. Bahkan, gaji suami ia semuanya yang pegang. Jauh sampai ke sana, setidaknya, Mas Anang berikan aku kehidupan yang lebih layak. Hingga Tuhan pun memberi jalan, dia kepergok selingkuh, dan dia lebih dulu yang menalakku. Dia minta aku memilih, mau dimadu atau ditalak. Jelas aku pilih talak. Sekarang, aku merasakan kebebasan tanpa iming-iming ocehan darinya.
"Mas, kita pulang yuk, Mas? Mobil kamu ambil dulu gih?" titah si wanita itu. Aku masih ada di dekat mereka. Sebenarnya mereka yang mendekat.
"Tentu, Sayang, aku juga sengaja bawa mobil baru itu karena mau pergi sama kamu. Kamu itu layak dibawa dengan mobil mewah. Sebentar ya, aku bawa mobil dulu. Kamu ngobrol-ngobrol dulu lah sama mantan istri aku. Mungkin kamu bisa jelaskan sama dia, kenapa kamu lebih dipilih oleh aku."
Mas Anang pergi, namun wanitanya masih ada di dekatku. Rasanya mual mendengar ocehan mereka berdua. Seperti orang baru kaya yang ingin menampakkan kekayaan mereka supaya diakui. Ya ampun, ada juga orang semacam mereka.
"Ehm!"
Wanita itu jalan ke depanku. Kini ia menatapi perawakanku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Apa yang salah? Jelas aku lebih tinggi dan lebih berisi darinya. Tinggi badanku 170 dengan bobot 58 kilogram. Aku nyaman dengan berat badan yang sekarang.
"Jangan sok cantik kamu ya? Kamu mau dilirik lagi sama Mas Anang? Hemh!"
Aku benar-benar ingin tertawa mendengar wanita seukuran cacing tanah ini bicara. Dia bilang aku ingin dilirik Mas Anang? Astaga.
"Maaf ya, Mbak. Sama sekali saya enggak ada kemauan sedikit pun untuk dilirik mantan saya. Sepertinya yang ingin dilirik itu yang banyak bicara deh, Mbak. Dan Mbak tak usah khawatir sampai bilang saya sok cantik. Mbak cantik kok, Mbak. Karena dengan kata-kata Mbak barusan, sepertinya Mbak insecure ya? Apa takut kalau Mas Anang lirik saya?" celetukku dengan nada biasa namun sedikit sinis saat tersampaikan. Memang begini kalau menghadapi orang angkuh semacam dia.
"Jaga bicaramu!" ujarnya kesal.
"Sabar, Mbak. Jangan emosi. Tingkah orang terhormat? Mbak tahu bukan?" ucapku nyeleneh hingga ia pun mencengkeram kedua rahangnya. Segitu saja terpancing emosi. Dasar!
Tiba-tiba gawaiku berdenting. Gegas kujawab karena yang menghubungi adalah Mas Yoga.
"Ya, halo, Mas?" ucapku lebih dulu.
"May, aku minta maaf, kalau ke sana kayaknya macet deh. Jadi aku tidak bisa bawa mobilnya ke arah sana. Kamu tunggu ya, aku akan hampiri kamu," kata Mas Yoga dengan penuh ketidaknyamanan.
"Oh, enggak perlu, Mas. Aku saja yang ke sana. Ada di posisi tadi 'kan?" jawabku.
"Iya, udah agak maju sedikit kok. Kamu mau ke sini langsung?" ucapnya kembali.
"Iya, Mas."
"Tidak apa-apa 'kan?" tanyanya seperti tak enak hati.
"Enggak, Mas. Ya sudah, aku ke sana ya? Mas jangan ke sini."
Pembicaraan kami pun berakhir. Wanita yang bergelar pacar Mas Anang masih ada di sini. Sebenarnya apa maunya?
"Eh, mau ke mana?" Dia bertanya padaku yang sudah langkahkan kaki terlebih dahulu. Tanganku ditahannya.
"Maaf, saya akan pulang. Apa urusan saya dengan Anda ya?" lontarku.
"Dasar! Malu ya pacaranya dilarang kemari? Gembel sok-sokan datang ke tamu undangan orang kaya!" hinanya dengan kasar.
"Oh, terima kasih. Tapi, setidaknya saya bukan gembel yang miskin etika. Permisi!"
Dengan segera aku meninggalkan wanita angkuh itu. Dia pikir dia siapa? Baru jadi pacar saja sudah belagu tingkat Ratu Inggris.
"May? Kamu kenapa?" tanya Mas Yoga ketika aku sudah duduk di sampingnya. Kami sudah keluar dari area gedung, dan kini sudah ada di jalan raya menuju rumah orang tuanya.Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mas Yoga. "Enggak, Mas. Cuma agak sedikit mual saja."Seketika Mas Yoga kaget. "Hah? Mual? Kamu masuk angin?" Sepertinya dia was-was.Aku pun sedikit terkekeh. "Bukan, Mas. Kamu tahu enggak? Tadi ada mantan suamiku dan pacarnya?" Mas Yoga menautkan kedua alisnya. Lalu, sekarang ia seperti bernapas lega. "Oh, syukurlah kalau bukan sakit. Mau Flashback mantan ya?" ucapnya nyeleneh. Dari wajahnya, sepertinya dia pasrah saat ingin mendengar jawaban dariku."Ya ampun, bukan flashback, Mas. Aku sih sebenarnya enggak tahu ada mereka. Cuma, pas tadi kamu ijin untuk ke toilet, mereka berdua hampiri aku. Mereka itu ejek-ejek dan hina-hina aku."Mas Yoga memotong. "Di depan orang?" "Iya, Mas. Tapi, kamu tahu aku 'kan? Aku santai saja. Aku hanya diam. Masak iya aku beretika buruk di hadapan ora
"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine. "Maksud Mama?"***"Maksud Mama apa ya?" tanya sang anak pada ibunya. Aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dan aku harus siap.Duduk pun ini sudah tak enak. Karena sebentar lagi, mungkin aku akan diminta untuk diantarkan oleh Mas Yoga. Atau, kemungkinan buruk, aku disuruh pulang sendiri."Begini, kamu tahu suku adat keluarga kita 'kan? Kita ini berasal dari Medan dan Minang. Sedangkan Maya berasal dari Betawi."Bu Ine menjelaskan. Aku sudah tahu, memang mereka keturunan Medan dan Minang. Sedangkan aku ya, aku asli Betawi yang merupakan keturunan dari keluarga sederhana."Lalu maksud Mama apa?" Mas Yoga sudah heran dengan apa yang ibunya katakan. Sedangkan aku sejak saat ini sudah harus menerima konsekuensi, kalau hubungan kami tak baik bila diteruskan. Dari kasta pun kita berbeda.Bu Ine saat ini duduk dengan elegan be
BAB 5***Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.Di samping kamu sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.***"Mas? Kamu ngapain?" tanyaku pada Mas Yoga masih di dalam mobil."Ini, aku mau buka sepatu. Gerah banget. Aku mau pakai sandal ini saja."Mas Yoga lepas sepatu pantofel kinclong bermereknya itu dan mengganti dengan sandal gunung.Aku pun hanya meninggikan alis sambil sedikit tersenyum."Yuk!" ajaknya.Aku malah ragu, karena di sana pasti bertemu dengan Mas Anang. Tapi, untuk apa juga mengurungkan niat hanya karena orang semacam mereka?Dengan
BAB 6"Mas? Kamu kok beli cincin mahal banget?" protesku pada Mas Yoga."Mahal? Sebenarnya kalau untuk hal lain pasti itu bagiku mahal. Tapi, buat kamu, berapapun akan aku keluarkan. Alhamdulillah, aku punya cukup uang untuk beli apapun sekarang ini. Asal otak dan fisik kita sehat, uang itu akan datang lagi.""Makasih ya, Mas."Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Kami sekarang sedang berada di jalan pulang ke rumah ibuku. Jalan lumayan agak sedikit macet karena di depan ada lampu merah."Oh ya. Aku belum tanya kamu serius. Jadi, kamu mau menikah dengan aku 'kan? Kamu ijinkan aku jadi bagian hidup kamu?"Di lampu merah saat kendaraan berhenti sejenak dia bertanya hal yang sebenarnya tak perlu ia pertanyakan."Menurut kamu, apa aku menolak setelah kamu ajak beli cincin dan cincinnya pun sudah ada di sini?" Aku menunjuk dus kecil.Dia malah tersenyum. "Ya, kamu 'kan iya-iya saja. Sebenarnya, kamu benar menerima aku sebagai calon suami kamu?" tanyanya kembali."Insyaallah, aku menerima kamu.
Hari ini ada meeting dengan wedding planner. Aku akan dijemput oleh Mas Yoga dan kini sedang menunggu di ruang tamu.Kebetulan hari ini libur, jadi bertemu dengan WP dijadwalkan sekarang oleh Mas Yoga."Mah, Arya mau main ke rumah Ivan boleh?" kata anakku ijin."Boleh, Sayang. Tapi mau main apa?" tanyaku pada putra tercinta."Mau main bola, Mah di lapangan sana itu. Boleh ya, Mah? Em, Arya juga bakal kotor-kotoran dikit," kata anakku sembari memasang mimik wajah meringis takut kumarahi."Boleh, kotor sih enggak apa-apa, Sayang. Asal hati-hati, jangan ke jalan raya ya? Nanti pulang juga jangan kesorean. Mama mau keluar dulu." Aku memberinya saran sembari memberitahukan ke mana aku akan pergi."Iya, Mah. Mama mau pergi sama Om Yoga?" ucapnya.Aku tersenyum. "Iya, Nak. Sebentar lagi Om Yoga jemput Mama. Kamu ijinin 'kan?" ujarku sambil mengelus-elus lembut rambut kepalanya."Iya, Mah. Mama juga hati-hati. Arya mau berangkat sekarang ya, Mah?" katanya lagi."Kamu enggak bawa sepatu?" hera
Kenapa Mas Anang merendahkan kami serendah itu? Dasar, dia kurang ajar sekali. Sebenarnya aku malu pada Mas Yoga, tapi, bagaimana juga dia hanya menyuruhku diam saja. Ikut alur yang akan ia suguhkan.Aku saat ini dengan Mas Yoga masih menunggu tukang kerak telor selesai membuat. Tapi Mas Anang dan pacarnya terus saja mengejek kami."Ayoklah, jangan sok jual mahal. Sekali-kali kalian makan enak di resto mewah." Kata-kata Mas Anang itu tak sopan sekali. Mana ada tata krama seorang General Manager semacam dia? Oh ya ada, memang dia."Ayok, boleh, Mas. Kebetulan kami juga sedang lapar. Tadinya kami akan makan di warteg sana."Tegh!"Warteg. Haha!" Mas Anang tertawa puas.Keningku mengernyit kaget tapi ingin tersenyum mendengar jawaban Mas Yoga. Dia mau diajak makan oleh mantanku?"Mas!" Aku menyinggung sedikit tangannya dengan jariku.Saat ini Mas Yoga nampak santai setelah mengiyakan ajakan Mas Anang dan pacar sombongnya."Jangan disenggol-senggol gitu, Maya. Kamu malu hah? Tuh pacar ka
"Mohon maaf, Pak, saldo di kartu ATM ini tidak cukup!"Deg!Aku dan Mas Yoga saling melirik mengulum senyum. Sesumbar itu, tapi dia tidak cek m-banking? Aku yakin, dia miliki aplikasi itu. "Hah? Tidak cukup?" Mas Anang kaget, pun dengan pacarnya. Mereka seperti terpukul bokong oleh Tuan Crab dalam serial kartun."Huahahahaha." Dalam batinku tertawa lebar. Ingin sekali aku bergoyang di depan mereka berdua, tapi aku tak bisa lakukan itu karena aku tak begitu.Saat ini aku dan Mas Yoga saling lirik sembari mengulum tawa. Sekarang wajah Mas Anang dan pacarnya memerah. Pelayan pun masih menunggu dan sudah mengembalikan lagi kartu ATM tersebut."Mas? Kok nggak cukup?" protes pacarnya dengan kesal. Ada mimik malu di hadapan aku dan Mas Yoga.Mas Anang mempertahankan wibawanya. "Ah, masak sih? Salah kali! Atau mesinnya rusak!"Aku semakin ingin tertawa lebar. "Mas, mana ada mesin rusak bisa mendeteksi enggak cukup? Kalau enggak bisa dipakai, baru itu rusak!" ledekku dengan puas.Mas Yoga ter
Bu Ine kini hadir di tengah-tengah kami. Tapi, yang aneh adalah, manajer resto menjelaskan semua masalah pada beliau. Apa benar, resto ini milik Ibu Mas Yoga juga? Wah, aku baru tahu kalau benar."Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?" Bu Ine cuek pada aku dan anaknya. Tapi kini dia bicara pada Mas Anang."Ibu siapa? Owner restoran ini 'kah?" tanya Mas Anang heran."Ya. Ini restoran milik saya. Benar apa kata manager saya kalau Anda makan tapi tidak bisa bayar?" Aku super kaget. Dugaan benar, kalau resto ini milik orang tua pria yang kini ada di sampingku. Tapi, kenapa Bu Ine tidak kaget ada anaknya di sini? Bahkan, dia juga tidak menyapa anaknya. Pantas saja tadi pelayan resto kaget saat melihat Mas Yoga datang, itu karena dia pasti kenal. Secara, Mas Yoga anak bos mereka.Ck ck ck!Lalu, bagaimana sekarang?"Saya Ine, pemilik sah resto ini. Bisa saya minta penjelasan dari Anda? Penjelasan dari manajer saya saja tidak cukup," kata Bu Ine dengan lugas. Aku kini menyenggol Mas Yoga,